Kajian Historiografi Pembentukan Etnis Betawi Dalam Buku Profil Etnik Jakarta Karya Lance Castles

 Kajian Historiografi merupakan sebuah studi yang mempelajari mengenai penulisan sejarah atau peristiwa masa lampau dalam bentuk tulisan. Menurut Nina Herlina Lubis sebagaimana yang dikutip oleh Wahyu Iryana, bahwa istilah Historiografi sering didefinisikan sebagai a history of historical writing atau sejarah tentang penulisan sejarah (Castles, 2007). Oleh karena itu, kajian ini akan berfokuskan kepada kajian buku sejarah yang ditulis oleh Lance Castles yang berjudul Profil Etnik Jakarta. Khususnya mengenai pembentukan etnik Betawi.


Oleh Dian Purnomo

  1. Kajian Isi Buku dan Pandangan Lance Castles

 Jakarta merupakan kota metropolitan yang memiliki sejarah perkembangan kota dan masyarakatnya yang sangat panjang dan luas. Kondisi ini dikarenakan fungsi kota tersebut sebagai pusat perekonomian dan pemerintahan nasional. Fungsi ini sudah disandang oleh Kota Jakarta jauh sebelum Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945. Pada tanggal 30 Mei 1619, VOC mendirikan kota hasil penaklukan dengan nama Batavia. Batavia menjadi kota yang sangat dinamis yang mana setiap manusia dan kelompok berdatangan ke Kota Batavia untuk mengadu nasib dan mencari peruntungan. Ada juga masyarakat yang datang sebagai tawanan dan para budak yang dipekerjakan sebagai buruh perkebunan dan pekerja kasar lainnya. Jakarta (dahulu bernama Batavia) menjadi melting-pot atau panci pelebur dimana orang Sunda, Jawa, Tionghoa, dan Batak melebur menjadi satu. Lance Castle menyebutkan bahwa, “Di Jakarta, Tuhan sedang membuat orang Indonesia” (Castles, 2007). 

 Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa ketika VOC merebut Kota Jayakarta dan mendirikan Kota Batavia sebagai pangkalan utama operasi mereka di Hindia Timur, maka Jan Pieterszoon Coen, memulai kebijaksanaannya dengan mendatangkan dan mendorong masyarakat Tionghoa dan masyarakat Banda yang telah ditaklukan untuk tinggal di Kota Batavia. Selain itu banyak masyarakat Jepang yang dijadikan sebagai tentara bayaran untuk tinggal di Batavia, sebelum diberlakukannya penutupan wilayah Jepang oleh penguasanya pada tahun 1636. Selain itu, terdapat juga masyarakat Moor yang berasal dari Melayu, Bugis, Bali, dan Ambon. Jumlah mereka kalah dengan budak-budak yang didatangkan oleh VOC dari pantai Asia Selatan, seperti Malabar, Coromandel, Gujarat, dan Arakan di Burma (Myanmar) (Castles, 2007).

 Pendapat Lance Castles, mengenai asal tempat budak-budak tersebut didatangkan sesuai dengan pendapat Susan Blackburn, yang menyatakan bahwa budak-budak banyak didatangkan dari wilayah Asia Selatan yang terdapat koneksi perdagangan dengan VOC (Abeyasekere & Blackburn, 2011, 30). Namun, pada periode selanjutnya, pihak VOC lebih banyak mendatangkan budak-budak ke wilayah Batavia dari Sulawesi, Bali, dan Kepulauan Sunda Kecil di Indonesia bagian timur. Kebijakan tersebut dilakukan oleh VOC untuk mencegah kerugian yang dialami akibat dari jauhnya budak-budak yang didatangkan dari Asia Selatan menuju Batavia. Pendapat Susan Blackburn tersebut sama dengan pendapat yang dikatakan oleh Lance Castles perihal Kepulauan Nusantara yang menjadi wilayah penghasil budak, terutama sekali yaitu wilayah Bali dan Sulawesi Selatan (Castles, 2007, 8).

 Jakarta sebagaimana yang disebutkan di awal merupakan sebuah wilayah yang menjadi “panci pelebur” etnis dan masyarakat yang saling berbeda satu dengan lainnya. Castles, menyatakan bahwa Orang-orang Eropa yang datang ke wilayah ini didominasi oleh kaum laki-laki, yang mana kondisi tersebut disebabkan oleh larangan membawa perempuan Eropa ke tanah koloni yang diberlakukan oleh Dewan Direksi VOC (Heeren Zeventien). Sedangkan banyak para budak yang didatangkan ke wilayah Batavia, terkhusus dari Bali yang berjenis kelamin perempuan (Castles, 2007, 8). Hal ini menyebabkan ketimpangan dari segi sex ratio atau perbandingan antara jumlah laki-laki dengan jumlah perempuan pada masa waktu tertentu. Kondisi yang demikian menyebabkan banyak masyarakat Eropa yang kemudian menjadikan budak sebagai isteri simpanan, kadang disebut juga sebagai gundik atau nyai. Dari percampuran inilah kemudian lahir etnisitas baru, yang menurut Castles, ialah masyarakat Betawi. 

 Tjalie Robinson sebagaimana yang dikutip oleh Ana Windarsih menyebut bahwa tidak ada budaya yang mendominasi kebudayaan di Jakarta. Semua budaya berkompromi untuk kepentingan hidup bersama sebagaimana kebudayaan “gado-gado” Jakarta, sebagai simbol campuran banyak unsur budaya yang merupakan ciri kebudayaan kota metropolitan. Nyaris tidak ada data tentang penduduk asli Jakarta dan nasib mereka setelah dihancurkan Coen (Windarsih, 2013, 118). Interaksi sosial antar etnis yang berbeda di Kota Batavia merupakan sebuah keniscayaan walaupun sebenarnya pemisahan permukiman antar etnis telah dilakukan oleh pemerintah VOC. Menurut Hendrik E. Niemeijer, pada masa itu, pengelompokan kampung-kampung terjadi di Batavia disebabkan oleh dua faktor yang kuat yaitu pertama bahwa pembentukan kampong-kampung ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan atas pasukan cadangan dan bantuan bagi kompeni serta bukan demi alasan politis untuk memisahkan berbagai kelompok etnis tersebut. Sebagian dari masyarakat Asia yang berstatus bebas atas inisiatif sendiri mengelompokkan diri kedalam kampong-kampung tersebut tanpa adanya paksaan dari pemerintah VOC (Niemeijer, 2012).

Baca Juga :   Asal-usul Tradisi Napak Tanggal di Dukuh Mojo

 Faktor tersebut berbeda dengan yang disampaikan oleh Mona Lohanda, beliau mengatakan bahwa pembentukan perkampungan berdasarkan etnisitas merupakan bukti kemalasan manajemen VOC yang tidak mau direpotkan dengan masalah dan urusan masyarakat pribumi yang secara kultural, agama, adat serta kebiasaan berbeda dengan masyarakat Eropa (Hoetink, 2007). Sehingga VOC membentuk perkampungan berdasarkan etnis dengan dipimpin oleh kepala kampung bergelar kapitan serta lieutenant. Kondisi Batavia pada perkembangan selanjutnya mengalami percampuran antar etnis sehingga sekat-sekat perkampungan dengan identitas kultural menjadi hilang. Mengenai hal tersebut dapat dilihat dari buku Profil Etnik Jakarta, karya Lance Castles. Beliau menyebutkan bahwa pada tahun 1799, masyarakat di Batavia masih ada perbedaan karakteristik sebagai orang-orang Melayu, Jawa, Bali, Mardijker, Bugis, dan Makassar. Namun pada abad ke-19, meskipun ada berbagai kelompok populasi, mereka telah kehilangan sebagian besar identitas dan karakteristik mereka akibat dari interaksi sosial berupa perkawinan dan melebur menjadi satu masyarakat (Castles, 2007). Sejak sekitar masa itu mereka dianggap sebagai satu kelompok etnis tersendiri. 

 Selain itu, terdapat pendapat Abdul Chaer, yang menyebabkan meleburnya identitas etnis yang terjadi di Batavia kala itu. Pertama, banyaknya pernikahan campuran antar sesama etnis pribumi maupun antara etnis pribumi dengan etnis asing (Cina, India, Arab, dan Eropa). Kedua, pengaruh dari pengalaman yang dialami bersama dalam dinas kemiliteran. Ketiga, faktor agama, yang mana ketika seorang Tionghoa masuk memeluk Agama Islam maka dia akan memotong kuncirnya (tauchang) dan mengganti namanya menjadi nama Melayu atau Arab. Keempat, akibat adanya perbudakan (Chaer, 2015, 43-44). Terlebih pada tahun 1781, VOC mengeluarkan peraturan yang mana jikalau budak masuk Agama Kristen, maka otomatis dia menjadi warga bebas (mardijker). 

 Kondisi Kota Batavia pada tahun 1930 berbeda dengan kondisi di abad ke-17 ataupun di abad ke-18. Hal ini diakibatkan oleh dihapusnya perbudakan dan dibukanya wilayah-wilayah baru di sekitar Kota Batavia. Selain itu, kota ini juga mengalami migrasi dan penambahan jumlah penduduk yang relatif besar jika dibandingkan dengan kota-kota lain di Pulau Jawa. Misalnya pada tahun 1893, jumlah penduduk di kota ini terdapat 72.000. Angka tersebut naik jika dibandingkan pada tahun 1815, yang mana jumlah penduduknya sebanyak 45.000. Selain itu, imigran dari Eropa, Tiongkok dan Arab meningkat pada akhir abad ke-19. Kondisi ini dipengaruhi oleh tiga faktor besar yang terjadi di Kota Batavia kala itu, yakni pembukaan pelabuhan Tanjung Priok, perluasan fungsi pemerintahan dengan politik etisnya, dan pertambahan penduduk yang cepat terjadi di Pulau Jawa (Castles, 2007, 18). Kondisi Kota Batavia pada abad ke-20 tersebut sesuai dengan apa yang dituliskan oleh Susan Blackburn bahwa pada tahun 1930, populasi Kota Batavia termasuk wilayah Weltevreden tumbuh menjadi 435.000, tiga kali lipat jika dibandingkan dengan tahun 1900 (Abeyasekere & Blackburn, 2011, 124). Pertumbuhan penduduk yang relatif meningkat mengakibatkan tumbuhnya permukiman-permukiman baru di wilayah selatan Koningsplein (sekarang Lapangan Monas) atau daerah Weltevreden, seperti pada wilayah Meester Cornelis (sekarang Jatinegara), Gondangdia, dan Menteng.  

  1. Sudut Pandang Penulisan Buku Lainnya

 Munculnya etnis Betawi di Kota Batavia (sekarang Jakarta) masih diperdebatkan oleh banyak pihak. Lance Castles menyebutkan bahwa etnis tersebut hadir karena adanya interaksi sosial antara masyarakat etnis yang berbeda dengan para budak yang mengakibatkan perkawinan campur dan menghasilkan kebudayaan yang baru. Castles, mengatakan bahwa para budak merupakan unsur utama dalam pembentukan etnis tersebut. Sudut pandang Lance Castles tersebut menimbulkan reaksi kecaman dari masyarakat Betawi dan para akademisi serta budayawan Betawi di Indonesia. Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso, terkait pembentukan etnik Betawi berpendapat bahwa memang benar total populasi budak merupakan mayoritas dibandingkan dengan penduduk bebas pada abad ke-18 di dalam Kota Batavia. Namun demikian kondisi tersebut berbeda pada wilayah luar tembok kota (Ommelanden). Jumlah penduduk di Ommelanden jauh lebih besar dibandingkan dengan penduduk di dalam kota. Di Ommelanden persentase budak tidak pernah melebihi angka 30% dari total jumlah penduduk. Dengan demikian maka argumen Castles terkait para budak merupakan unsur utama dalam pembentukan etnis Betawi tersebut tidaklah akurat. 

Pendapat di atas diperkuat dengan argumentasi dari M. Junus Melalatoa. Beliau mengatakan bahwa masyarakat Betawi merupakan hasil dari suatu proses asimilasi antara berbagai unsur budaya berbagai bangsa dan suku bangsa dari berbagai daerah di Indonesia. Bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa tersebut berbaur dengan periode yang berbeda-beda (Melalatoa, 1995, 160). Pihak-pihak yang datang ke wilayah yang sekarang bernama Jakarta antara lain orang Portugis,Tiongkok, Arab, India, Inggris, Jerman, dan dari daerah-daerah di Indonesia seperti Jawa, Melayu, Bali, Bugis, Sunda, Banda, dan lain-lain. Percampuran antara kebudayaan ini dapat kita lihat dari unsur-unsur yang membentuk kebudayaan Betawi, yang mana kebudayaan Betawi merupakan kebudayaan campuran antara  berbagai bangsa dan suku. Adapun tanda-tanda kehadiran kehadiran suku bangsa di Jakarta dapat kita telusuri dari nama-nama tempat atau toponimi yang sama dengan nama suku bangsa tersebut, seperti Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Bugis, Kampung Makassar, Kampung Jawa, Kampung Banda, dan Kampung Ambon (Herwantoro, 2014, 8). Hal tersebut juga memberikan petunjuk bahwasanya pada dahulu masyarakat yang tinggal di Batavia hidup secara berkelompok secara etnis berdasarkan kampung-kampung tersebut. 

Baca Juga :   Sejarah Kebudayaan Lokal Banyuwangi: Upacara Petik Laut Muncar Simbolisasi Penghargaan terhadap Kekayaan Laut Nusantara

 Selain itu, ada juga argumentasi dari Ridwan Saidi, mengenai asal-usul masyarakat etnis Betawi. Beliau mengatakan bahwa wilayah Kota Jakarta sudah dihuni oleh manusia Proto Betawi pada 3.000 hingga 4.000 tahun yang lalu, hal ini dibuktikan dengan hasil ekskavasi pada tahun 1970-an dan hasilnya ditemukan kapak batu di berbagai wilayah di Jakarta (Saidi, 2002, 13). Penemuan kapak batu tersebut membuktikan bahwa telah ada masyarakat yang tinggal di wilayah yang dinamai sebagai Kota Jakarta. Pendapat yang diutarakan oleh Ridwan Saidi tersebut juga didukung oleh Abdul Chaer, yang mana beliau berpendapat bahwa temuan benda-benda arkeologis seperti kapak persegi, beliung, serpihan pecahan gerabah, mute, dan gelang batu menjadikan bukti sejak masa itu di Jakarta sudah ada permukiman, tempat tinggal yang tetap dan banyaknya temuan yang ditemukan hampir di seluruh wilayah Jakarta mengindikasikan terdapat manusia atau komunitas yang telah menempati atau menjelajahi wilayah tersebut (Chaer, 2015, 29-30). Namun demikian Chaer tidak menyebutkan perihal pemilik artefak tersebut yang berasal dari masyarakat Proto Betawi. 

Eksistensi suku Betawi menurut sejarawan Sagiman MD telah ada serta mendiami Jakarta dan sekitarnya sejak zaman batu baru atau pada zaman Neolitikum. Penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa sebagaimana orang Sunda, Jawa, dan Madura. Pendapat Sagiman MD, tersebut senada dengan Uka Tjandrasasmita, yang mengungkapkan bahwa Penduduk Asli Jakarta telah ada pada sekitar tahun 3500-3000 sebelum Masehi. Menurut Siti Jubaedah, Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin mawin antaretnis  dan  bangsa  di  masa lalu (Jubaedah, 2020, 2).

Kesimpulan 

 Dari pemaparan di atas dapat kita ketahui bahwa buku yang ditulis oleh Lance Castles, mengenai pembentukan masyarakat Betawi merupakan buku yang sangat kontroversial, yang mana banyak para akademisi dan budayawan Betawi dari dalam negeri menyayangkan hipotesis Castles yang mengatakan bahwa pembentuk utama masyarakat Betawi yaitu berasal dari budak-budak yang tinggal di Kota Batavia. Pendapat tersebut diutarakan oleh Castles berdasarkan data-data sensus penduduk yang dilakukan pada tahun 1673, 1815, dan 1893, yang dalam sensus tersebut budak merupakan mayoritas penduduk di kota tersebut. Pendapat Castles banyak diterima dan kesepahaman dengan pendapat sejarawan-sejarawan luar negeri, seperti Susan Blackburn, Jean Gelman Taylor, dan Hendrik E. Niemeijer. 

 Hipotesa Castles berbeda dengan yang didapati oleh sejarawan-sejarawan Indonesia seperti Bondan Kanumoyoso, Abdul Chaer, Ridwan Saidi, dan M. Junus Melalatoa. Mereka mengatakan bahwa Betawi merupakan percampuran antara etnis yang ada di Nusantara terutama yang bertempat tinggal di luar benteng Batavia (Ommelanden), selain itu ada juga yang berpendapat bahwa masyarakat Betawi sudah ada jauh sebelum kota itu bernama Batavia sebagaimana yang dikemukakan oleh Ridwan Saidi dan Abdul Chaer berdasarkan temuan-temuan arkeologis berupa kapak persegi, beliung, serpihan pecahan gerabah, mute, dan gelang batu. Ridwan Saidi, mengatakan bahwa barang-barang tersebut merupakan hasil kebudayaan dari masyarakat Proto Betawi atau masyarakat Betawi Tua. 

Referensi

Abeyasekere, S., & Blackburn, S. (2011). Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Masup Jakarta.

Castles, L. (2007). Profil Etnik Jakarta (B. Kanumoyoso, Ed.; G. Triwira, Trans.). Masup Jakarta.

Chaer, A. (2015). Betawi Tempo Doeloe: Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi. Masup Jakarta.

Herwantoro, H. (2014). Etnis Betawi: Kajian Historis. Jurnal Patanjala, 6(1), 1-16.

Hoetink, B. (2007). Ni Hoe Kong, Kapitein Tionghoa di Betawie dalem Taon 1740. Masup Jakarta.

Jubaedah, S. (2020). Dialek Betawi Jakarta. Tsaqôfah: Jurnal Agama dan Budaya, 18(1), 1-11.

Melalatoa, M. J. (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Niemeijer, H. E. (2012). Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII (T. Mualim, Trans.). Masup Jakarta.

Saidi, R. (2002). Babad Tanah Betawi. Gria Media.

Windarsih, A. (2013). Memahami “Betawi” Dalam Konteks Cagar Budaya Condet Dan Setu Babakan. Jurnal Masyarakat & Budaya, 15(1), 117-200.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts