Max Havelaar Buku Yang Membunuh Kolonialisme

Kritik dan kecaman terhadap kekejaman praktek kolonialisme bangsa Belanda di nusantara, dalam lintasan sejarah pernah muncul dalam beragam bentuk serta dari berbagai pihak termasuk dari kalangan bangsa Belanda sendiri. Salah satu kritik tajam yang terkenal disuarakan oleh Multatuli, nama pena dari Eduard Deuwes Dekker dalam novel monumentalnya yang terbit tahun 1860 ”Max Havelaar”.

Oleh : Tri Sutrisno Rahayu

Novel Max Havelaar yang ditulis Multatuli tercatat dalam sejarah sebagai buku pertama yang dengan tajam menelanjangi kekejaman dan kemunafikan praktek kolonialisme di nusantara semasa kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam artikelnya di koran New York Time pada 18 April 1989 menulis bahwa novel Max Havelaar berperan besar dalam membuka pandangan banyak pihak terhadap berbagai penindasan dalam praktek kolonialisme. Karena peran besarnya ini menurut Pramoedya Ananta Toer novel Max Havelaar pantas disebut buku yang membunuh kolonialisme.

Buku Max Havelaar ditulis Douwes Dekker di sebuah losmen murah di Belgia selama sekitar satu bulan pada tahun 1859. Buku ini ditulis Douwes Dekker empat tahun setelah ia mengundurkan diri dari jabatannya asisten residen di Lebak Banten Hindia Belanda. Meski berbentuk roman Max Havelaar dinilai banyak pihak mampu melukiskan dengan kuat berbagai penindasan yang dialami masyarakat Lebak Banten akibat belenggu praktek kolonialisme yang bertindak dalam bentuk feodalisme lokal.

Eduard Douwes Dekker (sumber: gambar Majalah Historia diakses pada 29 November 2020)

Tokoh utama dalam novel Max Havelaar yakni Max Havelaar tidak lain merupakan alter igo dari sosok penulisnya Eduard Douwes Dekker yang pernah menjabat sebagai asisten residen di Lebak Banten selama 84 hari pada tahun 1856. Dalam novel Max Havelaar dikisahkan bahwa Havelaar yang ditugaskan menjabat asisten residen Lebak Banten sangat terkejut karena melihat kehidupan rakyat bumiputera di wilayah kerjanya sangat menderita. Havelaar melihat rakyat bukan hanya menderita karena menjadi sasaran eksploitasi pemerintah kolonial lewat praktek sistem tanam paksa namun juga kerap menjadi korban penindasan sewenang-wenang penguasa feodal pribumi yang dimanfaatkan pemerintah kolonial Belanda untuk mendukung kekuasaan mereka. Havelaar misalnya dilukiskan sangat murka dengan praktek penindasan, korupsi dan perampasan harta benda yang dilakukan adipati Lebak bersama pembantunya terhadap rakyat.

Havelaar yang prihatin dengan rakyat Lebak kemudian melaporkan berbagai praktek korupsi dan penindasan rakyat yang dilakukan adipati Lebak  beserta kerabat dan para pembantunya kepada kepala polisi setempat dan pejabat atasannya. Namun laporan Havelaar tidak pernah ditindaklanjuti. Havelaar yang geram dengan kondisi ini, kemudian melaporkan langsung penindasan yang dialami rakyat Lebak kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Bogor. Namun laporan Havelaar ini tidak kunjung ditanggapi. Karena muak dan marah dengan kemunafikan serta penindasan yang dilakukan bangsanya terhadap rakyat pribumi Hindia Belanda, Max Havelaar memutuskan berhenti dari pekerjaannya sebagai pejabat sipil Hindia Belanda. Ia kemudian kembali ke Belanda dan menuangkan rasa frustasinya dengan menulis.

Meski dihadirkan sebagai kisah fiksi dalam bentuk roman dengan penggambaran kisahnya yang realistis dan pesan ati penindasannya yang kuat, buku Max Havelaar langsung membuat gempar ketika diterbitkan pertama kali pada tahun 1860. Di negeri Belanda novel Max Havelaar dengan cepat membuat gerah kalangan konservatif yang mendukung kolonialisme. Namun, dikalangan kaum liberal kehadiran buku ini tidak hanya disambut baik namun juga mengilhami mereka untuk mendesak pemerintah Belanda agar memperlakukan rakyat pribumi di Hindia Belanda secara lebih baik. Desakan kaum liberal ini belakangan berhasil memaksa pemerintah kolonial menjalankan politik etis atau politik balas budi kepada rakyat Hindia Belanda.

Baca Juga :   Jean Bedel Bokassa: Napoleonnya Afrika
Buku Max Havelaar cetakan tahun 1860 (sumber gambar Majalah Historia diakses pada 29 November 2020)

Lewat politik etis yang salah satunya berbentuk pemberian kesempatan bersekolah bagi kaum bumi putera, di kemudian hari lahir kaum terpelajar dari kalangan pribumi. Hal yang pada akhirnya menjadi bumerang bagi kekuasaan kolonial Belanda sendiri karena dari kalangan kaum terpelajar inilah lahir sejumlah aktivis pergerakan kebangsaan yang berupaya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Tak hanya mengilhami lahirnya politik etis berpuluh tahun setelah penerbitan perdananya, isi buku Max Havelaar belakangan juga ikut mempesona dan menjejakan ilham pada sejumlah tokoh gerakan kebangsaan dari R.A Kartini hingga Soekarno. Di luar Hindia Belanda buku Max Havelaar yang diterjemahkan dalam puluhan bahasa di luar bahasa Belanda juga dikagumi sejumlah tokoh dunia dari bapak bangsa Filipina Jose Rizal hingga pencetus Revolusi Bolshevik Vladimir Lenin.

Novel Max Havelaar yang mempunyai judul lengkap Max Havelaar : Lelang Kopi Maskapai Hindia Belanda ditulis Multatuli atau Eduard Douwes Dekker dengan memasukan karakter dan perjalanan hidupnya sebagai tokoh dan jalan utama kisah novel ini. Karena itu meski bercorak fiksi, isi novel ini tak ubahnya merupakan aspirasi dan emosi Douwes Dekker terutama aspirasi dan kecamannya terhadap beragam penindasan yang terjadi dalam praktek kolonialisme di Hindia Belanda. Praktek penghisapan yang menguntungkan bangsa Belanda dan para penguasa feodal pribumi yang mereka manfaatkan untuk mendukung kekuasaan kolonial. 

Di Kalangan bumiputera terutama di kalangan aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia novel Max Havelaar sangat dihargai, sebab novel ini merupakan buku pertama dengan jelas dan lantang membeberkan nasib buruk rakyat di Hindia Belanda yang sangat tertindas dalam sistem kekuasaan kolonial. Salah satu bagian isi novel ini yang berkisah tentang nasib malang Saidjah dan Adinda sepasang kekasih dari kalangan rakyat Lebak yang menjadi korban kesewenang-wenangan kolonialisme dan birokrasi feodal pribumi yang menopangnya menyentuh hati para pembaca. 

Dalam khasanah sastra dunia Max Havelaar dianggap sebagai buku yang sangat berpengaruh sejajar dengan buku Uncle Toms Cabin karya Harriet Beecher Stowe yang dinilai banyak pihak berperan mengilhami gerakan perlawanan terhadap perbudakan di Amerika Serikat. Meski banyak dikagumi sebagai buku yang mencerahkan dan berpengaruh, novel Max Havelaar juga memperoleh berbagai kritik dan cercaan. Guru besar Universitas Leiden P. J Veth misalnya menilai sebagai sebuah novel, nilai sastra dalam Max Havelaar hanya embel-embel, Veth juga menilai Max Havelaar menilai sebagai buku biografi karena tidak memaparkan fakta-fakta sejarah. Sementara pengamat sastra Rob Nieuwenhyus menulis bahwa Multatuli atau Eduard Douwes Dekker adalah pejabat yang gagal memahami struktur masyarakat tradisional di Jawa, sehingga protesnya terhadap pemerintah kolonial atas praktek korupsi bupati Lebak dinilai Nieuwenhyus salah kaprah.

Terlepas dari kritik yang dialamatkan pada isi novel dan sosok penulisnya, tak dapat dipungkiri bahwa novel Max Havelaar karya Multatuli lebih dari sekedar kritik terhadap kekuasaan kolonial dalam bentuk sastra. Namun juga merupakan satire tanpa simpati terhadap suatu jenis bourjois Belanda yang berlagak bermoral dan saleh tapi merogoh setiap sen yang bisa mereka peras dari masyarakat bumiputera. Sambil dengan seenaknya mengabaikan penderitaan rakyat pribumi di Hindia Belanda yang harus meremas keringat untuk memproduksi kekayaan bagi mereka.

Sumber Referensi :

  1. Multatuli. Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Hindia Belanda. Penerbit : Media Presindo, 2018
  2. Pramudya Ananta Toer. Max Havelaar “Kisah yang Membunuh Kolonialisme”. Penerbit : PT Mizan Pustaka, 2014
  3. Majalah Historia, 200 Tahun Multatuli, Penyadar Rakyat Indonesia, diakses 29 November 2020
  4. Majalah Historia, Multatuli Pembongkar Kejahatan atau Seorang yang Nyinyir, diakses 29 November 2020.
  5. Majalah Historia, Multatuli Diantara Dua Kutub, diakses 29 November 2020.
Baca Juga :   Masuknya Pasukan Salib dan Berkobarnya Perang Salib di Nusantara

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts