Madura, Mataram, dan Kompensasi Mahal yang Dibayar Dalam Oleh Trunojoyo

Eksistensi orang-orang Belanda di Indonesia pada masa pra-kemerdekaan biasanya dibagi menjadi dua zaman yakni zaman VOC (kompeni) dan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda yang garis koordinasi pemerintahannya langsung merujuk pada Koninklijk Nederlands di Belanda. Di akhir riwayatnya, VOC diterpa utang dan korupsi yang sangat parah. Pada tanggal 31 Desember 1799, VOC resmi bangkrut dan dibubarkan. Semua aset perusahaan diambil alih oleh Kerajaan Belanda. Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda pun dibentuk sebagai ganti VOC dan perwujudan kekuasan Belanda di Nusantara.

Oleh Fahreza Rakha Winatra Atmaja

VOC lahir sebagai efek resultan dari kehadiran Belanda di Nusantara. Bila dibandingkan kompatriot bangsa-bangsa Eropa lainnya, Belanda terhitung terlambat dalam upayanya menjelajahi samudra. Penjelajahan samudera yang dilakukan oleh orang-orang Belanda juga sebenarnya sebagai akibat dari perang 80 tahun dengan Spanyol. Bersatunya Portugal dan Spanyol pada tahun 1580 juga benar-benar mengacaukan jalur perdagangan rempah-rempah mereka. Sebelumnya, orang-orang Belanda bertindak sebagai perantara perdagangan eceran rempah-rempah dari Portugal ke Eropa bagian utara.

Benar saja, persaingan perdagangan rempah ini menjelma menjadi persaingan dagang berlandaskan kebencian antar agama sedari zaman Reformasi Gereja; dikotomi perselisihan Katolik-Protestan. Portugal-Spanyol sebagai figur Katolik dan Belanda sebagai Protestan yang Calvinis. Skisma yang sangat pelik.

Belanda memang menjadi bangsa Eropa yang dapat dikatakan terakhir melemparkan sauh di Nusantara. Namun, Belanda mendapatkan lebih dari bangsa Eropa manapun yang pernah mendarat di Nusantara. J. P. Coen yang memimpin penaklukan Jayakarta pada tanggal 30 Mei 1619. VOC merebut pelabuhan Jaccatra/Jayakarta di pantai utara Pulau Jawa. Dengan demikian Kompeni memperoleh sebuah pelabuhan permanen beserta galangan kapal, gudang-gudang pusat untuk kegiatan perdagangan, pusat pemerintahan, dan pusat administrasi. Di wilayah yang nantinya dinamakan Batavia ini, berkedudukan pemerintah pusat VOC di Asia, yakni gubernur jenderal dan anggota Raad van Indië (Dewan Hindia), yang dalam dokumen-dokumen biasanya disebut Hoge Regering (Pemerintah Agung/Pusat).

Dari Batavia VOC secara perlahan menancapkan kuku-kuku kekuasaannya. Menurut Sidharta (2012) yang dikutip dalam Wihardyanto & Ikaputra (2019) menjelaskan bahwasanya pada masa VOC, orang-orang Eropa khususnya Belanda umumnya tidak berkeinginan untuk tinggal di Indonesia karena mereka umumnya adalah pedagang dan militer yang ditugaskan untuk memonopoli komoditas pertanian dan perkebunan untuk diperdagangkan di Eropa sana. Jadi, pada masa VOC pembangunan dilakukan untuk menunjang perdagangan dan pengangkutan komoditas dari Indonesia menuju Belanda.

Motif ekonomi yang terlalu diburu dan motif politik yang licik oleh VOC pada akhirnya menyeret mereka sendiri pada pusaran konflik yang seakan terus menerus hadir. Salah satunya adalah perlawanan yang datang dari Raden Trunojoyo. Penguasa Madura ini menghadirkan perlawanan sengit yang cukup membuat VOC dan Mataram kalang kabut. Sebenarnya VOC tidak berkonflik langsung dengan Trunojoyo. Namun, penguasa Mataram saat itu meminta tolong dengan iming-iming yang tidak sepele bagi VOC. Semenjak ditekennya persetujuan ini, maka VOC seakan mendapat kunci emas dalam upaya penguasaan di seantero Pulau Jawa.

Mataram yang awalnya kocar kacir menghadapi Trunojoyo perlahan-lahan mampu membalikkan kedudukan usai VOC campur tangan. Pada akhirnya Trunojoyo terdesak dan tertangkap. Penguasa Madura ini pada akhirnya meregang nyawa di ujung hunusan keris Amangkurat II dan padamlah perlawanan Madura pada Mataram ataupun VOC di zaman tersebut. 

Sekilas Raden Trunojoyo

Gambar 1: Ilustrasi Pangeran Diponegoro

Sumber: Tirto.id 

Raden Trunojoyo (terkadang ditulis Trunajaya) adalah seorang bangsawan Madura yang sebenarnya masih memiliki darah ningrat Mataram. Trunojoyo adalah anak dari Raden Demang Melaya. Raden Demang Melaya adalah anak dari Pangeran Cakraningrat I. Berarti Trunojoyo adalah cucu dari Pangeran Cakraningrat I yang merupakan adik ipar dari Sultan Agung.

Ada yang menarik dari realita di Madura pada abad ke-16. Madura terbagi dalam dua kekuasaan, Madura Barat dan Madura Timur. Cakupan wilayah Madura Barat adalah wilayah Arosbaya (saat ini bernama Bangkalan) dan Sampang. Cakraningrat I hingga Trunojoyo bertahta  di Madura Barat (de Graaf, 1985).

Cakraningrat I beserta keturunannya hidup di lingkungan Keraton. Hal ini meminjam apa yang dilakukan Majapahit, yakni mewajibkan penguasa-penguasa daerah yang sudah ditaklukkan untuk tinggal di Keraton selama beberapa bulan dalam setahun. Trunojoyo juga hidup di lingkungan Keraton. Hingga terjadinya intrik di lingkungan Keraton, Trunojoyo berpindah dari Keraton Plered menuju Kajoran, sebuah daerah di wilayah Tembayat dan menjadi menantu Raden Kajoran. Kejadian ini terjadi ketika pemerintahan Amangkurat I.

Trunojoyo memiliki banyak alasan untuk membenci Amangkurat I. Selain adanya intrik yang membuat Trunojoyo hengkang dari lingkungan keraton, Amangkurat I adalah figur yang sama yang membunuh ayahnya–Raden Demang Melaya–di tahun 1656.

Dari Pangeran Kajoran, Trunojoyo dikenalkan dengan Pangeran Mahkota–yang nantinya bergelar Amangkurat II–dan nantinya menghasilkan pemberontakan hebat dan mengguncang Mataram langsung ke titik jantung kekuasaannya.

Jauh ke belakang, Sultan Agung dengan mimpinya menyatukan seluruh Jawa di bawah kekuasaan Mataram. Walau sebenarnya bukanlah impian mulia, alih-alih adalah ambisi Sultan Agung akan kekuasaan tunggal Mataram yang dominan di Pulau Jawa. 

Sultan Agung yang bernama lahir Raden Mas Jatmiko, lantas kemudian diberi nama Raden Mas Rangsang. Ia menjadi sultan dari Kesultanan Mataram pada tahun 1613. Segera setelah itu, perlahan tapi pasti Sultan Agung memulai “misi suci” politik ekspansinya. Terlebih dahulu Sultan Agung menyasar wilayah timur kekuasaan Mataram, yakni wilayah-wilayah di Jawa Timur saat ini, sebutlah Pasuruan, Malang, Tuban, dan Surabaya. Madura juga dianeksasi pada akhirnya oleh Mataram. 

Baca Juga :   JUGUN IANFU : Perbudakan Seksual Terhadap Perempuan Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang Tahun 1942-1945
Gambar 3: Potret Sultan Agung Sumber: https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.com/

Penaklukan Madura terjadi di masa ekspansi Sultan Agung ke wilayah timur Jawa. Penaklukan Mataram awal-awal ini dimulai tahun 1614 dan dipimpin oleh Tumenggung Suratani. Melalui Kediri dimulailah ekspansi Mataram.

Pasuruan terlebih dahulu menjadi sasaran, namun urung. Target lantas diarahkan menuju Winongan yang tak jauh dari Pasuruan. Lumajang dan Renong kemudian juga dikuasai melalui pasukan pimpinan Tumenggung Alap-Alap. Berlanjut menuju Malang yang berhasil dikuasai berkat bupati Malang–Rangga Toh Jiwa–yang melarikan diri terlebih dahulu. Berlanjut Wirasaba tahun 1615, Pasuruan bertekuk lutut akhirnya tahun 1617, dan Tuban 1619. Pada tahun 1624, giliran Pulau Madura mendapat jatah untuk ditaklukkan. Usai pertempuran yang keras dan berdarah, Sultan Agung berhasil mendudukkan Raja Sampang (Madura Barat) sebagai tuan tanah atas seluruh pulau itu.

Mataram Sepeninggal Sultan Agung

Sejarah selalu berulang. Suatu kekuasaan bila sudah mencapai puncak kedigdayaannya, maka berangsur-angsur akan mengalami kemunduran. Faktor internal maupun eksternal sama-sama memengaruhi. Namun, sejarah yang einmalig tidak akan terulang dengan sangat-sangat serupa. Mundurnya Majapahit selepas Gajah Mada-Hayam Wuruk tentu berbeda dengan degradasi kekuatan Mataram sepeninggal Raden Mas Rangsang atau Sultan Agung.

Pada tahun 1645 Sultan Agung wafat dalam usia 55 tahun. Jenazahnya disemayamkan di Gunung Gajah Ngoling yang kemudian dikenal sebagai makam raja-raja Imogiri. Sultan Agung digantikan oleh putranya, Amangkurat I yang mulai bertahta sedari tahun 1646.

Ketiadaan figur dengan kadar kontra kepada kompeni setara Sultan Agung turut menyeret VOC pada gejolak di dalam tubuh Keraton. Secara beruntun, dimulai dari Amangkurat I dan anaknya, Amangkurat II, Keraton cukup melunak kepada VOC. Kedua figur penguasa Mataram ini menempatkan musuh pendahulunya sebagai mitranya di era kekuasaan keduanya. Pada akhirnya dimulailah babak baru kompeni yang turut andil urusan di pedalaman, bukan lagi hanya berkutat di wilayah pesisir layaknya VOC sedari awal eksis di Batavia tahun 1619. 

Amangkurat I dan Bibit Kemunduran Mataram

Sebagai penerus Sultan Agung, Amangkurat I seakan menjadi antitesis dari figur Sultan Agung. Ia menanggalkan “Sultan” dan lebih memilih gelar “Susuhunan”. Dalam relasi dengan VOC, era pemerintahan Amangkurat I lebih memilih jalan yang lebih moderat dibandingkan dengan apa yang ditempuh Sultan Agung. Amangkurat I langsung meneken kesepakatan dengan kompeni tidak lama usai menjabat. 

Perjanjian damai disepakati pada tahun 1646 (Kutoyo et al., 1986; Ricklefs, 2007; Vlekke, 2008). Isi perjanjian tersebut Mataram mengakui kedaulatan Belanda di Batavia. Mataram boleh berdagang secara bebas kecuali di Ternate, Ambon, dan Banda. Diperjelas pula dalam Vlekke (2008) bahwa Amangkurat I setuju bahwa rakyatnya tidak akan berdagang di sebelah timur Makassar dan barat Malaka. Pemerintah Batavia juga akan mengirimkan duta “untuk meminta damai” dan menawarkan pelayanan mereka untuk Amangkurat I kalau dia membutuhkan. Akibatnya, perjanjian itu mengharuskan Batavia mengirimkan duta tahunan, membawa hadiah dan barang dagangan luar negeri yang diminta Amangkurat I, dan bahwa ia harus membawa duta Amangkurat I ke Mekkah, kalau dia menginginkannya.

Kesepakatan dengan VOC adalah salah satu faktor yang membuat Amangkurat tidak disukai banyak pihak. Ia tak segan-segan menghabisi nyawa orang yang dicurigai menentang dirinya. Tidak pelak, hal ini pun menghadirkan kegelisahan dan ketakutan di kalangan orang-orang istana maupun rakyatnya. Ditambah lagi dengan pembantaiannya kepada ulama-ulama yang menurut catatan Rijklof van Goens sekitar 5.000-6.000 nyawa pria, wanita, dan anak-anak (Ricklefs, 2007). Pembantaian besar-besaran yang terjadi circa 1637 ini sebagai reaksi Amangkurat I atas penyerangan ke istana yang dilakukan oleh Pangeran Alit yang meminta dukungan kepada ulama-ulama tersebut.

Tak berhenti sampai di situ. Tahun 1651, Amangkurat I menghendaki adanya sensus penduduk yang diduga untuk mempermudah penarikan pajak. Selain itu, ia melarang siapapun warganya untuk bepergian ke luar Pulau Jawa. Setahun berselang, yakni tahun 1652, ia melarang diadakannya ekspor beras dan kayu.

Beranjak menuju tahun 1655 Amangkurat I menginstruksikan untuk menutup semua pelabuhan milik Mataram. Secara terburu-buru, tahun 1657, ia memerintahkan untuk membuka kembali akses pelabuhan-pelabuhan Mataram. Menuju tahun 1660, akses ini ditutup kembali. Pos perdagangan VOC di Jepara ikut dibredel. Drama absurd buka tutup ini berakhir dengan dibukanya kembali pelabuhan-pelabuhan tahun 1661.

Akumulasi ketidakpuasan di atas mencapai titik kulminasinya. Anak Amangkurat I, Raden Mas Rahmat juga was-was dengan apa yang ayahnya lakukan. Awalnya, ia sendiri cukup kontra dengan keputusan-keputusan yang diteken oleh ayahnya. Hasilnya seperti yang disinggung di awal, pertemuannya dengan Trunojoyo menyeretnya menuju pusaran konflik dan nantinya ia akan mengkhianati apa yang ia janjikan dahulu pada Trunojoyo. 

Resistensi Trunojoyo dan Madura

Setali tiga uang dengan apa yang dirasakan rakyat Mataram. Trunojoyo kecewa dan memendam dendam yang kesumat pada Amangkurat I. Usai pertemuannya dengan Raden Mas Rahmat yang nantinya ia dijanjikan sebagai penguasa Madura, tidak butuh waktu lama untuknya kembali ke Madura dan segera menyusun kekuatan untuk mendompleng rezim Amangkurat I yang zalim.

Baca Juga :   Budaya Madoereezen Pekerja Perkebunan Kopi Java Oosthoek

Terlebih dahulu Trunojoyo menghimpun kekuatannya dengan membentuk prajurit orang-orang Madura. Ditambah lagi dengan kehadiran orang-orang Makassar di bawah Karaeng Galesong juga menyatukan diri. Tahun 1675, pemberontakan yang dipimpin Trunojoyo melawan Mataram dan VOC dimulai. Kerusakan cukup hebat dialami sepanjang jalan yang dilewati Trunojoyo dan pasukannya. Orang-orang Makassar menyerang dan membakar pelabuhan-pelabuhan yang ada di Jawa Timur hingga ke Tuban. Trunojoyo kemudian bersama pasukannya memasuki Surabaya. Pemberontakan meluas manakala Trunojoyo dan orang Makassar memperoleh kemenangan lebih lanjut di daerah pesisir. Kemenangan demi kemenangan terus diraih. Bahkan Panembahan Giri merestui mereka. Panembahan Giri berkata bahwa Mataram tidak akan pernah sejahtera selama VOC masih tetap berada di Jawa.

Hal ini menjadi indikasi semakin membesarnya semangat anti-VOC, di samping semangat anti-Amangkurat I yang sudah hadir sebelumnya. Namun, masalah baru muncul. Raden Mas Rahmat yang sebelumnya bersepakat dengan Trunojoyo, tiba-tiba menjilat ludahnya sendiri. Hal ini ditengarai karena apa yang dia pikirkan sendiri. Ia menjadi takut bilamana Trunojoyo benar-benar membinasakan Mataram hingga tak bersisa. Lebih tepatnya Raden Mas Rahmat takut akan kelanjutan dirinya usai peperangan berhenti.

Pemberontakan terus berjalan. VOC sebelumnya masih berada di posisi tawar. Enggan untuk terseret pada arus konflik besar di pedalaman Jawa. Gubernur Jenderal Maetsuyker masih terus berhati-hati. Raden Mas Rahmat menjadi susuhunan baru, yakni Susuhunan Amangkurat II. Untuk memperoleh bantuan kompeni, dia tidak segan menjanjikan kepada pemerintah Batavia pembayaran atas semua biaya perang, monopoli impor kain dan opium, dan terakhir yakni penyerahan Pelabuhan Semarang dan satu wilayah besar di selatan Batavia. Pada awal tahun 1677, para pemberontak berhasil menguasai seluruh pelabuhan Mataram. 

Bergeser pada Amangkurat I yang meratifikasi perjanjian tahun 1646. Kompeni menuntut ganti rugi atas segala biaya yang dikeluarkan dan menuntut konsesi-konsesi ekonomi lain, seperti pembebasan bea dan cukai. Pada Mei 1677, VOC mengawali intervensinya dalam pusaran konflik ini secara langsung. Kompeni berhasil memukul mundur Trunojoyo dari Surabaya dan membuat Trunojoyo mundur lebih jauh ke pedalaman. 

Namun, pertengahan tahun 1677, antara Mei hingga Juni, Istana Plered jatuh usai diserang pemberontak. Amangkurat I berhasil kabur dan tewas dalam pelariannya. Trunojoyo mencapai keraton dan menjarah isinya, kemudian menyingkir menuju arah timur, yakni Kediri. Amangkurat II berusaha untuk meminta bantuan VOC. Hasilnya adalah perundingan Oktober 1677 dan Januari 1678. Kompeni dijanjikan Semarang hingga Laut Selatan yang otomatis tanah Priangan menjadi milik VOC seutuhnya. Berlanjut pada September 1678, Antonio Hurdt bersama Amangkurat II bergerak menuju Kediri untuk membinasakan kubu pertahanan Trunojoyo di sana. Ambrol pertahanan Trunojoyo hingga kemudian pejuang Madura ini melanjutkan sisa hidupnya dalam pelarian dari hutan ke hutan. Hingga pada akhir 1679, Trunojoyo tertangkap dan dibawa menuju Amangkurat II, bekas sekutunya. Akhir riwayat pejuang Madura ini benar-benar berakhir pada Januari 1680 usai ditusuk keris Amangkurat II yang terhunus. Trunojoyo wafat di tangan orang yang dulu menjanjikannya kekuasaan dan kebebasan untuk Madura dan dirinya. 

Referensi

de Graaf, H. J., (1990). Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. Cetakan ke-2. Jakarta: Grafiti Pers. 

de Graaf, H.J., Pigeaud, T.G., (1985). Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Jakarta: Grafiti Pers. 

Imania, A. N., (2022). Spirit keagamaan dan sikap anti Belanda Raden Trunojoyo dalam pemberontakan terhadap Mataram Tahun 1674-1680. Surabaya: UIN Sunan Ampel. (Disertasi). 

Kutoyo, S., Sjafei, S., Poerwo, B. S., Dharmamulya, S., Masykuri, Sudiyono, S., et al, (1986). Sejarah Ekspedisi Pasukan Sultan Agung ke Batavia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 

Lombard, D., (2005). Nusa Jawa: Silang Budaya: Kajian Sejarah Terpadu Bagian III: Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Cetakan ke-3. Diterjemahkan oleh W. Arifin, R. Hidayat, dan N.H. Yusuf. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama: Forum Jakarta-Paris: École française d’Extrême-Orient (EFEO). 

Niemeijer, H. E., (2007). “The central administration of the VOC government and the local institutions of Batavia (1619-1811) – an introduction”. The Archives of the Dutch East India Company (VOC) and the Local Institutions in Batavia (Jakarta). Diterjemahkan oleh Th. van den End, hlm. 87–114. https://doi.org/10.1163/ej.9789004163652.1-556.7.

Ricklefs, M. C., (2007). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Diterjemahkan oleh S. Wahono, dkk. Jakarta: Serambi. 

van Hoëvell, W. R., (1848). Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië. Edisi pertama. Groningen: C. M. van Bolhuis Hoitsema. Diakes melaluit: https://books.google.co.id/books?id=u56o81YWqPIC&vq=amral&hl=id&pg=RA2-PA214#v=onepage&q&f=false (Diakses pada 16 Desember 2022). 

Vlekke, B. H. M., (2008). Nusantara: Sejarah Indonesia. Diterjemahkan oleh S. Berlian. Jakarta: KPG. 

Wihardyanto, D., Ikaputra, (2019). “Pembangunan Permukiman kolonial Belanda di Jawa: Sebuah Tinjauan Teori,”. Nature: National Academic Journal of Architecture, 6(2), hlm. 146–161. https://doi.org/10.24252/nature.v6i2a5

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts