Kisah Mbah Bungkul yang diturunkan dari Generasi ke Generasi

Sejarah merupakan peristiwa masa lalu yang mempunyai kesan tertentu sehingga perlu dipelajari dan dilestarikan guna membangun masa depan yang lebih baik. Sumber informasi sejarah tidak hanya pada teks-teks tertulis, tetapi bisa juga berasal dari lisan seseorang yang kemudian disebut dengan sejarah lisan.

Oleh Maqbul Zaman Nain dan Moch Lukman Hakim Romadhon

Sejarah lisan menggunakan sumber-sumber yang berangkat dari wawancara seseorang atau para tokoh tertentu untuk menemukan benang merah dari peristiwa masa lalu. Terdapat kisah-kisah menarik dari seorang tokoh yang akrab disebut Mbah Bungkul, dan kisah ini sendiri diceritakan langsung oleh juru kunci makamnya. 

Juru kunci utama makam Mbah Bungkul yaitu Mbah Towil yang merupakan imam mushola juga di lokasi Makam Mbah Bungkul menjadi rujukan narasumber utama yang memberikan informasi tentang kisah Mbah Bungkul dari generasi ke generasi.

Sekitar tahun 1300-an, daerah Surabaya masih berada di bawah masa penjajahan bangsa Belanda, termasuk wilayah Taman Bungkul. Bungkul merupakan nama dari salah satu kampung di daerah Surabaya dan luasnya kurang lebih sekitar 1 hektar. Di sisi lain, daerah tersebut terdapat makam dari salah satu tokoh yang terkenal yang akrab dipanggil Sunan Bungkul.

Menurut penjelasan Mbah Towil selaku juru kunci makam, nama asli Mbah Bungkul adalah Syekh Mahmudin yang berasal dari Persia. “Menurut cerita yang telah diturunkan secara turun-temurun, Mbah Bungkul merupakan salah satu ulama tertua yang hidup sebelum era Wali Songo”, tambahnya.

Dikisahkan bahwa dahulu, daerah yang ditempati Syekh Mahmudin untuk berdakwah masih hutan belantara sehingga masih sedikit masyarakat yang tinggal disana. “Dinamakan Bungkul karena dulu beliau senang menggunakan sandal yang bagi masyarakat Jawa disebut Bungkul”, terangnya. Mbah Bungkul hanya memiliki satu anak yang sangat disayanginya bernama Dewi Wardah yang kemudian menjadi istri Sunan Giri.

Saat ini daerah sekitar makam Mbah Bungkul terus dirawat dengan baik oleh para juru kunci makam. Mereka inilah yang melestarikan sejarah Mbah Bungkul dari generasi ke generasi. Menurut penjelasan juru kunci makam, Mbah Towil, makam Mbah Bungkul dirawat oleh 11 generasi. Sayangnya, kisah Mbah Bungkul hanya disampaikan dari mulut ke mulut tanpa adanya teks tertulis sehingga sulit untuk mendapatkan penjelasan yang rinci.

Ecobis
Sumber: https://bappedalitbang.surabaya.go.id/

Kisah Pertemuan Antara Dewi Wardah dan Sunan Giri

Dewi Wardah merupakan anak semata wayang dari Mbah Bungkul atau Syekh Mahmudin. Ketika masih remaja, Ia memiliki Delima yang dirawatnya dengan baik yang tumbuh dekat sungai. Buah Delima yang dipetik oleh Dewi Wardah tidak sengaja jatuh dan terbawa arus sungai. Pada saat yang sama, Sunan Giri yang merupakan murid dari Sunan Ampel sedang berwudhu di sungai tersebut lalu kemudian menemukan buah Delima milik Dewi Wardah. Sunan Ampel yang mengetahui hal itu melarang muridnya untuk memakan buah tersebut karena baginya buah tersebut bukan hak Sunan Giri.

Di sisi lain, Sunan Bungkul mengadakan sayembara yang dimana ia berkata, “Barang siapa yang menemukan buah delima tersebut, jika ia merupakan lelaki muda yang belum menikah maka akan saya jadikan mantu”, jelasnya. Akan tetapi, Mbah Bungkul menjelaskan bahwa anaknya adalah orang yang lumpuh, bisu, tuli, dan buta. Kabar ini pun sampai ke telinga Sunan Ampel. Ia menyadari bahwa muridnya lah yang telah menemukan buah delima tersebut dan menanyakan pendapat Sunan Giri. Kemudian Sunan Giri menerima dengan hati yang ikhlas karena baginya semua kejadian di dunia ini merupakan kehendak Allah. Namun ternyata semua kekurangan yang disebutkan Mbah Bungkul terhadap anaknya hanya sebagai ujian semata.

Baca Juga :   Pendidikan Sebagai Alat Perlawanan Jamiat Kheir 1901-1942

Ajaran Kemuliaan Mbah Bungkul

Mbah Bungkul mengajarkan untuk senantiasa berdzikir kepada Allah terutama seusai sholat fardhu. Salah satunya dengan membaca Al Qur’an Surah Al-Ikhlas sebanyak 11 kali setelah sholat fardhu. Jika tidak, dapat dilakukan saat sholat malam lalu setelah itu membaca Al-Qur’an surah Al-Ikhlas sebanyak 111 kali. Diceritakan oleh juru kunci Mbah Tawwil, “Mbah Bungkul tidak memiliki kisah-kisah kesaktian di luar nalar karena beliau merupakan seorang yang fokus pada bidang ilmu”, jelasnya.

Peran Mbah Bungkul Dalam Penyebaran Islam

Mbah Bungkul dalam menyebarkan agama Islam hanya di sekitar Desa Bungkul saja. “Kalau dulu, Mbah Bungkul ini datang dari Mataram, Jawa Tengah. Kemudian di sana dikuasai kerajaan Majapahit”. “Sebelum pindah ke Surabaya, Mbah Bungkul mendapat julukan nama yang biasa dipanggil oleh orang-orang dari kerajaan Majapahit sebagai Ki Ageng Supo”, tutur Mbah towil selaku juru kunci. Mbah Bungkul tidak memiliki keturunan yang menjadi seorang ulama. Karena beliau hanya tinggal bersama istri dan anak perempuan semata wayangnya yang kemudian dinikahi oleh Sunan Giri.

Kisah Mistis yang Diyakini Berkaitan Dengan Makam Mbah Bungkul

Tidak ada namanya larangan atau pantangan-pantangan dalam berziarah ke makam Mbah Bungkul. Hanya saja jika ingin berziarah ke makam Mbah Bungkul, jangan sampai membawa barang-barang yang tidak disukai Allah dan jangan sesumbar dalam perkataan.

Konon pernah terdapat seorang pemabuk yang datang ke makam Mbah Bungkul. Orang tersebut masih dalam keadaan mabuk, dia sesumbar dalam perkataannya dengan mengeluarkan kata umpatan kepada orang lain. “Awas, matek kon!” atau dalam Bahasa Indonesia, “Awas saja, Mati kamu!”. Kemudian dalam kurun waktu sekitar 2 bulan, pemabuk tadi dikabarkan telah meninggal dunia.

Selain itu, terdapat dua lubang sumur yang merupakan peninggalan dari Mbah Bungkul. Di dalamnya terdapat air jernih yang berdasarkan kisahnya tidak pernah surut walaupun musim kemarau datang. Sebagian orang percaya bahwa dengan meminum air tersebut, atas izin Allah maka dapat menyembuhkan penyakit, dan lain sebagainya.

Daftar Pustaka

Aditia Muara Padiatra. 2021. Sejarah Lisan: Sebuah Pengantar Ringkas. Yogyakarta: Penerbit Buku Belaka.

Erwiza Erman, Penggunaan Sejarah Lisan Dalam Historiografi Indonesia. https://jmb.lipi.go.id/jmb/article/view/94/75. Diakses 5 Juli 2023 pukul 13.59.

Wawancara, Mbah Towil, Senin, 29 Mei 2023, Makam Mbah Bungkul, Jl. Raya Darmo, Kec. Wonokromo, Surabaya Jawa Timur.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts