Gerakan Djawa Dipa; Pengukuhan Jawa Ngoko dan Semangat Anti Feodalisme

Djawa Dipa menjadi sebuah langkah pembebas kaum kromo dalam berbahasa dan menjalani kehidupan sosial tanpa “menunduk”. Menurut para tokoh-tokohnya yang telah terdidik secara Eropa, penggunaan bahasa Jawa Kromo harus dihilangkan dan menjadikan bahasa Jawa Ngoko sebagai satu-satunya tingkatan dalam berbahasa.

Oleh: Abrar Rizq Ramadhan

Selama periode pergerakan nasional, pernahkah anda berpikir mengenai suatu organisasi yang berbasis pada kebudayaan bahasa sebagai tujuan perjuangannya? Beberapa organisasi pergerakan kebangsaan di massa itu banyak didominasi tujuan politik maupun pendidikan seperti Sarekat Islam (SI), Boedi Oetomo, Indische Partij, dan lain-lain. Organisasi semacam ini biasanya menarik massa dari golongan atau kelas tertentu. Boedi Oetomo misalnya yang beranggotakan kalangan priyayi Jawa, SI yang didominasi golongan Islam, buruh maupun pedagang kecil, serta Indische Partij yang terbentuk atas dorongan kaum nasionalis Hindia Belanda. Hampir semua organisasi ini memiliki satu tujuan besar yakni kemerdekaan bangsa Hindia dan penghapusan sistem kolonialisme dan kapitalisme. 

Dari kebanyakan organisasi pergerakan serupa, Djawa Dipa hadir menjadi pembeda. Sebuah gerakan kebangsaan progresif yang didasari atas keresahan kaum Jawa Kromo terhadap stratifikasi penggunaan bahasa Jawa. Djawa Dipa menjadi sebuah langkah pembebas kaum Kromo dalam berbahasa dan menjalani kehidupan sosial tanpa “menunduk”. Menurut para tokoh-tokohnya yang telah terdidik secara Eropa, penggunaan bahasa Jawa Kromo harus dihilangkan dan menjadikan bahasa Jawa Ngoko sebagai satu-satunya tingkatan dalam berbahasa. Budaya Jawa yang unggah-ungguh dianggap sebagai refleksi kemunduran yang hanya membuat bangsa Jawa hidup menjadi budak dan terus menunduk. Hal-hal yang terkait dengan unggah-ungguh disebut tidak relevan lagi bagi kemajuan zaman yang penuh akan ilmu pengetahuan. Karenanya, Djawa Dipa menjadi sebuah semangat baru bagi kaum Kromo khususnya yang berbangsa Jawa dalam mematikan feodalisme. 

Awal Berdiri dan Gagasan Ide

Djawa Dipa pertama kali dicetuskan pada tanggal 11 Maret 1917 di Surabaya, Jawa Timur. Tjokrosoedarmo, seorang priyayi rendahan yang bekerja untuk kantor penasihat hukum Belanda sekaligus salah seorang tokoh Centraal Sarekat Islam (CSI), menggelar sebuah pertemuan di Oost Java Bioscoop dan Oost Java Restaurant yang dihadiri oleh 1.267 partisipan demi membahas pencetusan gerakan Djawa Dipa. Beberapa tokoh pergerakan juga turut menghadiri pertemuan yang digelar oleh Tjokrosoedarmo, diantaranya adalah Tirtodanoedjo yang kemudian hari menjadi pimpinan redaksi surat kabar Dipa Hindia, koran terbitan Djawa Dipa. Selain itu, beberapa tokoh yang hadir adalah Sardjono, Soebroto, Siti Larang, Soetojomihardjo, Srisardjono, Djajapanetas, dan tak lain tak bukan H.O.S Tjokroaminoto, pemimpin SI. Beberapa tokoh besar yang turut hadir diantaranya adalah Soerjopranoto, Sosrokardono, dan Tjipto Mangoenkoesoemo.

Pertemuan ini membahas rancangan pembentukan gerakan Djawa Dipa. Soebroto dengan lantang menjelaskan visi misi dari gerakan ini sambil berpidato dengan bahasa Jawa Ngoko. Ia menyebutkan sistem kepengurusan yang berbentuk komite serta maksud dan tujuan didirikannya Comite Djawa Dipa yang bertujuan dalam memuliakan bahasa Jawa Ngoko sebagai bahasa Jawa asli. Penggunaan bahasa Jawa Kromo dianggap terlalu berbelit-belit dan merupakan produk feodal sehingga perlu ditekankan penghapusan Jawa krama dan bertransisi menuju Jawa Ngoko yang lebih familiar digunakan rakyat. 

Tjokrosoedarmo selaku pencetus Djawa Dipa turut memberikan sambutan di pertemuan ini. Ia menyebut bahwa bahasa Jawa Kromo itu mempersulit bangsa Jawa (Kromo). Bangsa kromo bukanlah bangsa sastrawan atau pujangga maupun orang-orang keraton yang pandai berbahasa Kromo. Bangsa Kromo adalah bangsa kecil yang banyak terdiri dari kalangan buruh tani. Namun bangsa Kromo harus selalu mengikuti dan memberikan sembahnya kepada orang-orang keraton yang secara stratifikasi sosial lebih tinggi. Bahasa Krama seakan menjadi patokan adab seorang Jawa. Jika tidak bisa berbahasa Krama, maka dapat dipastikan hidupnya dipersulit oleh sistem kolonial dan feodal. 

Baca Juga :   Alkitab VOC: Pemeliharaan Iman oleh Serikat Dagang

Pernah terdapat seorang Kromo yang terjerat kasus sosial menyebabkan dirinya memasuki sidang pengadilan. Sistem pengadilan kolonial mewajibkan seorang Jawa untuk berbicara Krama, tetapi si Kromo ini tidak memiliki kemampuan berbahasa Krama. Alhasil dirinya dijebloskan ke dalam penjara. Separah itu permasalahan penggunaan bahasa di era kolonial.

Tjokrosoedarmo turut menambahkan bahwa penghapusan budaya unggah-ungguh merupakan keharusan. Ia melihat aspek-aspek unggah-ungguh seperti sembah jongkok dan segala peraturan penghormatan merupakan adat yang tidak patut ditiru dan membuat bangsa Jawa semakin terbelakang. Sifat ini menjadi corong Djawa Dipa yang anti feodalisme. Pramoedya Ananta Toer turut menggambarkan kebobrokan budaya feodal ini melalui romannya, Bumi Manusia. Dalam roman itu, karakter Minke yang digambarkan sebagai priyayi rendah yang mengenyam segala pendidikan Eropa seakan harus membuang semua yang dipelajarinya ketika ia harus sembah jongkok terhadap ayahnya sendiri yang adalah seorang Bupati. 

Kaum Pergerakan Memandang Djawa Dipa  

Kehadiran Djawa Dipa banyak direspon oleh tokoh pergerakan. Beberapa pandangannya mengisyaratkan nilai-nilai positif dari gerakan anti feodalisme ini, sementara terdapat pula pandangan yang menyebut bahwa perjuangan Djawa Dipa tidak relevan. Adalah Tjipto Mangoenkoesoemo yang menyebut bahwa target perjuangan Djawa Dipa tidak tepat. Menurutnya, sebuah gerakan kebangsaan harus bersatu demi meruntuhkan kolonialisme, bukannya menyerang kalangan priyayi dan bangsawan yang memang erat dengan praktik feodalisme. 

Tjipto adalah seorang nasionalis Hindia Belanda. Partisipasinya di Boedi Oetomo dan Indische Partij telah cukup untuk menempatkan keberpihakannya. Sebuah gerakan untuk reformasi budaya Jawa seperti Djawa Dipa dianggapnya tidak relevan di tengah-tengah maraknya nasionalisme Hindia Belanda. Gerakan kemajuan Tjipto mencakup seluruh rakyat Hindia Belanda bukan hanya rakyat Jawa. 

Beberapa pihak yang menentang tak lain datang dari kaum konservatif yang berupa kalangan priyayi dan bangsawan. Mereka akan dirugikan karena tidak lagi menerima penghormatan yang biasa mereka terima setiap harinya. Beberapa alasan lain menyatakan kalau Djawa Dipa akan membunuh kesusastraan Jawa yang menggunakan bahasa Krama. Menurut priyayi dan bangsawan Jawa, bahasa Krama telah dianggap sebagai wujud asli kebudayaan Jawa yang adiluhung. Karenanya eksistensinya tidak boleh dihilangkan demi kepentingan progresivitas. Djawa Dipa juga kerap dilabeli kurang ajar dan tak taat Krama atas idealismenya. 

Di sisi lain, terdapat pula tokoh pergerakan yang memandang positif gerakan ini. Salah satunya adalah Tjokroaminoto. Bersama dengan SI, Sang Raja Jawa Tanpa Mahkota ini menganggap bahwa Djawa Dipa menjadi pelaksana sistem demokrasi dan sosialisme. Awalnya Tjokroaminoto tak begitu memandang positif gerakan Ngoko ini karena ia pikir bahasa Melayu lebih tepat dalam menjangkau massa. Namun faktanya, rakyat Kromo Jawa tidak semuanya berbahasa Melayu. Mereka justru lebih akrab dengan Ngoko sehingga atas dasar persatuan dan sosialisme, Tjokroaminoto menganggap perlu adanya bahasa pemersatu bagi massa Jawa, yakni bahasa Ngoko.

Dukungan Tjokroaminoto juga ditampilkan melalui surat kabar Oetoesan Hindia yang mana ia dan istrinya menggunakan gelar Wiro dan Woro di depan namanya. Wiro dan Woro datang dari gagasan Djawa Dipa demi menghapus gelar Raden Mas dan Raden Ayu yang terkesan feodalistik.

Pudarnya Gerakan Djawa Dipa

Belum ada catatan yang jelas mengenai kapan berakhirnya gerakan ini secara pasti. Bahkan beberapa pelaku revolusi tiga daerah (Brebes, Tegal, Pemalang) pada akhir 1945 mengaku mereka merupakan bagian dari Djawa Dipa. Akan tetapi, pudarnya gerakan Ngoko ini mulai terlihat di tahun 1922, yakni ketika surat kabar Djawa Dipa yaitu Hindia Dipa diberhentikan dengan alasan yang tak jelas.

Baca Juga :   Nasionalisme Cina di Indonesia: Doktrin Sun Yat Sen dalam Gerakan Anti Jepang Etnis Tionghoa di Makassar

Hindia Dipa merupakan surat kabar terbitan Comite Djawa Dipa yang dibentuk pertama kali pada 18 April 1921 dan bersifat mingguan. Hadirnya mingguan Hindia Dipa menjadi bukti bahwa terdapat transisi gagasan gerakan yang awalnya bertujuan dalam pengukuhan bahasa Ngoko, kini targetnya jauh lebih meluas hingga mencakup seluruh Hindia. Hal ini turut ditandai dengan kehadiran Partai Sunda Dipa di Jawa Barat. Djawa Dipa di periode ini tidak lagi membicarakan soal perubahan bahasa dan kemajuan bangsa Jawa, melainkan kemajuan bangsa Hindia secara keseluruhan. Transisi ini menunjukkan posisi baru bagi Djawa Dipa yang awalnya berfokus pada kebudayaan lalu bermanuver menuju sosial politik. 

Hindia Dipa berakhir setelah setahun beroperasi. Tirtodanoedjo sebagai pimpinan redaksi tidak menjabarkan alasan yang jelas soal kejatuhan Hindia Dipa. Beberapa argumen menyebut bahwa kejatuhannya dilandasi atas minimnya pendanaan. Kejatuhan Hindia Dipa merupakan plot hole karena surat kabar ini sebenarnya laku di kalangan pergerakan dan buruh tani tetapi hadirnya surat kabar terbitan SI Semarang dan PKI yang mampu mencakup lebih banyak massa menjadi poin yang patut diwaspadai sebagai alasan kemunduran Hindia Dipa.  

Pada akhirnya Djawa Dipa pudar secara perlahan-lahan meskipun sebagai gerakan masih berkemungkinan eksis. Djawa Dipa menjadi sebuah organisasi yang memanifestasikan keresahan kaum pergerakan melihat bangsa Jawa yang enggan menerima perubahan. Ia menjadi alat untuk membunuh feodalisme yang merupakan budaya bangsa Jawa dari tahun ke tahun hingga hari ini. Dipa memiliki arti cahaya atau sinar. Maka Djawa Dipa memiliki tujuan menyinari bangsa Jawa yang telah diredupkan oleh segala budaya unggah-ungguh dan karakteristik feodal yang konservatif demi mewujudkan bangsa Jawa yang bersinar dan progresif.

Referensi

Lucas, A. (2019). Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi. Yogyakarta: Media Pressindo.

Pringgodigdo, A. (1978). Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.

Thamrin, M. H. (2022). Djawa Dipa: Sama Rata, Sama Rasa, Sama Bahasa (1917-1922). Depok: Komunitas Bambu.

Toer, P. A. (2006). Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts