Sistem Perkawinan Bangsawan dan Priyayi di Jawa Abad Ke-XVIII

Menjelaskan tentang priyayi setidaknya terdapat dua arti yaitu Priyayi Luhur dan Priyayi Cilik. Priyayi Luhur ialah priyayi yang memiliki nasab dan keturunan sebagai raja. Sedangkan Priyayi Cilik/Alit ialah priyayi yang mendapat kehidupan dengan status sosial tinggi sebab pendidikan dan kerja dalam pemerintahan (kraton; abdi dalem). Jadi, tafsiran terhadap priyayi sendiri tidak hanya berkutat pada simbolisasi kaum elit yang memiliki sambung darah, melainkan turut mengiringi kehidupan sosial masyarakat biasa yang berstatus tinggi atas pendidikan, pekerjaan maupun sosial kebudayaan. Tidak lepas juga dalam kaitan masalah pernikahan. Namun, bisa berarti juga bahwa bangsawan itu merupakan Priyayi Luhur. Artinya mereka yang memiliki tali darah sebagai kaum elit atau bangsawan merupakan masyarakat dalam golongan yang berstatus sosial tinggi. Jadi, perlu kemudian digarisbawahi bahwa bangsawan juga termasuk Priyayi Luhur, sedangkan priyayi yaitu mereka yang memiliki kesempatan menempati posisi sebagai status sosial tinggi dengan adanya pendidikan atau sebagai pegawai di dalam kraton atau disebut sebagai Priyayi Alit.

Oleh Ahmad Zainuri

Priyayi tingkat tinggi menganut sistem perkawinan poligami layaknya kaum bangsawan tinggi. Pepatih Dalem, orang pertama yang paling berkuasa setelah raja, yang pada umumnya diambil menantu raja. Usaha memasukkan patih kerajaan ke dalam jaringan kekerabatan yang berpusat pada raja itu didasarkan pada kepentingan politik raja, agar kedudukannya aman dan terjamin. Sesudah diadakan perjanjian pada tahun 1743 yang salah satu ketentuannya adalah menempatkan patih kerajaan sebagai pegawai kompeni/Pemerintahan Hindia Belanda, sehingga penarikan patih ke dalam jaringan kekerabatan raja merupakan hal politis yang sangat penting.

Dalam sejarah Kesunanan Surakarta disebutkan bahwa Paku Buwana III (1749-1788) mengambil tiga orang patihnya sebagai menantu yaitu R.Ad. Mangkupraja, R.Ad. Jayadiningrat, dan R.Ad. Cakraningrat. Dua orang putri Paku Buwono IV dikawinkan dengan R.Ad. Sasradiningrat II dan R. Ad. Sasradiningrat III. Putri Paku Buwono VII lahir dari garwa ampeyan atau selir, juga dikawinkan dengan R.Ad. Sasradiningrat III. Paku Buwono IX mengambil menantu R.Ad. Sasradiningrat IV, dan Paku Buwono X mengambil R.Ad. Jayanagara sebagai menantu.

Pada umumnya para patih itu diambil menantu oleh raja pada waktu mereka masih menjabat bupati nayaka. Sasradiningrat IV, yang setelah pensiun dikenal sebagai Kanjeng Kleca diambil menantu oleh Paku Buwono IX ketika menjabat sebagai bupati nayaka dengan nama R.T Purwanagara. Triman putri raja kepada priyayi mengandung arti, bahwa priyayi itu mendapat anugerah dari raja dan ini memungkinkan ia dapat meningkatkan pangkatnya dengan mudah. Selain keturunannya menjadi cucu raja lewat garis wanita, pada umumnya status kebangsawanan priyayi itu juga terangkat. 

Perkawinan antara bangsawan dan priyayi ini juga berlaku pada golongan priyayi tingkat bawah. Seorang priyayi berpangkat kliwon dengan status canggah atau piut raja, jika ingin tetap berada dalam lingkup kerabat raja atau meningkatkan status sosialnya, maka anaknya laki-laki harus dicarikan jodoh seorang putri yang sedikitnya berstatus cicit raja. Jika ia menginginkan menantu seorang putri pangeran sentana, maka ia harus membawa anaknya ke ndalem pangeran itu, agar dapat diterima sebagai panakawan. Sebagai panakawan, ia harus rajin mengikuti perintah tuannya, misalnya pada hari-hari tertentu harus datang untuk mempelajari berbagai macam cabang kesenian Jawa, berbagai macam ketrampilan yang harus dimiliki oleh priyayi, etiket yang berlaku di dalam kraton dan di dalam kalangan bangsawan pada umumnya.

Jika pangeran berkenan mengambilnya sebagai menantu, ia tidak dapat menyampaikan keinginannya secara langsung kepada panakwan itu. Menurut adat yang berlaku bahwa orang tua perempuan, betapapun tinggi kedudukannya, tidak dibenarkan apabila ia melamar anak laki-laki untuk dijodohkan dengan anaknya. Hanya raja saja yang berhak untuk menunjuk seseorang untuk diberi triman putrinya. Dengan demikian, maka pangeran membutuhkan seorang congkok, yaitu seorang perantara yang menghubungkannya dengan orang tua calon menantu. Untuk melamar putri pangeran, seorang kliwon dari  golongan bangsawan harus membuat surat lamaran dengan bahasa yang sangat halus, dan mendapatkan dirinya dalam kedudukan yang amat rendah. Sebaliknya, surat jawaban dari pangeran kepada kliwon menggunakan bahasa ngoko. 

Baca Juga :   Madura, Mataram, dan Kompensasi Mahal yang Dibayar Dalam Oleh Trunojoyo

Tahap berikutnya, jika lamaran tersebut diterima, menjelang pesta perkawinan anaknya, kliwon itu membuat surat undangan dengan lima macam bahasa yang berbeda. Pertama, ditujukan kepada para pangeran yang isinya hanya sebagai pemberitahuan. Dalam surat itu dicantumkan, bahwa anaknya mendapat triman putri seorang pangeran. Kedua, ditujukan kepada priyayi luhur, yaitu wadana (bupati), kliwon yang masih cucu atau cicit raja. Ketiga, kepada priyayi luhur, tetapi berasal dari orang kecil. Keempat, ditujukan kepada priyayi panewu-mantri, dan kelima, ditujukan kepada teman-teman akrab. Bahasa yang digunakan dalam surat kedua lebih halus dari pada yang dipakai dalam surat ketiga, karena kelompok undangan kedua itu adalah priyayi agung  yang berasal dari golongan bangsawan. Dengan demikian, maka status bangsawan masih lebih dihormati. 

Secara garis besar dalam mencarikan jodoh bagi anak laki-lakinya, priyayi dapat mengarahkan pilihannya pada; pertama, putri pangeran atau putri bangsawan yang derajatnya di bawah pangeran; kedua, sama-sama anak priyayi; dan ketiga, anak pedagang. Pilihan kedua lebih banyak dilakukan, karena lebih mudah dapat dicapai daripada mencari menantu wanita dari kalangan bangsawan. Pilihan ketiga, perkawinan anak priyayi dengan anak pedagang tidak banyak dilakukan, karena gaya hidup priyayi dan pedagang tidak sama. Pada umumnya, priyayi memulai gaya hidup bangsawan, yang berdasarkan kewibawaan dan mengutamakan status, sedang pedagang lebih cenderung pada dasar prestasi dan perhitungan secara ekonomi. 

Priyayi yang sedikitnya berpangkat mantri, dalam mencarikan jodoh bagi anaknya perempuan, dengan tujuan melakukan mobilitas vertikal, dapat dilakukan lewat beberapa jalur. Di antaranya dengan mengirim anaknya yang sekitar usia 12 tahun ke kraton dengan harapan dapat menjadi garwa ampeyan atau selir. Tindakan ini disebut sebagai usaha untuk memperoleh “benih” yang baik. Biasanya sebelum gadis itu mencapai usia baligh, seorang pangeran sudah memesannya yang disebut nyaweni atau menandai. Tujuan tersebut mirip dengan pengiriman anak gadis ke kraton, yaitu untuk mendapatkan “benih” yang baik. Dengan cara ini anak keturunannya masuk ke dalam lingkup kelas bangsawan. 

Sesudah menginjak zaman baru, di kalangan bangsawan timbul kecondongan untuk menerima menantu pria bukan bangsawan, akan tetapi menyandang gelar kesarjanaan. Di antara 31 orang putri Paku Buwono X tidak ada lima orang yang kawin dengan sarjana bukan bangsawan, akan tetapi cucu-cucu Sunan banyak yang kawin dengan pejabat-pejabat di daerah gubernemen. Oleh pemerintah Hindia Belanda, hal ini dinilai akan membawa dampak negatif, sebab itu pemerintah memerintahkan adanya penelitian mengenai hubungan keluarga Sunan dengan bupati-bupati di daerah gubernemen. 

Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa pernikahan/perkawinan bagi kaum bangsawan dan priyayi merupakan salah satu cara dalam meneruskan garis keturunan, baik biologis maupun politis. Tidak lain tujuan tersebut untuk menjaga silsilah status sosial sebagai kaum bangsawan dan priyayi. Namun, dalam perkembangan zaman, perkawinan sebagai putri dan putra yang hari ini sudah turun pada cucu maupun cicit Sunan, tidak lagi menghiraukan perihal status sebagai bangsawan atau priyayi luhur. Ini artinya bahwa dalam sistem perkawinan di dalam kraton turut mengalami pergeseran seiring perkembangan zaman.

Daftar Referensi:

Damasus Ferix Loys Hermawan, Perbedaan Aktualisasi Budaya Kerajaan Yogyakarta dan Kerajaan Surakarta Pasca Palihan Nagari, Skripsi (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2012).

Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939, (Penerbit Tamansiswa, Yogyakarta, 1989), hlm. 79-80.

Iin Indrawati Suko, Adji Isworo Josef, Theresia Widyastuti, “Kajian Estetika Dodot Ngumbar Kunco Dalam Pernikahan Basahan Di Surakarta Hadiningrat”, Jurnal Kriya, Vol. 16, No. 01, 2019.

Baca Juga :   Historicism Architecture: Gapura Sebagai Bangunan Sakral Sarat Akan Makna Filosofis

Ilmiawati Safitri, Perkawinan-Perkawinan Agung Keluarga Istana: Budaya dan Politik Di Yogyakarta dan Surakarta Pada Awal Abad XX, Tesis (Yogyakarta: UGM, 2020).

Nur Hot Maida, M. Muslich KS, “Analisis Ageman Basahan Manten Keraton Surakarta Hadiningrat Dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal At-Thullab, Vol. 4, No. 1, 2022.

Setyo Nur Kuncoro, Tradisi Upacara Perkawinan Adat Keraton Surakarta (Studi Pandangan Ulama dan Masyarakat Kauman, Pasar Kliwon, Surakarta), Skripsi (Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2014).

Daftar Kata:

Panakwan: pelayan, pengiring.

Ngoko: bahasa jawa rendah

Nayaka: pejabat tinggi

Triman: wanita yang diberikan kepada seorang pegawai untuk dijadikan istri sebagai hadiah raja.

Mantri: pegawai rendahan

Nyaweni: berasal dari kata sawi, artinya tanda; disaweni: dipasangi tanda, dipesan lebih dahulu; nyaweni, memesan sebelumnya.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts