Riwayat Bemo di Denpasar yang Tetap Bertahan Meski Tergerus Zaman

Keberadaan bemo sangat meresap dalam mentalitas masyarakat Bali, terutama di Denpasar sehingga menjadi salah satu wujud perlawanan budaya.

Oleh Putu Prima Cahyadi

“Denfest (Denpasar Festival) kali ini dikemas klasik dengan mengajak seluruh pengunjung dan masyarakat kembali ke masa lampau,” ungkap Kepala Dinas Pariwisata Kota Denpasar, MA Dezire Mulyani, mengutip Bali Travel News. Nuansa romantisme ke masa lampau tersebut diwujudkan dengan keberadaan sebuah bemo beroda tiga yang dikendarai langsung oleh Walikota dan Wakil Walikota Denpasar, yakni I Gusti Ngurah Jaya Negara dan I Kadek Agus Arya Wibawa. Ini seolah-olah memperlihatkan dua hal, yakni bangkitnya moda transportasi umum di Bali pada umumnya, dan bemo di Denpasar pada khususnya.

Mundur sedikit ke belakang, Suzuki Indonesia berencana untuk menghadirkan kembali bemo, yang kini adalah nama umum untuk angkot di Pulau Dewata. “Kami bekerja sama dengan Pemkab (Pemerintah Kabupaten) Gianyar buat menghadirkan angkot (bemo) khusus anak sekolah,” papar General Manager PT Sejahtera Indobali Trada, Isbowo Priyo Haryono, dilansir melalui Kompas. Bukan tidak mungkin, jika rencana tersebut sukses, kerja sama juga akan dijajaki dengan Pemkot Denpasar.

Apakah ini tanda kebangkitan bemo di Denpasar? Atau, ia kini hanya tinggal kenangan, hidup segan mati tak mau?

Bemo Selayang Pandang

Menurut Bambang Istianto dalam buku Transportasi Jalan di Indonesia; Sejarah dan Perkembangannya, bemo atau becak motor, merupakan kendaraan roda tiga yang pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada awal tahun 1962 sebagai bagian perhelatan Ganefo di Jakarta. Lambat laun, transportasi ini menyebar ke Denpasar karena dipandang praktis dan mampu menjangkau jalan-jalan yang sempit serta jauh lebih kencang dibandingkan becak.

Kehadiran bemo mendorong pemerintah kota Denpasar membenahi kondisi jalanan. Mengutip buku Sejarah Kota Denpasar 1945-1979, angka pembangunan jalan tumbuh semakin pesat. Denpasar kini terkoneksi tidak hanya ke wilayah Sanur dan Kuta, tetapi hingga ke wilayah Gianyar, Tabanan, serta Singaraja. Pada akhir 1979, jalan kabupaten yang menghubungkan Denpasar dan Badung, Tabanan dan Gianyar sepanjang 175 Kilometer, jalan provinsi sepanjang 75 Kilometer, serta jalan bypass seperti jalan Tohpati Nusa Dua dan Jalan Raya Puputan hampir seluruhnya telah diaspal.

Seiring dengan perkembangan permukiman dan tata kota, jumlah kendaraan bermotor juga mengalami peningkatan. Hingga akhir tahun 1979, mengutip buku Sejarah Kota Denpasar, tercatat sekitar 40.000 kendaraan bermotor, yang sebagian didominasi oleh transportasi bemo beroda tiga dan empat serta kendaraan pribadi beroda empat hadir di kota Denpasar.

Kehadiran bemo di Denpasar disambut dengan antusias. Seperti artikel G. M. Sudarta yang mengisahkan pernikahan Ide Anak Agung Gde Agung pada tahun 1977, puluhan bemo menyambut 5000 orang warga masyarakat dan kerabat dari lapangan Puputan ke Gianyar yang membuat pusat kota Denpasar macet total (Kompas, 3 Oktober 1977).

Bemo juga dilibatkan dalam prosesi upacara agama. Seperti pemberitaan Bali Post pada tanggal 2 April 1983 mengenai umat Hindu kota Singaraja yang melasti ke Pura Segara. Puluhan sopir bemo angkutan kota “kebagian panen rejeki” ketika sebagian besar umat pulang dengan menyewa angkutan kota ini. Kondisi di Singaraja mungkin juga terjadi di Denpasar. Masyarakat Denpasar menjadikan bemo sebagai transportasi untuk menjangkau tempat persembahyangan umat Hindu atau pura.

Selain dalam seremonial dan upacara agama, bemo juga aktif melibatkan dirinya dalam industri pariwisata. Mengutip artikel Wayan Tjatranata yang berjudul Tangan Sungguh-sungguh Wisata Kota di Denpasar yang dimuat Bali Post tanggal 7 Maret 1984, wisatawan biasa menggunakan bemo sebagai sarana transportasi mereka menuju tempat wisata. Meski begitu, menurut Tjatranata, masalah kebersihan dan keamanan wisatawan perlu dipertimbangkan jika bemo ingin digalakkan sebagai moda transportasi pariwisata.

Baca Juga :   N.V. Oliefabrieken van Dongen: Jejak Kejayaan Perusahaan Industri Minyak Nabati di Blitar pada Tahun 1915 - 1931

Keberadaan bemo sangat meresap dalam mentalitas masyarakat Bali, terutama di Denpasar sehingga menjadi salah satu wujud perlawanan budaya. Mengutip artikel I Ketut Tanu berjudul Bali Aga dalam Perubahan Sosial Budaya, masyarakat Bali menggunakan ungkapan tiang numpang bemo sebagai bentuk perlawanan terhadap pertanyaan nunasang antuk linggih atau bertanya mengenai stratifikasi sosial. Bemo dipilih sebagai simbol perlawanan karena menjadi simbol kemajuan masyarakat Bali, kemajuan yang bisa diraih terlepas dari posisi kasta seseorang.

Tergerus Zaman 

Keberadaan bemo sebagai moda transportasi umum di kota Denpasar mengalami kemerosotan. Mengutip artikel Dinamika Transportasi Umum di Kota Denpasar Tahun 1992-2018 tulisan I Wayan Sukma Wijaya dan Ni Luh Putu Tejawati, melalui Undang-Undang Nomor 14 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1992, bemo roda tiga dilarang beroperasi karena dianggap tidak aman dan ramah lingkungan.

Keberadaan bemo roda tiga juga mulai tergantikan dengan bemo cold, angkutan umum beroda empat yang menggunakan Mitsubishi Colt, sesuai dengan pemberitaan harian Bali Post sepanjang 1980-an, mulai menjamur sejak 1980-an. Mengutip artikel Kompas.id, pemerintah kota Denpasar secara resmi melarang bemo roda tiga pada tahun 1994.

Meski tergantikan, nama bemo masih tetap melekat untuk menyebut angkutan umum di Denpasar yang beroda tiga maupun empat. Puncak kejayaan bemo di Bali ada pada tahun 2002 dengan 1.407 unit beroperasi di Denpasar. Pada tahun 2015, jumlah tersebut merosot hingga 625 unit angkutan, sebagai dampak bom Bali yang membuat wisatawan asing enggan menggunakan moda transportasi ini.

Hingga kini, bemo beroda empat masih tetap bertahan meski masyarakat di Denpasar lebih terbiasa menggunakan kendaraan pribadi untuk melakukan mobilitas sehari-hari. Meski penumpang makin sulit, mengutip pemberitaan denpasar.kompas.com, bemo masih digunakan pedagang pasar maupun siswa sekolah dasar dan menengah yang menggantungkan mobilitas mereka sehari-hari dengan moda transportasi ini.

Referensi

Bali Post. (1982). “Umat Hindu Desa Adat Buleleng Melasti ke Pura Segara”. Bali Post. 2 April.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1986). Sejarah Kota Denpasar 1945-1979. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

Ferdian, Azwar. (2018). “Suzuki Hadirkan Lagi “Bemo” di Bali”. https://otomotif.kompas.com/read/2018/11/18/090441515/suzuki-hadirkan-lagi-bemo-di-bali. diakses 13 Januari 2024.

Hasan & Pythag Kurniati. (2022). “Curhat Sopir Angkot di Bali soal Kenaikan BBM: Operasional Naik Penumpang Makin Sepi”. https://denpasar.kompas.com/read/2022/09/05/140526278/curhat-sopir-angkot-di-bali-soal-kenaikan-bbm-operasional-naik-penumpang?page=all. Diakses 13 Januari 2024.

Istianto, Bambang. (2019). Transportasi Jalan di Indonesia Sejarah dan Perkembangannya. Depok: Melvana Publishing.

Palgunadi, Gde. (2022). “Nostalgia Bemo Roda Tiga di Kota Denpasar”. https://bali-travelnews.com/nostalgia-bemo-roda-tiga-di-kota-denpasar/. Diakses 13 Januari 2024.

Sudarta, G. M. (1977). “Kalau Seorang Anak Raja Menikah…..”. Kompas. 3 Oktober.

Tanu, I Ketut. (2019). “Bali Aga dalam Perubahan Sosial Budaya”. Vidya Samhita: Jurnal Penelitian Agama. Volume 5. Nomor 1.

Tjatranata, Wayan. (1984). “Tangan Sungguh-Sungguh Wisata Kota di Denpasar”. Bali Post. 7 Maret.

Wawa, Jannes Eudes. (2019). “Bemo Tergerus Kemajuan Zaman”. https://www.kompas.id/baca/utama/2019/07/21/bemo-tergerus-kemajuan-zaman. Diakses 13 Januari 2024.

Wijaya, I Wayan Sukma dan Ni Luh Putu Tejawati. (2021). “Dinamika Transportasi Umum di Kota Denpasar Tahun 1992-2018”. Nirwasita. Volume 1. Nomor 2.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts