Perjuangan Soerjopranoto: Dari Mardi Kaskaya Hingga Adhi Dharma

“Sekarang adalah zaman demokrasi, zaman pemerintahan rakyat. Raja tidak boleh memerintah semaunya, tapi rakyat sendiri harus bersuara, turut serta dalam membuat aturan-aturan dan tidak boleh hanya diperintah” – Soerjopranoto 

Oleh Saka Mukhamad

Soerjopranoto dengan nama kecil Iskandar merupakan kakak Suwardi Suryaningrat yang dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 11 Januari 1871 sebagai putera tertua dari Kanjeng Pangeran Haryo Suryaningrat (putera sulung Sri Paku Alam III). Istrinya bernama Djauharin Insjiah, putri dari almarhum Kyai haji Abdussakur, penghulu (Landraad) Agama Islam, dari Karanganyar Banyumas. Setelah lulus dari HIS, Soerjopranoto masuk Sekolah Rendah Eropa atau Europeesche Lagere School (ELS). Setelah lulus dari ELS, ia lalu melanjutkannya ke Klein Ambtenaar Cursus. Sesudah Soerjopranoto lulus menempuh ujian Klein Ambtenaar Cursus dengan sebuah Surat Ketetapan beliau dipaksa untuk menerima jabatannya sebagai juru tulis di sebuah kantor pemerintah di Tuban, Gresik.

Belum genap enam bulan Soerjopranoto berada di Tuban, beliau terpaksa menghajar seorang Kontrolir Belanda yang telah melakukan penghinaan di luar batas kemanusiaan atas seorang pegawai bangsa pribumi dan sesudah itu tanpa menunggu surat pemecatannya, Soerjopranoto pulang ke Yogyakarta. Hanya beberapa hari sesudah kedatangannya ke Yogyakarta, Soerjopranoto diangkat oleh pamannya sebagai Sekretaris dan sebagai Wedono Sentono yang mengepalai salah satu departemen di dalam pemerintahan Praja Pakualaman dengan pangkat sebagai Pandji. Ketika menjadi Wedono Sentono dan Sekretaris pamannya, Soerjopranoto membuat keonaran dengan menampar mulut seorang Belanda utusan Residen Yogyakarta, karena bersikap sombong dan sewenang-sewenang. Oleh karena ulah yang dilakukannya ia pun dikirim ke Bogor. Selama di Bogor ia belajar di Middelbare Landbouw-school.

Pada tahun 1900, sebelum Raden Mas Soerjopranoto mendapat izin belajar di Middelbare Landbouw-school di Bogor, kira-kira satu setengah tahun sesudah beliau lepas E.LS, beliau telah mendirikan sebuah organisasi di Yogyakarta dengan nama “Mardi Kaskoyo”. Alasan beliau mendirikan “Mardi Kaskoyo” adalah karena rasa kemanusiaan yang dimiliki Soerjopranoto mendorong beliau untuk berpikir kembali tentang usaha-usaha menolong para hamba-sahaya dan para kawula dhalem (rakyat kecil) lainnya, yang menderita karena penghasilan mereka yang rendah terpaksa mengkaitkan hidup mereka dengan hutang-hutang kepada kaum rentenir yang sebagian besar para vreemde oosterlingen (orang timur asig) dan umumnya mendapatkan perlindungan dari kalangan orang-orang Belanda pensiunan. Mardi Kaskaya kurang lebih mirip sebuah koperasi simpan-pinjam. Organisasi ini mula-mula bersifat sosial-ekonomis dan ditujukan untuk menolong rakyat kecil dari bahaya penghisapan kaum rentenir. Tetapi akhirnya dengan organisasinya ini Soerjopranoto seringkali terpaksa harus berhadapan dengan pemerintah kolonial.

Lambat laun terasa sekali bahwa langkah-langkah “Mardi Kaskaya” telah mempersempit gerak langkah kaum rentenir. Dan rasa berani rakyat terhadap orang-orang Belanda yang mempergunakan kedudukan hukumnya untuk memeras rakyat itu pun mulai tumbuh dan akhirnya mengembangkan suasana perlawanan di mana-mana. Soerjopranoto menganjurkan kepada segenap penduduk kampung di sekitar Pura tempat tinggalnya, agar rentenir-rentenir yang masih berani masuk kampung supaya segera diusir, kalau perlu dengan kekerasan.

Pada tahun 1908 sampai dengan 1914 beliau dipekerjakan sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda dan menjabat sebagai Kepala Dinas Pertanian (Landbouw Consulent) untuk daerah Wonosobo, Dieng dengan tugas mengawasi perkebunan tembakau berkedudukan di Kejajar Garung kemudian dipindahkan ke Wonosobo karena harus merangkap pekerjaan memimpin sekolah pertanian.  Pada masa-masa ini berlangsunglah berbagai peristiwa penting di dalam hidup Soerjopranoto. Yang pertama-tama beliau menduduki kariernya sebagai Landbouw consulent, dan bersamaan itu beliau bergabung dengan “Boedi Oetomo” yang didirikan pada 20 Mei 1908. Boedi Oetomo pada dasarnya merupakan suatu organisasi priyayi Jawa. Kebanyakan priyayi Jawa melihat kebangkitan kebudayaannya dengan berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908. Aspirasi-aspirasi dan perwujudan-perwujudan yang ditemukan oleh persatuan ini menggambarkan presepsi-presepsi priyayi. Aspirasi utama Boedi Oetomo adalah peningkatan keserasian ke dalam masyarakat Jawa. Pada periode 1910-1911, Soerjopranoto pernah menjadi Sekretaris Hoofd Bestuur Bodi Oetomo. Pada saat Soerjopranoto bergabung, Boedi Oetomo dirasa kurang dapat memuaskan jiwanya yang dinamis, keras dan cenderung pada sifat kerakyatan. Oleh karena kekecewaannya menyaksikan kelambanan “Boedi Oetomo”, ia kemudian keluar bersama Tjokroaminoto dan mereorganisasi S.D.I di bawah pimpinan Haji Samanhoedi menjadi Serikat Islam pada tahun 1912.

Baca Juga :   Galuh pada Masa Pemerintahan R.A.A. Koesoemadiningrat 1839-1886

Banyak orang mengira Soerjopranoto yang menangani program S.I. di bidang gerakan buruh dan tani, adalah seorang yang memiliki kecenderungan sosialis. Ada pula yang menyebut dia sebagai nasionalis kiri. Akan tetapi nyatanya ketika tahun 1920 tokoh-tokoh kiri Sarekat Islam terutama Semaun, Darsono, Tan Malaka, Alimin dan yang lain-lain memisahkan diri dari partai dan mendirikan Partai Komunis Indonesia, ternyata Soerjopranoto tidak berada di dalam barisan orang-orang ini.

Dalam kongres S.I tahun 1919 di Surabaya, Soerjopranoto mengemukakan bahwa kemenangan klas dan pemilihan alat produksi oleh umum tidak harus dicapai dengan aksi bersenjata, tetapi dengan paksaan batin (moraal), proses-proses perundingan di muka umum dan jika perlu dengan pemogokan. Sesudah Soerjopranoto mempelajari dengan seksama masalah-masalah perburuhan, menegaskan bahwa sudah waktunya dicetuskan aksi massa guna melaksanakan program S.I. untuk menuntut dihapusnya kerja-paksa, pembagian air untuk sawah rakyat tani, dihapusnya koeli ordonnantie, di samping tuntutan-tuntutan yang bersifat politik, yaitu sistem pemerintahan yang demokratis dengan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat.

Ketika Soerjopranoto menjabat menjadi pimpinan pusat Sarekat Islam, beliau menganjurkan sikap non-koperasi terhadap pemerintah Belanda. Sementara itu Soerjopranoto juga mendirikan P.F.B (Personeel Fabriek Bond) sebagai Sarekat Buruh pertama yang didirikan di Indonesia dan pada 9 Agustus 1920, P.E.B dan Soerjopranoto mengumumkan berlangsungnya pemogokan. Pemogokan yang pertama kali terjadi di Indonesia itu bermula dari Pabrik Gula Padokan Yogyakarta, kemudian menyusul Pabrik Gula Nglungge Delanggu, Sala, Jatiroto dan seterusnya meluas di seluruh Jawa. Soerjopranoto secara bergilir mendatangi tempat-tempat pemogokan untuk memimpin sendiri dan mengobarkan semangat rakyat, dan karena aksinya itulah maka Pers Belanda memberi gelar kepadanya sebagai De Stakingskoning (Si Raja Pemogokan).

Dalam masa-masa perjuangan dari tahun 1912 hingga 1933, Soerjopranoto sebagai tokoh Sarekat Islam telah mengalami tiga kali delik dan masuk penjara. Pertama ia dipenjarakan di Malang (1923-3bulan), kedua di Semarang (1926-6 bulan), ketiga kalinya di Sukamiskin Bandung, selama 16 bulan. Sebelum masuk Sukamiskin, keadaan S.I sudah berubah, kegairahannya telah menurun dan dilampaui oleh Partai Nasional Indonesia yang didirikan oleh Bung Karno, murid Tjokroaminoto. 

Pada saat menjadi anggota S.I Soerjopranoto tidak pernah mau duduk diam, beliau memperluas aktivitas di kalangan masyarakat dengan mendirikan Arbeidsleger Adhi Dharma (Barisan Kerja Adhi Dharma) yang organisasinya disusun seperti dalam ketentaraan mulai dari pusat didirikannya Adhi Dharma di Yogyakarta sampai ke pelosok dusun dan lereng-lereng gunung. Pimpinan dan anggota-anggotanya diberi pangkat seperti dalam kemiliteran. Organisasi Adhi Dharma ini adalah suatu badan yang bekerja secara hebat di lapangan pendidikan dan di bidang perjuangan dan pembangunan sosial-ekonomi. Lapangan kerjanya ialah pendidikan ketrampilan, bursa buruh, bantuan hukum (bagi rakyat kecil yang terkena perkara di pengadilan serta biasanya karena kurang pengetahuannya selalu menjadi mangsa bagi para penipu atau pemeras), juga di bidang koperasi, dan memiliki sebuah Brigade kesehatan.

Setelah kesehatan Soerjopranoto berkurang karena bertambahnya usia, beliau terpaksa membatasi diri dalam kegiatan partai untuk lebih mencurahkan tenaga-pikirannya demi kemajuan Adhi Dharma. Institut, juga memberi kursus-kursus sore dan malam tentang ilmu pengetahuan umum (ketata-negaraan, sejarah, ekonomi, etnologi, geografi) pada orang- orang tua dan pemuda-pemuda yang kurang mampu membiayai pelajarannya tetapi mempunyai kecerdasan untuk lebih maju. Maksud beliau ialah untuk mendapatkan pengalaman guna mendirikan Universitas bagi rakyat lapisan bawah. Pada era 1942 sampai dengan 1945, karena sekolah-sekolah yang didirikan Adhi Dharma di jaman Jepang dibubarkan dan partai-partai dilarang maka beliau kemudian menjadi guru (sampai 1947) “Taman Siswa” yang didirikan adiknya Ki Hajar Dewantara, juga untuk menghindari tugas-tugas dari pemerintah pendudukan Jepang.

Baca Juga :   Mohammad Hatta; Membawa Demokrasi ke Indonesia 

Pada tanggal 15 Oktober 1959, Soerjopranoto meninggal dunia dalam usia 88 tahun di Bandung. Jenazahnya dibawa ke Yogyakarta dan pada tanggal 17 Oktober 1959 dimakamkan di makam keluarga “Rahmat Jati” di Kota Gede, Yogyakarta. Dengan Keputusan Presiden R.I. No. 310 beliau di angkat sebagai “Pahlawan Kemerdekaan Nasional Republik Indonesia”. Menyusul kemudian pada tanggal 18 Agustus 1960 menerima anugerah “Maha Putra” Tingkat II Republik Indonesia.

Sumber

Pringgodigdo, A.K., Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1994).

Nagazumi, Akira, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989).

Sukawati, Bambang, Raja Mogok, R.M Soerjopranoto: Sebuah Buku Kenangan, (Jakarta: Hasan Mitra, 1983).

Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Kanisius, 1994).

Niel, Robert Van, Munculnya Elit Modern Indonesia, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984).

Scherer, Savitri Prastiti, Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Abad XX, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985).

Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional Dari Budi Utomo Sampai Proklamasi 1908-1945, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2001).

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts