Sejarah Nyai dan Pelacuran Bandung Pada Masa Kolonial

Menurut Abalahin (2003) banyaknya laki-laki yang berhubungan dengan pelacur membuat pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan tahun 1852 mengenai regulasi prostitusi (Abalahin, 2003: 88).

Oleh Dinda Zahra Ghaisani Usdi

Ada dua pilihan untuk melepaskan hasrat seksual ketika berada di Hindia Belanda; memelihara gundik atau menyewa pelacur. Di antara kedua pilihan tersebut, perempuan pribumi kerap kali menjadi pilihan terbaik bagi laki-laki Eropa untuk memuaskan diri. Hal semacam ini sering terjadi pada masa kolonial, terutama pada abad ke-19. Menurut Baay (2017: 1) gundik adalah “perempuan pribumi yang tidak hanya mengurus rumah tangga orang kolonial, tetapi juga tidur dengannya dan pada banyak kasus menjadi ibu dari anak-anaknya”. Hubungan ini tidak didasari oleh cinta. Perempuan-perempuan ini tidak diakui sebagai istri sah dan seringkali harus meninggalkan atau dalam banyak kasus diusir laki-laki tersebut apabila ia memutuskan akan menikahi seorang perempuan Eropa. Sementara itu, menurut Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid XIII, prostitusi merupakan kegiatan yang dilakukan manusia dengan menjual atau menyewakan tubuhnya untuk kenikmatan orang lain dengan mengharapkan upah.

Ketika orang-orang Belanda yang didominasi oleh laki-laki, mulai menginjakkan kakinya di Hindia Belanda pada abad ke-16, kebanyakan dari mereka masih berusia muda dan lajang. Para bujangan ini kemudian mulai mencari pembantu Pribumi untuk mengurusi urusan domestik. Memiliki seorang atau lebih pembantu adalah hal yang penting karena erat dengan prestise dan harga diri  di tengah masyarakat koloni (Baay, 2017: 31). Hubungan pelayan dan tuan inilah kemudian mendorong munculnya pergundikan. Atas dorongan rasa kesepian dan kebutuhan seksual, para tuan sering menjadikan perempuan yang bertindak sebagai pelayan rumah tangga merangkap menjadi pemuas seks. Di dalam rumah, “sang nyai mengatur urusan rumah tangga, tetapi juga hidup normal dengan laki-laki Eropa yang mengambilnya sebagai nyai. Ia tinggal bersamanya, namun sang nyai tidak memiliki derajat yang sama dengan tuannya” (Baay, 2017: 50).

Seiring perkembangannya, melepaskan hasrat seksual bukan hanya melalui pergundikan, melainkan juga melalui kegiatan seks komersial atau prostitusi. Banyaknya laki-laki yang berhubungan dengan pelacur membuat pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan tahun 1852 mengenai regulasi prostitusi (Abalahin, 2003: 88). Hal ini dilakukan guna memberikan kontrol lebih terhadap praktik prostitusi.

Praktik ini juga semakin berkembang seiring dengan perkembangan ekonomi dan sosial. Pada tahun 1870, ekonomi di Hindia Belanda berubah menjadi ekonomi liberal dan memungkinkan masuknya perusahaan swasta. Di Bandung, daerah-daerah perkebunan semakin ramai ditempati perusahaan swasta. Semakin banyaknya perusahaan swasta maka semakin banyak pula kebutuhan akan tenaga kerjanya. Maka dari itulah jumlah laki-laki Eropa yang datang ke Hindia Belanda semakin bertambah. Hal ini pada akhirnya berpengaruh juga pada demand dan supply dalam kegiatan prostitusi (Abalahin, 2003: 88).

Praktik Pergundikan di Hindia Belanda

Di Hindia Belanda, terdapat lebih dari setengah jumlah laki-laki Eropa yang hidup bersama seorang gundik pribumi dalam 25 tahun terakhir abad ke-19. Menurut perkiraan, sekitar tahun 1890, terdapat sejumlah 20.000 – 25.000 laki-laki Eropa yang hidup dalam pergundikan (Baay, 2017: 46-47, 53). Selain pergundikan, prostitusi juga menjadi praktik yang umum terjadi. Banyaknya lelaki bujangan yang datang ke Hindia Belanda beriringan dengan meningkatnya permintaan akan pelayanan seks. Tidak semua bujangan ini mampu menghidupi seorang gundik. Maka dari itu, mereka beralih ke prostitusi guna melepaskan hasrat seksualnya. Kondisi ini juga terus berjalan karena memang disediakan oleh masyarakat. Banyak keluarga di Hindia Belanda yang memang menjual anak perempuannya untuk mendapatkan keuntungan materi (Hull, 1997: 4).

Kegiatan prostitusi didukung meskipun tidak dilegitimasi oleh pemerintah. Setelah tahun 1852 dikeluarkan peraturan yang menyetujui regulasi terkait industri seks dengan serangkaian aturan untuk menghindari akibat buruk yang timbul akibat aktivitas ini (Hull, 1997: 5; Abalahir, 2003: 54). Regulasi ini menugaskan polisi untuk mengawasi aktivitas prostitusi sekaligus di dalamnya para pengelola rumah bordil. Selain itu, para wanita publik—sebutan yang disematkan oleh pemerintah kolonial kepada para perempuan yang terlibat dalam praktik prostitusi— ini diberikan kartu kesehatan dan setiap minggu menjalani pemeriksaan untuk mendeteksi ada tidaknya penyakit sifilis (Hull 1997: 5; Jaelani, 2019: 8; Abalahir, 2003: 56). Regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial dapat dilihat sebagai “kontrol lebih ketat…melalui inspeksi kesehatan, registrasi, dan lokalisasi yang secara bertahap mengarah pada pelabelan pelacur sebagai sumber penyakit moral dan fisik, serta pelabelan rumah bordil sebagai tempat di mana para perempuan tidak baik dipusatkan dan dibedakan dari para perempuan baik” (Truong, 1992: 23).

Kritik tidak pernah berhenti ditujukan terhadap praktik ini. Selain bertentangan dengan moralitas Barat, prostitusi menjadi penyebab utama penyakit kelamin di kalangan tentara. Akan tetapi, pada umumnya para bujangan di Hindia Belanda masih tetap menjalankan kedua hal ini. Hellwig (2007) menyebutkan bahwa “sekalipun di Eropa moral Kristen menuntut untuk menahan nafsu seksual di luar pernikahan, ideologi di Hindia Belanda membolehkan seorang lelaki mencari jalan keluar bagi kebutuhan-kebutuhan seksnya”. Hesselink (2011:206) juga menyebutkan bahwa, “The many bachelors among all population groups in the East Indies made prostitution an accepted phenomenon, a necessary evil”. Abalahin (2003) kemudian menambahkan maksud dari perlunya dua aktivitas ini ialah “necessary in the face of what were conceived the undeniable demands of the male libido, so potentially disruptive to bourgeois society as embodied in the honor of respectable women”. Perempuan terhormat dalam maksud ini pada akhirnya merujuk pada supremasi kulit putih di atas kulit coklat.

Baca Juga :   Perjuangan Perkebunan Teh Gunung Mas Mempertahankan Eksistensinya

Permasalahan mengenai pelacuran dan pergundikan tidak terlepas dari dominasi pria dalam struktur sosial masyarakat koloni. Truong (1992: 17) menuliskan bahwa “di dalam masyarakat patriarki, hubungan sosial antara pria dan perempuan berlangsung dalam bentuk yang sedemikian rupa sehingga kontrol terhadap seksualitas dan pelacuran merupakan dua sisi koin yang sama, yakni dominasi pria. Pemisahan antara istri (perempuan terhormat), gundik (perempuan piaraan), dan pelacur (perempuan skandal) berfungsi hanya untuk memecah belah kaum perempuan dan memperkuat ideologi patriarki, untuk menekan

kesadaran perempuan akan kondisi umum ketergantungan mereka pada pria dan menjadi objek pemuas nafsu pria dan pelayanan tuntutan emosional”. Pelabelan para perempuan serta penekanan kepada perempuan untuk bergantung, terutama dalam hal ekonomi, kepada laki-laki merupakan sebuah fakta nyata di dalam masyarakat Hindia Belanda. Kesulitan ekonomi yang dialami oleh masyarakat terjajah akhirnya mengantarkan perempuan kepada tiga pilihan: menikah, menjadi nyai, atau menjual diri

Perempuan Sunda, Pergundikan, dan Prostitusi

Usai dekrit 15 Juli 1852 mengenai regulasi pelaksanaan prostitusi dikeluarkan oleh Gubernur Jendral A.J. Duymaer van Twist, masing-masing residen ditugaskan untuk mendeklarasikannya dalam bahasa Belanda sekaligus bahasa Indonesia. Akan tetapi pengumuman mengenai regulasi ini tidak diperbolehkan melalui media surat kabar (Abalahin, 2003: 88).

Di Bandung, pemerintah mulai mengimplementasikan regulasi ini pada tahun 1857. Regulasi ini diperlukan guna menjaga tenaga kerja yang mereka miliki, yang dalam hal ini didominasi oleh laki-laki. Seiring dengan berkembangnya Hindia Belanda, maka tenaga kerja yang dikerahkan di garnisun, perkebunan, tambang, pabrik, dan pelabuhan semakin banyak. Akan tetapi, lokasi-lokasi  para lelaki ini berada kerap kali selalu menjadi tempat prostitusi hadir. Untuk itulah dibutuhkan suatu regulasi guna melindungi kesehatan para tenaga kerja ini dari penyakit-penyakit yang timbul akibat prostitusi (Abalahin, 2003: 93-94). Objek utama dalam mengimplementasikan regulasi ini adalah kelompok militer. Tentara jelas menjadi tameng penting bagi pemerintah kolonial. Oleh sebab itu, penyakit-penyakit yang umumnya menjangkit para tentara seperti sifilis, menjadi perhatian pemerintah kolonial.

Tangsi militer, prostitusi, dan pergundikan merupakan tiga hal yang tidak terpisahkan. Sebagai seorang serdadu yang berpenghasilan kecil, kebanyakan dari mereka melampiaskan kebutuhan seksual mereka dengan para pekerja seks. Hal ini berbeda dengan serdadu yang berpangkat lebih tinggi dan berpenghasilan besar. Umumnya mereka lebih memilih untuk memelihara gundik (Baay, 2017: 102). Terdapat beberapa cara untuk mendapatkan seorang gundik. Moentji, sebutan bagi perempuan yang menjadi gundik di tangsi militer dapat diambil alih dari rekan pribuminya. Bisa pula perempuan tersebut menawarkan diri, ditawarkan oleh serdadu, atau ditawarkan oleh keluarga mereka. Terkadang bagi para perempuan pribumi, menjadi seorang moentji adalah satu-satunya jalan keluar dari kemiskinan (Baay, 2017: 107).

Terkait pelacuran di kota Kembang, J. Haga menyebutkan dalam laporannya tahun 1904 bahwa Bandung merupakan daerah yang dianggap memiliki banyak sekali kegiatan prostitusi dan bahkan masuk dalam kategori ‘most severely problematic’ (dalam Abalahin, 2003: 252). Terdapat beberapa alasan mengapa prostitusi pada abad ke-19 mengalami peningkatan. Pertama, yaitu akibat dari perkembangan kota Bandung usai dibangunnya jalan kereta api. Pembangunan jalan kereta api di Bandung tidak hanya berfungsi sebagai moda transportasi yang memudahkan pengantaran barang hasil perkebunan, tetapi juga untuk memudahkan mobilitas tentara. Hal ini kemudian menyebabkan berdirinya garnisun-garnisun di Bandung. Di tempat-tempat tersebutlah tumbuh subur aktivitas prostitusi dan pergundikan. Selain berdirinya garnisun, dibangunnya jalan kereta api menjadikan Bandung sebagai wilayah destinasi wisata. Berkembangnya industri pariwisata juga sejalan dengan berkembangnya praktik prostitusi. Hal ini dituliskan dalam pengamatan yang dilakukan Tio Biau Sing. Ia menyebutkan bahwa di sekitar Lembang banyak berdiri rumah-rumah peristirahatan yang sekaligus juga menjadi rumah pelacuran (Tio, 1941: 51 dalam Jaelani, 2020: 213).

Kedua, kedatangan imigran laki-laki ke Hindia Belanda. Pada tahun 1870, pemerintah kolonial membuka Hindia Belanda kepada para pemilik modal untuk mengembangkan usahanya. Hal ini kemudian menyebabkan meningkatnya kebutuhan  kerja (seperti kuli dan buruh). Dibukanya Hindia Belanda jlz

ajaga mendorong banyaknya laki-laki Eropa yang datang untuk mengembangkan usahanya. Para lelaki ini kebanyakan menginjakkan kakinya di Hindia Belanda tanpa menggandeng tangan pasangannya. Untuk mengurangi rasa kesepian, dan juga untuk memuaskan kebutuhan seksualnya, maka laki-laki ini berpaling kepada pelacur dan juga gundik.

Baca Juga :   Diaspora Orang-orang Madura di Jember Pada Masa Kolonial

Ketiga, yakni faktor ekonomi. Dalam narasi kolonialisme, masalah ekonomi selalu menjadi beban yang harus dipanggul oleh masyarakat jajahan. Perkembangan dan pertumbuhan kota Bandung hanya dirasakan oleh masyarakat Eropa saja, sementara kesejahteraan orang-orang pribumi masih belum dapat dirasakan secara merata. Kurangnya kualitas diri seperti pengalaman yang cukup, pendidikan, dan keterampilan, ditambah lagi peluang kerja yang terbatas menyulitkan masyarakat mencari pekerjaan untuk menghidupi diri dan keluarganya. Kondisi ekonomi seperti inilah yang akhirnya membuat para perempuan masuk atau dipaksa masuk ke dalam dunia prostitusi (Imani, 2011: 38). Keadaan ekonomi yang menyulitkan ini sayangnya menaruh beban yang lebih berat kepada perempuan. Seringkaleiaernikahan dilihat sebagai jalan keluar hal ini. Akan tetapi, konsekuensinya ialah para perempuan harus bergantung pada suami mereka. Bagi para janda, mencari stabilitas ekonomi dalam hidupnya merupakan hal yang sulit. Lapangan pekerjaan yang sedikit akhirnya memaksa mereka untuk mencari penghidupan dengan menjual tubuhnya.

Dampak dan Pemberantasan Prostitusi

Kritik kepada pemerintah terkait kehadiran praktik prostitusi di Hindia Belanda terus terdengar. Selain dari sisi moralitas, kritik juga dilontarkan dari sisi kesehatan. Di kalangan tentara, sifilis menjadi suatu penyakit kelamin yang kerap diderita. Tidak hanya para tentara saja, para perempuan yang melacurkan dirinya pun juga turut tertular, atau menularkan, penyakit ini.

Tersebarnya penyakit kelamin ini juga seakan menjadi siklus tidak berujung. Baik tentara maupun pelacur seringkali tidak mengetahui apakah keduanya bersih dari penyakit sifilis sebelum melakukan hubungan seksual. Akibatnya, jika salah satu dari mereka memiliki penyakit tersebut maka pasangannya pun akan ikut tertular. Jikalau perempuannya yang tertular maka tentara yang menjadi pelanggan berikutnya pun akan ikut tertular. Begitu seterusnya. Hal ini pernah dicatat oleh Henri van Kol yang tiba di Karesidenan Priangan pada 11 April 1902 (dalam Jaelani, 2020: 202). Tiba di Bandung, bangunan yang pertama ia kunjungi adalah rumah sakit umum di tengah kota. Ada yang menarik perhatiannya kala tiba di rumah sakit tersebut, yakni sebuah ruangan yang dikelilingi oleh kawat dan tanpa ketersediaan air bersih. Di dalam ruangan tersebut, terdapat 52 pelacur yang menderita sifilis. Para perempuan ini merupakan pelacur yang dikirim dari tangsi militer di Cimahi.

Dalam peraturan tahun 1852 sebenarnya telah diatur terkait regulasi pemeriksaan kesehatan bagi para pelacur. Akan tetapi, dalam penerapannya masih kurang efektif. Hal ini disebabkan karena perempuan sebagian besar masih mencari pelanggannya di jalanan, bukan di rumah bordil. Selain itu, distribusi obat-obatan untuk perempuan yang sudah tertular masih kurang. Jikalau ada pemeriksaan pun kadang kala para perempuan sedang tidak berada di rumah bordil tersebut (Jaelani, 2019: 9). Alhasil, muncul pemikiran dari sisi kesehatan bahwa lebih baik memelihara gundik daripada bersama pelacur.

Oleh karena semakin menjamurnya penyakit sifilis, maka pada tahun 1909 Gubernur Jendral A.W.F. Idenburg mendeklarasikan bahwa dalam jangka waktu tiga tahun seluruh prostitusi dihapuskan dari Hindia Belanda (Imani, 2011: 67). Hal ini dilakukan sebab upaya pemerintah untuk melakukan regulasi kesehatan kepada para pelacur dan penderita penyakit kelamin tidak efektif untuk mengatasi penyebarannya. Oleh sebab itulah, satu tahun setelah dikeluarkannya larangan ini, pada 1910 Gubernur menyatakan bahwa lembaga-lembaga atau tempat-tempat karantina dan pengawasan terhadap pemeriksaan kesehatan secara rutin bagi para pelacur diberhentikan (Imani, 2011: 67).

Daftar Pustaka

Abalahin, A. J. (2003). Prostitution policy and the project of modernity: A comparative study of colonial Indonesia and the Philippines, 1850–1940. Cornell University.

Baay, R. (2017). Nyai dan pergundikan di Hindia Belanda. Komunitas Bambu.

Hardjasaputra, A. (2002, August). Perubahan sosial di Bandung 1810–1906 [Disertasi].

Universitas Indonesia. https://lontar.ui.ac.id/detail.jsp?id=82580

Hellwig, T. (2007). Citra kaum perempuan di Hindia Belanda. Yayasan Obor Indonesia.

Hesselink, L. (2011). Healers on the colonial market: Native doctors and midwives in the

dutch east indies (verhandelingen, 276). Brill Academic Pub.

Hull, T. H., Sulistyaningsih, E., & Jones, G. W. (1997). Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan

perkembangannya. Pustaka Sinar Harapan bekerja sama dengan the Ford Foundation.

Imani, Z. (2011, July). “Perkembangan prostitusi di batavia (1890–1910)” studi kasus:

Penyakit kelamin dampak kesehatan dan dampak sosial (Skripsi). Universitas

Indonesia. https://lontar.ui.ac.id/detail?id=20231433&lokasi=lokal

Jaelani, G. A. (2019). Dilema Negara Kolonial: Seksualitas dan Moralitas di Hindia Belanda

Awal Abad XX. Jurnal Patanjala, 11(1), 1-16.

Jaelani, G.A. (2020). Perempuan Sunda dan Pelacuran di Zaman Kolonial. Purwadibya

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi, 9 (2), 199-220

Mulyana, A. (2005, July). Melintasi pegunungan, pedataran, hingga rawa-rawa;

pembangunan jalan kereta api di priangan 1878–1924 [Disertasi]. Universitas

Indonesia. https://lontar.ui.ac.id/detail?id=83509&lokasi=lokal

Rusnandar, N. (2010). Sejarah Kota Bandung dari” Bergdessa”(Desa Udik) Menjadi

Bandung” Heurin Ku Tangtung”(Metropolitan). Patanjala, 2(2), 273-293.

Truong, T. D. (1992). Seks, Uang dan Kekuasaan: Pariwisata dan Pelacuran di Asia

Tenggara. Jakarta: Lp3es.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts