Alkitab VOC: Pemeliharaan Iman oleh Serikat Dagang

Hadirnya Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) di Nusantara pertama-tama bertujuan untuk kegiatan perdagangan. Pada pertengahan abad ke-17 hegemoni VOC yang mulai berdiri tegak menjadikan Belanda sebagai negeri perdagangan terbesar di seluruh Eropa. VOC telah tampil sebagai simbol keuntungan dan ekonomi-perdagangan dan perluasan wilayah koloni Belanda.

Oleh: Omri Cristian

VOC mendapat mandat dari gereja di Belanda untuk menyebarluaskan agama Kristen Protestan di Nusantara. Bagi gereja penyebaran agama adalah hal penting yang perlu dilakukan. Sedangkan bagi VOC kepentingan agama akan bertindihan dengan kepentingan negeri untuk mendapat keuntungan. Bagaimana kemudian dua kepentingan tersebut dijalankan? Apakah VOC mengusahakan kristenisasi di Nusantara?

Perdagangan dan Penginjilan

Kekuasaan yang mulai ditanam VOC di Nusantara pada abad ke-17 menjadi tonggak awal perkembangan Kristen Protestan di kawasan tersebut. Awal mula perkembangannya dimulai saat protestanisasi orang Katolik di Ambon, Ternate, dan Minahasa. Dengan upaya ini, VOC mengharapkan kemudahan dan keuntungan dari penduduk sekitar yang sudah seiman. 

Sedangkan di daerah-daerah yang penduduknya telah beragama Islam, VOC tidak melakukan penginjilan, pendeta justru dilarang berkhotbah di sana. Misalnya pada 1605, VOC dapat merebut Ambon dan mendesak Spanyol dan Portugis ke utara. Upaya kristenisasi rupanya tidak dilakukan. Sebaliknya, VOC memberi kontrol yang ketat terhadap rohaniawan Protestan dengan tujuan stabilitas politik agar kelancaran perdagangan tidak terganggu.

Pernah VOC mengadakan perjanjian dengan Sultan Ternate dengan kesepakatan menyerahkan pembelot dari masing-masing pihak. Dalam perjanjiannya, seorang dari VOC yang membelot ke pihak Ternate akan diserahkan lagi ke pihak VOC, begitupula sebaliknya. Penetapan tersebut juga berlaku bagi seorang Islam yang masuk Kristen, dia akan diserahkan kembali kepada Sultan Ternate.

Gambar 1. Salah satu gereja yang telah berdiri di Batavia.
Sumber: Nationaal Archief. The Archives of the Dutch East Indie Company (VOC) and the Local Institutions in Batavia (Jakarta). (the Hague: Nationaal Archief, 2007), hlm. 201

VOC kemudian mulai mendirikan sekolah-sekolah Injil, membiayai penerjemahan Alkitab, dan mendatangkan pendeta-pendeta dari Belanda. Perlakuan ini sarat dengan kepentingan untuk mendapat keuntungan. Gereja terus berada di dalam kendali VOC. Pendeta dapat dipecat bila melakukan sesuatu yang tidak disukai VOC. Akhirnya kebanyakan dari mereka sudah puas hanya dengan melayani orang-orang yang sudah Kristen saja.

Gereja yang didirikan VOC tidak bebas dalam mengatur organisasi dan pekerjaan-pekerjaan menurut asas gereja sendiri. Para pendeta misalnya diharuskan memuji kemenangan-kemenangan yang diraih VOC dalam kebaktian syukur. Semua surat gereja-gereja dari Nusantara yang ditujukan kepada badan gerejawi di Belanda pun diserahkan dulu kepada sensor pemerintah.

Upaya Menerjemahkan Firman Tuhan

Walaupun enggan menyebarkan Kristen dengan sungguh-sungguh, VOC tetap memandang perlu pemeliharaan iman umat Kristen yang telah ada. Pada Januari 1621 dibentuk Kerkenraad (Majelis Gereja) Gereformeerd di Batavia atas desakan Gubernur Jenderal J. P. Coen. Tujuannya adalah mengatur segala yang dibutuhkan jemaat di Nusantara, termasuk upaya penerjemahan Alkitab. 

Usaha penerjemahan mula-mula dilakukan oleh para pedagang VOC, seperti Ruyl dan Van Hasel. Kemudian oleh para pendeta VOC seperti Browerius dan Leijdecker. Penerjemahan Alkitab saat itu hanya terbatas pada dua bahasa pergaulan di Nusantara, yaitu bahasa Melayu dan Portugis.

Kitab Suci pertama yang diterjemahkan ke Bahasa Melayu adalah Injil Matius. Injil ini diterjemahkan oleh Albert Corneliszoon Ruyl dan dicetak atas dana VOC di kota Enkhuizen Belanda pada 1629. Sedangkan upaya penerjemahan yang lain pernah dilakukan oleh De Almeida, seorang pendeta Gereja Reformasi di Batavia. Ia menerjemahkan Perjanjian Baru ke bahasa Portugis.

Baca Juga :   Adu Domba VOC dalam Konflik Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji
Gambar 2. Pasal pertama kitab Kejadian terjemahan Brouwerius
Sumber: commons.m.wikimedia.org/wiki/File:Kejadian_1.png

Penerjemahan Alkitab-pun terus disempurnakan. Pada 1668, Daniel Brouwerius menerjemahkan Perjanjian Baru ke bahasa Melayu. Setelah sebelumnya ia juga telah menerjemahkan Kitab Kejadian pada tahun 1662. Ia menggunakan bahasa Melayu regional dengan pengaruh bahasa Portugis yang kuat. Berikut hasil terjemahannya:

Kejadian 1:1

Pada Moulanja Deos souda miara sourga dengan boumi. Tetapi boumi adda ampa lagi belom adda roupa, lagi atas cadalamja adda galap lagi Deos pounja Spirito adda terbang atas ayer.

Kejadian 1:5

Lagi trang itou Alla souda bernamma seang.

Bahasa yang Brouwerius gunakan dianggap sebagai bahasa Melayu yang buruk. Misalnya, ia menggunakan miara untuk mengganti kata menciptakan. Penggunaan kata bernamma yang tidak pada tempatnya adalah contoh terjemahan buruk lainnya. Terjemahan tersebut seakan-akan menyebut bahwa Tuhan memiliki nama Seang. Begitu pula dengan bagian lain yang diterjemahkan dengan belum cukup baik. Terjemahan versi Brouwerius dirasa tidak dapat berfungsi  seluruh gereja di Nusantara. 

Kerkenraad di Batavia akhirnya menugaskan Leijdecker untuk menerjemahkan Alkitab kembali. Untuk tugas yang besar dan berat itu ia dibebastugaskan dari pekerjaannya sebagai pendeta. Sayang, sebelum tugasnya selesai Leijdecker meninggal pada 16 Maret 1701. Saat meninggal, 90% dari Alkitab sudah diterjemahkan.

Bahasa yang digunakan Leijdecker adalah Melayu yang lebih tinggi daripada terjemahan sebelumnya. Bahasa tersebut dianggap berada di atas daya tangkap sebagian besar umat Kristen di Nusantara. Akhirnya timbul perdebatan panjang antara kelompok “Melayu Tinggi” dengan “Melayu Rendah” yang mengakibatkan penerjemahan dihentikan. Setelah dibekukan selama 22 tahun, jalan tengah diambil dengan tetap menyelasaikan terjemahan versi Leijdcker namun direvisi secara menyeluruh oleh van den Vorm dan Werndly.

Terjemahan Leijdecker akhirnya mulai dicetak tahun 1733 di Amsterdam menggunakan aksara latin, dan pada 1758 dicetak di Batavia dengan menggunakan aksara Melayu-Arab. Terjemahan yang baru diterima secara luas dan memperoleh tanggapan baik juga dan khusunya di Maluku. Alkitab ini kemudian digunakan sampai abad ke-19, bahkan di Maluku sampai abad ke-20.

Hadirnya terjemahan Alkitab dan buku-buku gerejani berdampak bagi jemaat dan sekolah-sekolah yang disponsori oleh VOC, terutama di wilayah Batavia dan Ambon. Aneka Alkitab VOC yang digunakan di berbagai sekolah terdiri dari beberapa bagian terpisah mencakup Doa Bapa Kami, Sepuluh Perintah Allah dan Syahadat Para Rasul. Terjemahan memudahkan pengajaran agama di sekolah-sekolah.

Jemaat dari berbagai kelompok etnis seperti Ambon, Tionghoa, dan Jawa yang telah menganut agama Kristen terbantu dengan kehadirannya. Mereka dapat lebih mudah mengerti apa yang disampaikan didalam kitab suci. Alkitab rupanya menjadi sarana penting dalam pengajaran keagamaan yang harus dimengerti oleh umat Kristen.

Referensi

VOC di Kepulauan Indonesia : Berdagang dan Menjajah. (2002). Jakarta: PT Balai Pustaka.

Berkhof, D. H. (1967). Sedjarah Geredja. Jakarta: Badan Penerbit Kristen.

End, v. d. (2001). Ragi Carita 1. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

End, v. d. (2007). Harta dalam Bejana : Sejarah Gereja Ringkas. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Kruger, M. (1966). Sejarah Gereja di Indonesia. Jakarta: Badan Penerbitan Kristen.

Nationaal Archief. (2007). The Archives of the Dutch East Indie Company (VOC) and the Local Institutions in Batavia (Jakarta). the Hague: Nationaal Archief. (Online) diakses dari http://www.anri.go.id

Vries, L. d. (2009). Ikhtisar Sejarah Penerjemahan Alkitab di Indonesia. In H. Chambert-Loir, Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (p. 464). Jakarta: PT Gramedia.

Baca Juga :   Fotografi di Hindia Belanda

Wetzel, D. (2000). Kompendium Sejarah Gereja Asia. Malang: Gandum Mas.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts