Konflik di Kesusastraan Indonesia Periode 60-an

Pada periode ini perbedaan ideologi demikian tajam dan berdampak pada perkembangan sastra di Indonesia. Hae (2014, hlm. 2) mengemukakan bahwa “pada awal 1950 mulai muncul keluhan akan krisis atau kelesuan di dalam kesusastraan Indonesia modern, dan itu berlangsung hingga pertengahan dasawarsa itu”. Hal ini terlihat jelas dengan adanya polemik antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dengan Manifes Kebudayaan (Manikebu).

Oleh Zikri Ibnu Zar

Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium penyampaiannya (Sapardi Djoko Damono, 2010).  Sastra juga merupakan suatu objek yang berisi pemikiran, pendapat ataupun perasaaan yang mengarahkan manusia kepada hal-hal baik. Adapun pendapat dari Sumardjo & Saini (1997) mengatakan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Sastra selalu berkembang seiring dengan perkembangan zaman. 

Pada periode 1961-1971 kesusastraan Indonesia mengalami gejolak dengan adanya pertentangan dari para sastrawan yang mewakili kepentingan dan golongannya masing-masing. Gejolak ini dikenal dengan nama “Peristiwa Manikebu”. Pada periode ini perbedaan ideologi demikian tajam dan berdampak pada perkembangan sastra di Indonesia. Hae (2014, hlm. 2) mengemukakan bahwa “pada awal 1950 mulai muncul keluhan akan krisis atau kelesuan di dalam kesusastraan Indonesia modern, dan itu berlangsung hingga pertengahan dasawarsa itu”.  Hal ini terlihat jelas dengan adanya polemik antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dengan Manifes Kebudayaan (Manikebu).

Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)

Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) didirikan oleh oleh D.N. Aidit, Ashar, A.S. Dharta, serta Njoto pada tanggal 17 Agustus 1950. Didirikannya Lekra bertepatan dengan hari proklamasi kemerdekaan yang ke-5. D.N. Aidit dan Njoto sendiri merupakan para pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI). Oleh sebab itu terbentuknya organisasi Lekra ini diyakini sebagai salah satu dari underbow PKI, dengan mengusung ideologi “Kebudayaan untuk Rakyat”. 

Pendekatan yang dilakukan Lekra yaitu dengan cara terjun langsung ke masyarakat, sehingga masyarakat bisa memahami apa yang menjadi keinginan rakyat dalam mengembangkan kebudayaan. Semenjak diperkenalkan “Realisme Sosialis” ala Pramoedya, Lekra menjadi salah satu lembaga kebudayaan yang mengangkat isu kemanusiaan dalam dunia sastra. Banyak karya yang tidak hanya sebatas khayalan, melainkan juga bisa lebih merakyat dan realis di bawah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

books-114467__480.webp

Sumber : https://pixabay.com/id/photos/buku-membaca-sastra-tempat-tidur-114467/

Lekra ini termasuk kedalam anggota badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) lebih Lekra sebagai organisasi lebih ketat dari BMKN. Lembaga ini mendirikan 18 cabang di provinsi yang dikepalai oleh perwakilan-perwakilan yang merekrut para anggota lokal. Di dalam organisasi ini, Lekra mempunyai pedoman yang disebut Mukadimah Lekra. Berdasarkan mukadimah ini, ada beberapa jargon yang dianggap melekat dengan Lekra seperti seni untuk rakyat, politis adalah panglima, realisme sosial serta ideologi di atas seni. 

Manifes Kebudayaan (Manikebu)

Manikebu lahir pada September 1963 sebagai tandingan atas ideologi yang diusung Lekra. “Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita, dan politik kebudayaan nasional kami. Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain: setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya. Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa. Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami. Bagi Manikebu kebebasan berekspresi adalah hak dasar bagi demokrasi seni dan persoalan apakah mau seni dan budaya harus tidak bebas nilai atau pun tidak itu adalah persoalan pilihan, dan harus dikembalikan pada masing-masing.

Baca Juga :   Maret Berdarah di Sumatera Timur Tahun 1946

Dari dua ideologi kebudayaan tersebut hanya Manikebu yang masih bertahan hingga saat ini. Seniman Manikebu kemudian menjadi aktif dalam pengembangan budaya Orde Baru karena partai-partai Lekra terkait PKI juga ditekan dan dibungkam. Selain perbedaan ideologi dan perkembangan budaya, merupakan titik sederhana untuk menyebarkan politik praktis. Lekra dan Manikebu juga berjuang untuk mempertahankan politik kekuasaan. Dalam teori sejarah, ada orang yang menjelaskan bahwa sejarah adalah milik penguasa. Teori ini juga berlaku bagi Lekra, yang sampai saat ini orang sudah tidak diketahui keberadaannya.

Bubarnya Lekra terkait pelarangan ajaran komunisme, leninisme, dan pembubaran organisasi PKI oleh pemerintah Soeharto tidak meredam konflik para tokohnya. Hal ini terbukti dengan dengan munculnya kasus polemik hadiah Masagsay tahun 1995, saat Pramoedya Ananta Toer memperoleh hadiah tersebut. Polemik tersebut berawal dari penolakan 26 sastrawan dan budayawan yang dimotori oleh Taufiq Ismail menolak penganugerahan Masagsay kepada salah satu tokoh Lekra tersebut. Polemik tersebut menjadi tanda konflik Lekra dan Manikebu belum selesai, walaupun Goenawan Muhamad dan Arief Budiman menyuarakan untuk perlu rekonsiliasi dengan saling memaafkan dan menghargai segala perbedaan. 

Konflik yang tiada akhir tersebut jelas membuat kebudayaan kita menjadi tidak sehat. Padahal dengan dibubarkannya PKI dapat membuat bangsa atau negara kita tumbuh dengan semangat baru dan terbebas dari politik-politik golongan tertentu, yang membuat negara kita mengalami perpecahan dan pertumpahan darah.

Narasi : 

Pada periode ini perbedaan ideologi demikian tajam dan berdampak pada perkembangan sastra di Indonesia. Hae (2014, hlm. 2) mengemukakan bahwa “pada awal 1950 mulai muncul keluhan akan krisis atau kelesuan di dalam kesusastraan Indonesia modern, dan itu berlangsung hingga pertengahan dasawarsa itu”. Hal ini terlihat jelas dengan adanya polemik antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dengan Manifes Kebudayaan (Manikebu).

Caption :

Pada periode 1961-1971 terjadi polemik yang melibatkan dua lembaga seni bernama Lekra dan Manikebu. Perbedaan ideologi menjadi faktor utama penyebab gesekan antara kedua lembaga seni yang sama-sama memiliki pengaruh ini.  Ingin tahu selengkapnya mengenai Konflik di Kesusastraan Indonesia Periode 60-an. Klik link bio.

Daftar Pustaka

Erowati, Rosida dan Ahmad Bahtiar. “Sejarah Sastra Indonesia”. Jakarta: Lemlit UIN Jakarta. 2011.

Supartono, Alexander. “Lekra vs Manikebu Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1960-1965″ Jakarta: STF Driyakarya 2000.

Susanti, Nurmalia, Nana Supriatna, dan Yeni Kurniawati Sumantri. “Lekra Vs Manikebu: Perlawanan Majalah Sastra terhadap Politik Kebudayaan Pemerintah Masa Demokrasi Terpimpin (1961-1964).” FACTUM: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah 8.1. 2019.

Wahyono, Sugeng Bayu. “MENYOAL POSISI DAN PERAN KEBUDAYAAN INDONESIA SEBAGAI RUJUKAN DUNIA.” JURNAL MAJELIS: 23.

Widariyanti, Cici. “EKSISTENSI LEKRA DALAM PUSARAN MANIFESTO KEBUDAYAAN DEMOKRASI TERPIMPIN.” ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah 18.1. 2022.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts