Sejarah Kebudayaan Lokal Banyuwangi: Upacara Petik Laut Muncar Simbolisasi Penghargaan terhadap Kekayaan Laut Nusantara

Masyarakat dalam KBBI berarti sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. MacQueen et al. (2001) menyimpulkan terdapat lima elemen dalam suatu masyarakat yakni: a) Lokasi sebagai entitas geografis; b) Kepentingan bersama; c) Tindakan kolektif berdasar koherensi identitas; d) ikatan sosial atau kohesi sosial; dan e) memiliki keragaman. Berdasarkan karakteristiknya, masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terbagi menjadi tiga yaitu masyarakat hukum adat, masyarakat lokal, dan masyarakat tradisional sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 UU No. 27/2007 jo. UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Oleh : Zulfa Aulia Nurfaiza

Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir, membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir. Masyarakat pesisir pada umumnya sebagian besar penduduknya bermata pencaharian di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan (marine resource based), seperti nelayan, pembudidaya ikan, penambangan pasir dan transportasi laut. Secara luas, masyarakat pesisir dapat pula didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal secara spasial di wilayah pesisir tanpa mempertimbangkan apakah mereka memiliki aktivitas sosial ekonomi yang terkait dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan. Kemudian masyarakat pesisir dapat juga dipahami sebagai bagian dari masyarakat hukum adat atau MHA. Masyarakat hukum adat (MHA) adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Secara sosiologis, masyarakat pesisir memiliki ciri yang khas dalam hal struktur sosial yaitu kuatnya hubungan antara patron dan klien dalam hubungan pasar pada usaha perikanan. “Biasanya patron memberikan bantuan berupa modal kepada klien. Hal tersebut merupakan taktik bagi patron untuk mengikat klien dengan hutangnya sehingga bisnis tetap berjalan”. Dari masalah utang piutang tersebut sering terjadi konflik, namun konflik yang mendominasi adalah persaingan antar nelayan dalam memperebutkan sumberdaya ikan yang jumlahnya terbatas. Oleh karena itu, sangatlah penting adanya pihak yang dapat mengembangkan sumberdaya laut dan mengatur pengelolaannya. Pengelolaan yang akan dibahas dalam artikel ini adalah perihal kebudayaan yakni dari segi aspek ritual lokal masyarakat Muncar, Banyuwangi sebagai masyarakat pesisir.

Selama ini, ritual slametan seperti sedekah laut banyak terdapat di sejumlah masyarakat pesisir, terutama di Pulau Jawa. Di setiap daerah, ritual itu memiliki ciri khas tersendiri. Ritual tersebut juga memiliki nama berbeda-beda. Di Lamongan misalnya, disebut “tutup layang”, sementara di Madura disebut “rokatan” dan di Banyuwangi, terutama di pesisir daerah Muncar, disebut petik laut. Secara umum nelayan masih memiliki kepercayaan yang kuat bahwa laut memiliki kekuatan magis sehingga perlu mendapat perlakuan-perlakuan khusus dalam melakukan berbagai aktifitas nafkah di laut agar pelakunya selamat dan usahanya berhasil. 

Pelaksanaan Ritual Petik Laut

Setiap bulan muharram atau dalam Jawa disebut dengan bulan suro tampaknya bukan hanya kaum petani,masyarakat nelayan pun ikut menggelar ritual dalam bulan suro tersebut. Waktu pelaksanaan petik laut tiap tahun bisa berubah karena berdasarkan kesepakatan pihak nelayan. Biasanya digelar saat bulan purnama, tepat pada penanggalan Jawa, yaitu pada tanggal 15, karena pada waktu itu nelayan tidak melaut, mengingat pada saat itu terjadi air laut pasang. Di Muncar, sekitar 30 kilometer lebih dari kota Banyuwangi, ritual ini berkembang setelah kehadiran orang Madura ke Banyuwangi, dan mereka terkenal sebagai pelaut. Hingga sekarang ini kota Muncar kebanyakan dari suku Madura, ada juga suku Jawa tetapi mayoritas di Muncar lebih banyak Maduranya. Menurut catatan sejarah, ritual petik laut sudah diselenggarakan nelayan Muncar sejak tahun 1901 dengan dipimpin seorang tetuah tanah setempat . Namun dalam proses perkembangannya di kemudian hari, karena ada keterlibatan para kiai dan kalangan pesantren di daerah Muncar dalam penyelenggaraan ritual ini, maka berbagai unsur Islam hadir.

Baca Juga :   Seni Salawat Rodad Zumrotul Ichwan Di Dusun Wonokromo II 

C:\Users\Windows8\Desktop\Peta-Kabupaten-Banyuwangi-Lengkap-24-Kecamatan-1.jpg

Caption: Peta Wilayah Banyuwangi Jawa Timur (Sumber: https://www.sejarah-negara.com/wp-content/uploads/2017/05/Peta-Kabupaten-Banyuwangi-Lengkap-24-Kecamatan-1.jpg)

Penyelenggaraan ritual petik laut dipadati dengan serangkaian acara yang biasa berlangsung selama tiga hari. Hari pertama, sebelum melepas semua sesaji ke laut, masyarakat nelayan mengadakan pengajian di masjid dengan membaca surat yāsin dan membaca tahlil. Hari berikutnya, acara pengajian dilanjutkan dengan membaca keseluruhan isi Al-Qur’an (khataman). Di hari terakhir, yang merupakan acara puncak, masyarakat nelayan mengadakan acara pemberian sesaji ke laut. Sebelum sesaji dilarung ke laut, ditampilkan terlebih dahulu tari-tarian tradisional masyarakat using, yaitu tarian gandrung. Tari Gandrung sendiri, dalam tradisi using, memiliki makna semangat perjuangan dan kebersamaan. Tari gandrung, pada mulanya, merupakan tarian untuk memperingati terjadinya perang puputan bayu. Puputan bayu adalah perang perlawanan komunitas using terhadap pemerintah kolonial Belanda yang terjadi pada tahun 1771-1773. Dalam perkembangannya kemudian, tari gandrung semakin meluas pengaruhnya di masyarakat Banyuwangi, sehingga menjadi kesenian tradisional Banyuwangi yang banyak menghiasi berbagai ritual tradisional using dan juga berbagai ritual keagamaan masyarakat Banyuwangi lainnya.
C:\Users\Windows8\Desktop\750x500-tradisi-petik-laut-muncar-cara-nelayan-memohon-diberi-ikan-melimpah-1710051.jpg

Tradisi Petik Laut Masyarakat Muncar Banyuwangi (Sumber: https://cdns.klimg.com/newshub.id/news/2017/10/05/146277/750×500-tradisi-petik-laut-muncar-cara-nelayan-memohon-diberi-ikan-melimpah-1710051.jpg)

Ritual ini diawali pembuatan sesaji oleh para nelayan yang mempunyai kapal besar (juragan kapal). Mereka adalah keturunan warga Madura yang sudah ratusan tahun turun-temurun mendiami pelabuhan Muncar. Di situ disiapkan beberapa perahu kecil (perahu sesaji), dibuat sebagus mungkin demi kelengkapan acara petik laut. Pada malam harinya, di dalam perahu sudah disediakan sesaji dan dilakukan pembacaan do’a bersama. Di beberapa rumah juragan kapal pun diadakan pengajian atau yasinan, untuk memperlancar perjalanan dan kelancaran acara petik laut, tanpa ada suatu halangan apapun. Pengajian ini dilaksanakan sebelum diberangkatkan dan dihanyutkannya sesaji ke laut. Sebelum berangkat ke pelabuhan, kepala daerah diwajibkan untuk memasang pancing emas di lidah kambing atau sapi. Ini sebagai simbol permohonan nelayan agar diberi hasil ikan yang banyak. 

Menjelang keberangkatan, perahu bergerak perlahan-lahan ke laut dan diiringi dengan ṣolawatan bersama-sama. Barisan perahu besar pun bergerak panjang menuju ke Semenanjung Sembulungan. Kawasan ini sering disebut plawang. Seluruh perahu berhenti sejenak, didampingi beberapa juragan kapal yang melakukan ritual tersebut, dan sesaji pun diturunkan pelan-pelan dari perahu dan diiringi dengan doa-doa yang dibacakan oleh para sesepuh di sana. Dari plawangan perahu bergerak menuju sembulungan. Di tempat ini, nelayan kembali menghanyutkan sesaji yang kedua kalinya. Rangkaian kegiatan ini juga disertai pesta rakyat dengan pasar malam dan aneka hiburan seperti gandrung, keroncong dan lain-lain. Puncak acara petik laut terjadi pada bulan purnama, tepat pada tanggal 15 Kalender Jawa. Puncak itu ditandai dengan upacara “mempersembahkan sesaji” yang dimasukan dalam sebuah perahu kecil (sebuah kapal yang diisi dengan aneka sesaji mulai dari buah, sayur, ikan, ayam, uang, perhiasan dan kepala sapi). Sebagai proses awal, perahu kecil diarak dari halaman rumah Pak Lurah dengan diiringi oleh sekelompok drum band, hingga sampai pada sebuah lokasi tempat upacara. Puncak acara biasanya juga dihadiri oleh Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Lurah, dan Kepala Desa. Acara ini diakhiri dengan datangnya rombongan ke suatu pulau yang masih jarang sekali dikunjungi oleh orang – orang dan dijadikan sebagai pulau keramat, dan biasanya mereka berdoa di tempat itu untuk memohon keselamatan. Tempat ini juga dipakai sebagai persinggahan akhir rangkaian upacara petik laut, yang dibawakan oleh enam penari gandrung. Dari enam penari gandrung yang terpilih menjadi ratu, dua di antaranya masih perawan atau gadis, dan mereka menari di pulau ini di depan sebuah makam yang dipercayai sebagai makam keramat penari gandrung di wilayah Muncar yang dihormati.

Baca Juga :   Tradisi Lokal “SELAMETAN MALEMAN” Pada Bulan Ramadhan Masyarakat Ambulu

Memetik Nilai Upacara Petik Laut

Nilai religi yang terkandung dalam upacara Petik Laut ini di antaranya ialah pertama, permohonan pada Tuhan agar para nelayan dianugerahi hasil laut yang melimpah pada tahun yang akan datang. Kedua, sebagai salah satu media permohonan kepada Tuhan yang Maha Esa, agar selalu diberikan perlindungan, dijauhkan dari marabahaya dan dianugerahi keselamatan. Ketiga, wujud mensyukuri rahmat Tuhan Yang Maha Esa yang telah dilimpahkan berupa hasil penangkapan ikan yang tidak kunjung henti sepanjang musim. Keempat, sebagai salah satu upaya menanamkan perasaan cinta bahari bagi masyarakat nelayan Muncar, sehingga kehidupan laut yang telah mendatangkan manfaat dapat terpelihara secara lestari.

Disisi lain juga terdapat nilai sosial yang dapat dirasakan dalam pelaksanaan Tradisi Petik Laut dikatakan dapat meningkatkan solidaritas sosial, hal ini dikarenakan dari pelaksanaan upacara keagamaan dapat tercapai keharmonisan antara manusia dengan sesamanya dan sebagai sarana interaksi sosial secara terus menerus hingga menumbuhkan integrasi sosial atau solidaritas sosial, sebab setiap ritual keagamaan akan melekat pada seluruh atau bagian dari anggota masyarakat yang dapat bekerja sama dengan baik.

Dengan menanamkan arti penting dari pelaksanaan tradisi petik laut, diharapkan generasi muda akan memiliki kesadaran serta semangat dalam mempertahankan tradisi petik laut tersebut. Selain itu masyarakat pesisir serta nelayan memiliki kepercayaan apabila tradisi petik laut ini tidak dilaksanakan maka masyarakat pesisir akan terserang wabah penyakit, akan terjadi kecelakaan laut bagi nelayan dan hasil tangkapan ikan nelayan akan sedikit. Hal ini terbukti setelah diadakannya tradisi petik laut ini hasil tangkapan ikan nelayan akan bertambah serta kehidupan masyarakat menjadi tentram dan damai.

Daftar Pustaka

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1990

Santoso, Budi. Kehidupan Masyarakat Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur, Surabaya: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Jawa Timur, 1991.

Sumarto, Hendro. Upacara Adat Larung Sesaji: Studi Kasus di Komunitas Nelayan Puger Jember, Jember: Prisma, 1996.

Sudibyo, Lies. Ilmu Sosial Budaya Dasar, Yogyakarta: Andi Offset, 2013.

Tri Prasetyo, Joko. Ilmu Budaya Dasar , Jakarta: Rineka Cipta, 1998. Wiyaka, Agus. Pengantar Ilmu Budaya, Surabaya: Insan Cendekia, 2003.

https://kkp.go.id/djprl/p4k/artikel/19048-karakteristik-masyarakat-pesisir-dan-pulau-pulau-kecil

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn