Diaspora Orang-orang Madura di Jember Pada Masa Kolonial

Citra Pulau Jawa pada abad ke-19 adalah penduduknya mengalami kemiskinan, selain itu juga tingkat mobilitas sosial sangat tinggi terutama dalam migrasi. Antara kemiskinan dan migrasi saling berhubungan. Kemiskinan terutamanya terjadi di Kedu, Rembang, Bojonegoro, Surakarta, dan Madura. 

Oleh : Ratna Winarti 

Orang biasanya melakukan migrasi ke wilayah lain, itu memiliki tujuan untuk memperbaiki taraf hidupnya. Selain itu penduduk melakukan migrasi terjadi dari daerah yang padat penduduk menuju ke daerah yang jarang penduduknya. Masyarakat Madura sangat erat hubungannya dengan pulau Jawa, khususnya Jawa Timur. Di sepanjang masa telah terjadi migrasi, penduduk dalam jumlah yang sangat besar, baik untuk selama-lamanya, ataupun untuk waktu yang singkat. Sudah sejak pertengahan abad yang lampau terdapat 833.000 orang Madura yang bertempat tinggal di Jawa Timur, dua kali lipat lebih banyak daripada jumlah orang yang bertempat tinggal di pulau itu sendiri.

Proses perpindahan penduduk etnis Madura ke Jawa Timur sudah berlangsung sejak masa lampau. Bahkan pada tahun 1806 telah terdapat desa-desa orang Madura di pojok timur karesidenan-karesidenan Jawa, seperti: 25 desa di Pasuruan, 3 desa di Probolinggo, 22 desa di Puger, dan 1 desa di Panarukan. Pada tahun 1870 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan undang-undang Agraria sebagai akibat politik liberal pemerintah di negeri Belanda. Dengan adanya undang-undang ini, yang memberi lebih banyak kesempatan kepada pihak swasta dalam bidang ekonomi, di bagian pojok timur pulau Jawa mulai banyak dibuka perkebunan. Perkebunan-perkebunan ini, terutama tembakau dan tebu, sangat banyak membutuhkan tenaga kerja manusia. Kebanyakan tenaga kerja murah didatangkan dari pulau Madura, baik sebagai tenaga kerja tetap maupun musiman. Setiap tahun ribuan orang Madura berdatangan ke Jawa Timur. Di samping sebagai pekerja perkebunan banyak di antara mereka yang bekerja sebagai petani kecil.

Gelombang migrasi ini terus berlangsung sampai terjadi krisis ekonomi internasional pada tahun 1929. Sebagai akibat merosotnya pasaran hasil perkebunan di dunia internasional banyak tenaga kerja musiman yang tidak diperlukan lagi. Akibatnya banyak dari mereka yang menetap di sekitar perkebunan dan bekerja apa saja. Hubungan melalui laut telah berkembang lebih baik dari pada hubungan di darat. Ada berbagai faktor yang menyebabkan migrasinya orang Madura ke wilayah Jember. Faktor pertama yaitu Kemiskinan yang dirasakan oleh orang-orang Madura sebab keadaan geografis alamnya. Keadaan fisik Pulau Madura kurang menguntungkan untuk usaha pertanian, menurut Kuntowijoyo keadaan fisik tanah di Madura yang kering, gersang dan tidak subur. Sebagian besar tanahnya terdiri dari tanah kapur, yang terbentuk pada zaman pleistosen, yang umumnya kurang subur untuk pertanian. Keadaan yang semacam ini sangat mengganggu untuk usaha pertanian, karena curah airnya tidak mencukupi terutama di musim kemarau. 

Kemiskinan dan keterbelakangan Madura merupakan sebagian akibat dari ketiadaan IPTEK serta sarana penunjang untuk mengolah potensi SDA dan ketidakmampuan dalam memanfaatkan peluang global dalam bentuk investasi untuk industrialisasi pada sisi yang lain. Di Madura pernah dibuka industri perkebunan tembakau dan tebu, namun segera ditutup karena penduduk belum siap. Oleh karena itu akibat minimnya kesempatan ekonomi maka mengakibatkan terjadinya pengangguran dan kemiskinan. Faktor inilah yang menjadi penyebab utama terjadinya migrasi jangka panjang dari Madura ke wilayah lain untuk mencari penghasilan. Selain itu terkait latar belakang pendidikan yang masih rendah, kedua terkait dengan kendala transportasi Surabaya-Madura.

Orang-orang Madura di Masa Kolonial (Sumber: LontarMadura.com)

Faktor kedua masuknya orang Madura ke wilayah Jember adalah karena adanya faktor penarik dari wilayah Besuki Jember yang menjadi tujuan mereka. Besuki merupakan daerah administrasi setingkat Karesidenan sejak masa Raffles. Besuki merupakan daerah yang subur dan cocok untuk kegiatan pertanian. Banyak pengusaha dari Belanda yang tertarik untuk membuka usaha di daerah jember. Para pengusaha menyewa tanah kosong untuk mendapatkan lahan penanaman dan membuka perkebunan. Dibukanya perkebunan-perkebunan yang baru di daerah Jember, menyebabkan meningkatnya kebutuhan tenaga kerja. Penduduk Jember yang ada pada saat itu tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pekerja perkebunan. Para pengusaha perkebunan kemudian berusaha memenuhi kebutuhan tenaga kerja tersebut dengan mendatangkan orang-orang dari luar daerah Jember. Sejak saat itu berdatangan orang-orang Madura dan Jawa serta berbagai etnik lain yang pindah dan menetap di Jember. Para migran Madura menetap di kawasan Jember bagian utara.

Sebelum hadirnya perkebunan-perkebunan di wilayah ini populasi penduduk berjumlah sedikit menurut Bleeker pada tahun 1845 penduduk Jember hanya berjumlah 9.237 orang dan berapa tahun kemudian tepatnya tahun 1867 jumlah penduduknya meningkat tajam menjadi 75.780 orang dan pada tahun 1880 meningkat menjadi 129.798 orang. Peningkatan penduduk yang sangat besar itu disebabkan oleh karena terjadinya gelombang migrasi besar-besaran, sebagai dampak pada tahun 1880-an jumlah perkebunan di daerah Jember semakin banyak. Perkebunan-perkebunan itu membutuhkan tenaga kerja yang sangat banyak. Daerah Jember dengan demikian dapat dikatakan baru mendapat perhatian orang Madura setelah banyak perusahaan perkebunan swasta membuka usaha di daerah ini. 

Orang-orang Madura yang menjadi pekerja di perkebunan Tembakau di Jember (Sumber: jemberkab.go.id)

Pola migrasi orang-orang Madura itu berawal dari para imigran datang ke tempat tujuan secara berkelompok kecil antara 10-15 orang, mereka melewati Sumenep Kalianget kemudian menyeberangi Selat Madura singgah di pelabuhan Panarukan. Selanjutnya dari Panarukan menuju Bondowoso atau Situbondo untuk menetap sementara di daerah pantai, kemudian mereka menuju Jember utara. Dari Jember utara terus ke Jember selatan, di Jember selatan mereka membuka hutan dan mendirikan desa-desa Madura seperti Jenggawah, Cangkring dan yang lain. Pada tahun 1806 diketahui telah ada desa-desa orang Madura, sama seperti yang didirikan di Jenggawah, Cangkring, Muktisari yang terletak di Jember Selatan. Di Pasuruan ada 3 desa, dan di Probolinggo ada 22 desa.

Perpindahan penduduk Madura semakin lama semakin besar jumlahnya, karena perkebunan-perkebunan yang lainnya juga banyak memerlukan tenaga kerja. Sebagian besar para migran Madura tersebut bermukim di daerah Jember bagian utara dan tengah, seperti Distrik Kalisat, Jember, dan Mayang. Besarnya arus migrasi mengakibatkan mobilitas di selat Madura cukup tinggi karena ongkos berlayar hanya 25 sen, sedangkan upah buruh yang diterima di perkebunan kopi sebesar 30-40 sen. Berdasarkan kenyataan tersebut maka dapat dikatakan bahwa perkembangan Jember sebenarnya tidak dapat dipisahkan dengan adanya perkembangan perkebunan di daerah ini pada abad 19. Jember sebenarnya memang sudah tua usianya, tetapi para sejarawan sepakat bahwa Jember baru diperhatikan sejak perkebunan diusahakan di daerah ini, sehingga perkembangan Kabupaten Jember seiring dengan ide kapitalisasi yang dilaksanakan di daerah jajahan.

Perkembangan Etnis Madura di Jember

Perkebunan-perkebunan yang baru dibuka di daerah Jember, menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan tenaga kerja. Sedangkan untuk penduduk Jember tidak dapat mencukupi kebutuhan pekerja perkebunan saat itu. Kondisi tersebut membuat para pengusaha berusaha untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dengan mendatangkan orang-orang dari luar daerah Jember. Pada saat itu berdatangan orang-orang dari Madura dan Jawa serta berbagai etnik lainnya yang pindah dan bahkan menetap di Jember. Untuk para etnis Madura menempati dan menetap di wilayah Jember bagian utara, sedangkan untuk orang Jawa menetap dan membangun pola pemukiman di Jember bagian selatan, dan untuk Jember bagian tengah dihuni oleh orang Cina, Arab dan Belanda yang menjadi pusat kota.

Baca Juga :   Reyog Ponorogo : Kebudayaan Sebagai Sebuah Identitas

Sejak adanya perkebunan pada abad ke-19 terjadi kenaikan jumlah penduduk yang sangat pesat. Peningkatan penduduk yang semakin besar disebabkan karena adanya gelombang migrasi secara besar-besaran sebagai dampak dari jumlah perkebunan di daerah Jember yang semakin banyak pada tahun 1880-an dan hal tersebut juga membutuhkan tenaga kerja yang sangat banyak. Dengan demikian daerah jember baru dikatakan mendapat perhatian dari orang Madura setelah muncul banyaknya perusahaan perkebunan swasta membuka usaha di daerah tersebut. Gelombang migrasi orang Madura ke daerah Jember berawal dari usaha NV LMOD (NV Landbouw Maatscappij Oud Djember) yang membutuhkan tenaga kerja untuk dijadikan pekerja di perkebunannya.

Para pengusaha perkebunan di Jember seringkali menghadapi persoalan yang sama, misalnya soal pekerja, serangan hama, keamanan dan yang lainnya. Sedangkan untuk perkebunan tembakau di Jember terdapat kesulitan utama yang dihadapi yaitu masalah tenaga kerja. Dan terdapat ketidakseimbangan antara luas wilayah Jember dengan jumlah penduduknya sehingga mereka memanfaatkan beberapa orang Madura yang sudah lama menetap diperintahkan untuk pulang ke Madura kemudian kembali ke Jember dengan mengajak sanak keluarganya, tetangganya maupun orang Madura lainnya supaya mau berpindah ke daerah Jember. Orang Madura tersebut diberi janji dan harapan yang nantinya akan mendapat pekerjaan dengan upah yang besar.

Sejak tahun 1870-an banyak orang Madura yang pindah dan kemudian menetap di Jember. Sebagian besar dari mereka bekerja di perkebunan tembakau. Pihak perkebunan tembakau tidak hanya memerlukan tenaga laki-laki, namun juga perempuan dan anak-anak untuk bekerja di gudang-gudang. Selain itu, banyak juga orang Madura yang bekerja sebagai tenaga kerja harian. Orang Madura yang berada di Jember harus bekerja dan terikat dengan perusahaan tempatnya bekerja, sehingga mereka juga harus berdomisili di Jember. Dan pada tahun itu juga penduduk antara orang Madura dengan orang Jawa lebih mayoritas ke orang Madura.

Pembukaan perkebunan-perkebunan besar menjadikan daya tarik yang sangat kuat, dimana perkebunan ini dapat memberikan kesejahteraan para pendatang yang sangat menguntungkan untuk para migran. Untuk perkebunan yang ada tidak memberatkan orang Madura , justru sebaliknya meringankan beban orang Madura. selain itu dalam perkebunan tembakau dan tebu tidaklah asing bagi orang Madura, karena mereka sudah terbiasa dan di Madura sudah pernah membuka perkebunan tersebut. Perkebunan tembakau sendiri merupakan perkebunan yang pokok di Madura.

Pusat pendistribusian perkebunan tembakau di Jember masa kolonial (Sumber: LintangBatas Magz)

Perkebunan yang berada di ujung timur Jawa Timur merupakan lapangan pekerjaan bagi orang Madura, wilayah ini menjadi sumber “gulden” karena didatangi oleh banyak orang, termasuk Madura. Dengan adanya hal tersebut membuat wilayah Jember bagi orang Madura lebih mudah untuk menghasilkan pendapatan dibandingkan tempat asalnya. Selain itu orang Madura mendapat pembagian tanah dan hewan ternak secara gratis untuk mengerjakan sawah dan para migran selama beberapa tahun dibebaskan dari pajak. Sehingga dari hal diatas dapat dikatakan bahwa orang Madura yang bermigran ke Jember menjadi lebih baik dari sebelumnya seperti dalam memenuhi kebutuhan hidup dengan cara bekerja.

Masuknya sistem perkebunan di Jember membawa perubahan sosial dan ekonomi pada masyarakat sekitar dan banyak kesempatan untuk memperoleh uang karena banyaknya kesempatan pekerjaan. Selain itu membawa perubahan bentuk fisik kota. Sistem perkebunan swasta di Jember memacu terjadinya migrasi etnis Madura dan Jawa dimana mereka membawa budaya asalnya ke daerah Jember dan mengakibatkan wilayah bagian Jember utara berkembang budaya Madura. Dan terdapat percampuran budaya antara Madura dan Jawa yang memunculkan budaya baru disebut budaya Pandhalungan pada bagian wilayah Jember tengah.

Aktivitas etnis Madura di Jember

Sejak tahun 1870-an banyak orang-orang etnis Madura yang memilih pindah dan menetap di kota Jember.35 Sebagian besar bekerja menjadi buruh di perkebunan tembakau milik pemerintah kolonial, namun tidak hanya pekerja laki-laki yang dibutuhkan untuk membabat hutan tetapi juga pekerja wanita dan anak-anak yang diperlukan tenaganya untuk bekerja di gudang dalam hal peragian dan pengepakan tembakau kering. Sementara upah yang mereka dapatkan setiap harinya adalah 25 hingga 30 sen. Selain menjadi pekerja tetap di beberapa perkebunan yang baru dibuka, sebagian dari mereka juga bekerja sebagai tenaga kerja harian. Ada juga yang menjadi pekerja temporer, dalam hal ini mereka akan meninggalkan rumahnya setelah tidak ada pekerjaan di sawah atau tegalan untuk kemudian bekerja di perkebunan Jember lalu pulang apabila masa panen sudah tiba.

Sementara aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang etnis Madura yang bekerja di sektor perkebunan gula, mereka diharuskan untuk melakukan beberapa kegiatan seperti penanaman dan panen, pengangkutan tebu dari lading ke pabrik, penggilingan dan pengangkutan hasil bumi dari pabrik ke pelabuhan laut, dan melakukan perawatan pada alat-alat yang digunakan dalam proses perkebunan. Semua kegiatan tersebut dilakukan oleh mereka dengan giat setiap harinya, oleh sebab itu juga pemerintah kolonial menganggap lebih mudah dan menguntungkan untuk memanggil pekerja dari wilayah Madura.

Selain menjalankan kegiatan sehari-hari sebagai buruh di perkebunan milik pemerintah, orang-orang etnis Madura di wilayah Jember juga dikenal senang dengan dunia kesenian. Meski tinggal di daerah perantauan, mereka tetap menjaga dan tidak pernah meninggalkan identitas asli dari budayanya, bahkan turut membawa dan mengenalkannya pada masyarakat asli di perantauannya. Dalam hal kesenian, masyarakat etnis Madura di Jember sering menggelar acara ludruk Madura yang memiliki keunikan tersendiri, untuk sekadar hiburan melepas penat serta melestarikan kebudayaan. Selain ludruk mereka juga gemar sekali melihat pertunjukan Hadrah yang berisikan nilai-nilai islami, hal ini terjadi sebab kehidupan dan nilai-nilai keagamaan Islam sangat dekat dengan kehidupan orang-orang etnis Madura serta merupakan kesenian dari pesantren yang menjadi orientasi dari pendidikan utama masyarakat Madura. 

Lalu selain kesenian dalam wujud pagelaran hadrah, etnis Madura di Jember juga suka sekali mendengarkan acara pengajian yang memberikan banyak wejangan-wejangan tentang Islam yang menurut mereka kegiatan ini sangat bermanfaat untuk mendapatkan pedoman-pedoman dalam menjalani hidup, serta dapat bertemu juga dengan para kyai atau ustadz yang biasa mereka sebut dengan istilah “Lorah atau Gus” sebab mereka menganggap seorang ustadz yang memiliki banyak ilmu mengenai agamanya dan dekat dengan Tuhan yang mereka yakini sehingga dapat mendatangkan berkah bagi kehidupan.

Dalam menjalankan semua aktivitas kesehariannya, tentu orang-orang etnis Madura tidak bisa dilepaskan dari hubungan sosialnya dengan etnis-etnis lainnya yang juga berada di wilayah Jember. Hubungan sosial yang terjadi antara etnis Madura dengan warga lokal Jember melalui proses-proses interaksi yang dilakukan terjadi setiap harinya sebab mereka tinggal di wilayah yang sama. Etnis Madura banyak bermukim di wilayah Jember bagian utara, mereka hidup berkelompok yang didasarkan pada unsur genealogis yang disebut dengan pola pemukiman “taneyan lanjang”. Interaksi etnis Madura dengan etnis Jawa dalam kesehariannya pada akhirnya memunculkan budaya Pandalungan meski sebenarnya budaya tersebut lahir dari kedudukan kasta yang berbeda dari kedua etnis pada masa penjajahan. Selain menjalin hubungan sosial dengan warga lokal dari Jember atau yang sebagian besar etnis Jawa, orang-orang etnis Madura juga melakukan interaksi dengan etnis lainnya yang juga menjadi pendatang di Jember diantaranya adalah etnis Tionghoa dan Arab. Mereka juga sering melakukan gotong royong dalam kegiatan seni seperti dalam kesenian Barongsai dan Liang Liong banyak masyarakat etnis Madura yang turut menjadi penari hingga pemusiknya. Begitu juga dengan etnis Arab yang turut dibantu pada saat melakukan penggarapan kesenian Gambus yang banyak digelar di wilayah Kendang Kempul dan Janger.

Baca Juga :   Sejarah dan Kondisi Perkebunan Pabrik Kopi Gumitir Jember: Sumber Ekonomi bagi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda

Dampak Masuknya etnis Madura di Jember

Seperti yang telah dibahas bahwa setelah dibangunnya infrastruktur di daerah Jember terutama pembangunan jalur darat dan jalur kereta api pada akhir abad ke-19 berakibat pada terjadinya gelombang migrasi dari beberapa daerah di Indonesia ke daerah Jember. Beberapa negara yang banyak melakukan migrasi yaitu daerah Madura, selain daerah Jawa tentunya. Merupakan suatu hal yang umum ketika terjadi gelombang imigrasi yang lumayan besar dari sekelompok etnis tertentu biasanya membawa dampak bagi daerah tempat migrasi. Beberapa dampak tersebut diantaranya adalah :

a. Pola pemukiman

Para migran Madura mayoritas menetap di wilayah Jember Utara dan mereka hidup berkelompok yang didasarkan pada unsur geneologis. Sedangkan para migran dari Jawa sebagian besar menempati daerah selatan Jember. Di Daerah utara Jember tersebut kemudian juga terbentuk suatu pola pemukiman baru yaitu pola permukiman “Tenayen Lanjang”. Disitu merupakan daerah perkumpulan orang-orang Madura yang melakukan migrasi ke Jember, meskipun tidak semua berada disana. Oleh Karenanya tidak mengherankan bila sampai saat ini penduduk yang berada di daerah Jember utara menggunakan bahasa Madura sebagai alat penutur mereka dalam kehidupan sehari hari.

b. Budaya

Tentu saja menjadi suatu hal yang lumrah ketika suatu etnis melakukan migrasi ke daerah tertentu dengan membawa dan mengembangkan budaya asalnya. Para migran dari manapun tentu memerlukan hiburan sebagai salah satu bentuk atau cara untuk melepas rindu akan kampung halaman atau tempat asalnya. Para migran dari Madura ini sering membuat pertunjukan seni dan beberapa budaya lainnya, seperti : Seni Macopat, Seni Topeng Madura, Tandhak, Sronen, Sandur,dsb. Hal tersebut secara tidak langsung juga dilakukan orang Madura bukan hanya untuk menghibur diri dari kerinduan tempat asal mereka tapi juga secara tidak langsung mengenalkan dan mengembangkan budaya mereka di tempat yang mereka tinggali. Hal itu bisa juga sebagai bentuk , untuk menjalin interaksi dengan orang-orang sesukunya agar tetap terjaga dengan baik dan sebagai media yang tepat untuk menjaga solidaritas agar jati diri kesukuan dan budayanya di rantau tetap terbina dengan baik. Ada beberapa seni yang masih dilakukan hingga saat ini.

Di daerah Jember utara terdapat sebuah budaya yaitu Budaya Pandalungan. Budaya Padhalungan ini merupakan hasil sentuhan budaya atau proses akulturasi antara budaya Jawa dan Madura. Budaya ini banyak ditemui di daerah Jember Tengah dan sekitarnya. Salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya budaya Pandhalungan ini karena komposisi migran Madura dan Jawa yang berimbang.44 Sehingga seni yang berkembang di daerah tengah Jember ini memiliki dua ciri budaya. Beberapa contoh seni yang mengalami akulturasi yaitu :

c. Bahasa

Menurut Tim Peneliti Fakultas Sastra Universitas Jember tahun 1981, Penduduk di daerah Jember Tengah dan sekitarnya memiliki dwi bahasa dalam artian pemakai bahasa Madura dan dapat berbahasa Jawa atau sebaliknya. Akibat dari kehidupan yang berdampingan dengan berbagai budaya yang berbeda, kemudian melahirkan sebuah budaya baru yang menarik dalam hal berkomunikasi. Adanya perbedaan etnis, suku, agama, dan ras tidak menjadikan masyarakat Jember terpecah dan bermusuhan. Hal ini salah satunya terlihat dari tuturan Fatik yang mereka tuturkan. Tuturan atau Komunikasi Fatik dapat memunculkan komunikasi yang efektif dalam interaksi antar penutur dan lawan tuturnya, meskipun dengan keberagaman budaya yang ada di masyarakat.

Ditemukan juga beberapa kosakata yang menjadi ciri khas masyarakat Jember, seperti pada kata mara (ayo), ho (panggilan setara bro), mak tager ngunu (sampai segitunya), dsb. Kosa kata tersebut juga turut memperkuat tuturan fatik dalam percakapan, dimana tuturan ini bertujuan menjaga keharmonisan bermasyarakat. Meskipun terdapat beberapa jenis kata yang hanya sekedar basa-basi. Berdasarkan tuturan fatik tersebut kita juga bisa mengetahui bahwa karakter masyarakat Jember adalah saling menghormati serta menghargai lawan tuturnya meskipun berbeda etnis, agama, budaya, dsb.

d.  Pola pemikiran pendidikan anak

Pemilihan pendidikan untuk anak di kawasan Jember dipengaruhi oleh etnis orang tua dari si Anak. Selain itu biasanya juga dipengaruhi oleh dominan budaya dimana tempat mereka tinggal.

1. Pada pasangan bapak Madura – ibu Madura, pemilihan jenis sarana pendidikan keputusan terletak pada bapak sebagai kepala keluarga

2. Pada pasangan bapak Madura – ibu Jawa, pertimbangan dan keputusan untuk memilih sarana pendidikan bagi anak diserahkan justru kepada ibu. Hal ini karena dianggap sang ibu lebih mengerti yang terbaik bagi masa depan anak sedangkan sang bapak berkepentingan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Sedangkan dalam hal pemilihan pendidikan formal. Masyarakat Pendalungan dominan Madura cenderung untuk memilih pondok pesantren sebagai sarana pendidikan formal bagi anak-anak mereka. Karena secara umum orientasi pekerjaan masyarakat dominan Madura adalah berdagang atau bercocok tanam. Sehingga mereka berpandangan bahwa aspek religius lebih penting daripada ilmu pengetahuan. Sedangkan masyarakat migran dari Jawa cenderung menyekolahkan anak mereka pada sekolah umum baik itu negeri maupun swasta yang bukan pondok pesantren. Hal ini karena migran Jawa orientasi pekerjaannya ke arah pekerjaan yang berkaitan dengan pemerintahan atau pegawai, sehingga ilmu pengetahuan umum dipandang penting sebagai dasar pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Bleeker, P. 2015. Bijdrage tot de Statistiek der Bevolking van Java end Madoera. Periksa Retno Winarni, dkk. Kajian Toponimi Kabupaten Jember (kerjasama Bappeda Kabupaten Jember dengan Lembaga Penelitian Universitas Jember).

Christanto P, Raharjo. 2017. Pendhalungan : Sebuah ‘Periuk Besar’ Masyarakat Multikultural. Kemendikbud.

Kuntowijoyo. 2002. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura. Jogjakarta: Mata Bangsa.

Nawiyanto. 2018. Terbentuknya Ekonomi Perkebunan di Kawasan Jember. LaksBang PRESSindo: Yogyakarta.

Nurhadi Sasmita. 2019. Menjadi Kota Definitif : Jember Abad 19 – 20. Jurnal Humaniora. Vol. 1, No. 2. Universitas Negeri Jember.

Tennekes, J. 1963. “De Bevolkingspreiding der Residentie Besoeki”. Tijdschrift van het Koninklijke Nederlandsch Aardrijkundig Genootschap.

Sasmita, Nurhadi. 2019. Menjadi Kota Definitif: Jember Abad 19-20. Jurnal Humaniora, (Vol. 1, No. 2), hlm, 116-137.

SU, Sunarto Hs. 1985. Penduduk Indonesia Dalam Dinamika Migrasi 1971-1980. Yogyakarta: Dua Dimensi.

Anggareni. Astri Widyaruli, 2017, “Komunikasi Fatik pada Masyarakat Pandhalungan di Kabupaten Jember.” Vol.2 No. 2 ISSN. 2502-5864 

Arifin. Edy Burhan, 2006, “Pertumbuhan Kota Jember dan Munculnya Budaya Pandhalungan”, vol. 1 No. 3 

Hartono, Mudji. 2010. “Migrasi Orang-orang Madura di Ujung Timur Jawa Timut Suatu Kajian Sosial Ekonomi”. Jurnal Historia (Vol, VIII, No. 1), hlm. 1-5.

Satrio. Prakrisno, 2019, “ Transmisi Budaya dan Identitas Sosial pada Masyarakat Pandalungan”, Psikologi Sosial di Era Revolusi Industri 4.0: Peluang & Tantangan (file:///C:/Users/User/Downloads/Documents/Prakrisno-Satrio.pdf) diakses pada 21 Oktober 2020

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts