Perkawinan adalah tahap pertama yang krusial dalam membantu keluarga mencapai kebahagiaan dan harmoni. Selain itu, bagi pasangan muda-mudi, perkawinan merupakan upaya untuk mengintegrasikan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Ada pepatah yang menyatakan “Homo sacra est harmoni,” yang menggambarkan perkawinan sebagai tugas suci antara pria dan wanita, sehingga memerlukan pertimbangan yang matang untuk mencegah penyesalan di masa depan. Saat ini, mencari dan menentukan jodoh dipengaruhi oleh keputusan calon pasangan, tetapi tetap penting bagi orang tua memberikan nasehat dan panduan kepada anak-anak mereka agar tidak salah dalam memilih. Umumnya, orang tua berharap agar anak-anak mereka menemukan jodoh yang serasi untuk membangun keluarga yang bahagia. Meskipun pedoman Triaji seperti “Bibit, Bebet, dan Bobot” bersifat kuno, tetapi masih relevan dalam era modern dengan penyesuaian yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Oleh Zonni Bahauddin Hilmi
Adapun yang dimaksud dengan Bibit, Bebet, dan Bobot adalah : 1. Bibit menyangkut faktor keturunan, apakah sang perjaka atau gadis dari keturunan keluarga yang baik atau tidak, biasanya keluarga yang baik akan menurunkan keluarga dan anak yang baik juga dan sebaliknya. Pengertian rasional pada zaman era baru 2000 pengertian bibit mempunyai arti yang lebih luas yaitu menyangkut akhlak, moral yang mengarah pada kesehatan rohani dan jasmani dari orang tua.
2. Bebet menyangkut prilaku atau budi pekerti dari calon menantu. Adakalanya orang pintar tetapi budi pekertinya amoral dan adakalanya anak pejabat tinggi tetapi kelakuannya jelek, anak orang kaya tetapi kejam dan sifatnya negatif. Bebet yang baik bila anak itu berprilaku sopan santun, rendah hati, berakhlak dan bermoral tinggi, jadi mengenai bebet perlu juga dipertimbangkan.
3. Bobot menyangkut kepribadian sang calon menantu termasuk pendidikan, sudah mempunyai pekerjaan tetap, memiliki masa depan yang baik atau tidak, penampilannya watak, serta kepribadian yang positif. Jadi bobot ini sangat menentukan kebahagiaan dimasa mendatang bila kelak berkeluarga (Zubaidah, 2019).
Dalam tradisi pernikahan Jawa, dilain sisi hitungan weton memiliki ikut berperan dalam menentukan keselarasan dan keberuntungan pasangan yang akan menikah. Hitungan weton merupakan sebuah aspek astrologi tradisional yang memperhitungkan unsur-unsur kalender Jawa seperti Pasaran, Dina, Wuku, Sinta, dan Paseksan. Pemilihan tanggal pernikahan yang sesuai dengan weton dianggap dapat membawa keharmonisan dan kebahagiaan dalam kehidupan berumah tangga.Kesesuaian weton dianggap menciptakan fondasi yang baik untuk kehidupan pernikahan yang langgeng. Sebaliknya, ketidaksesuaian atau kecocokan yang kurang diharapkan dapat membawa konsekuensi negatif, seperti ketidakharmonisan atau bahkan potensi perceraian. Dalam perjalanan pernikahan, pasangan diharapkan untuk saling memahami, berkomunikasi dengan baik, dan menjaga komitmen bersama. Praktik hitungan weton menjadi sebuah tradisi yang mengakar kuat dalam budaya Jawa, menggambarkan perpaduan antara kearifan lokal kebudayaan dalam menyongsong kehidupan berumah tangga yang bahagia.
Hari dalam hitungan Jawa berjumlah tujuh yang disebut dina pitu dan pasaran yang disebut dina lima, atau sering disingkat dina lima dina pitu. Keduanya akan menentukan jumlah neptu dina (hidupnya hari dan pasaran). Pasaran yang dimaksud meliputi Legi, Pahing, Pon, Wage dan Kliwon sedangkan harinya adalah seperti hari biasa yaitu Senin hingga Sabtu. Dengan menentukan perhitungan hari dan pasaran kemudian akan mendapatkan jawaban atau ramalan sesuai hal yang diinginkan (Suwardi,2010:103).
Sumber: https://primbonajimantrajawa.blogspot.com
Setiap orang jawa pasti memiliki weton, dikarenakan weton berarti hari kelahiran sesuai dengan hari Pasaranya. Hari Pasaran Merupakan hari jawa yang terdiri dari 5 hari saja, yakni Kliwon, Legi, Pahing, Pon, dan Wage. Kelima hari tersebut biasa dinamakan dengan hari Pasaran. Dinamakan hari pasaran dikarenakan dahulu mula yang masing-masing nama tersebut digunakan sebagai nama untuk menentukan dibukanya pasar bagi para pedagang, sehingga pada hari ditetapkannya tersebut suatu pasar akan banyak kunjungan pedagang untuk menjual dagangannya, dan sangat ramai pembeli yang berkunjung dan berbelanja di pasar tersebut. Apabila mengungkap dari leluhur pada zaman dahulu, penyebutan nama 5 hari pasaran tersebut diangkat dari nama 5 roh. Adapun nama-nama roh tersebut antara lain: Batara Legi, Batara Paing, Batara Pon, Batara Wage, dan Batara Kliwon. Kelima roh tersebut merupakan bagian pokok dari jiwa manusia yang sudah menjadi suatu pengetahuan dan keyakinan leluhur orang jawa sejak jaman purba hingga saat ini (Rizaluddin et al., 2012).
Karena kelima hari pasaran itu sebenarnya berasal dari nama jiwa manusia, istilah “Sedulur Papat Lima Pancer” kerap digunakan untuk menggambarkan hubungan erat antara pasaran dan jiwa manusia. Oleh karena itu, dalam budaya Jawa, masyarakat memiliki naluri untuk menggunakan nama-nama pasaran tersebut sebagai acuan dalam menentukan peruntungan seseorang berdasarkan hari kelahirannya. Sedulur Papat Lima Pancer mencakup arah mata angin seperti Wetan, Kidul, Kulon, Lor, dan pancer (tengah), yang dianggap sebagai pusat komis manusia Jawa. Arah-arah ini juga dapat dikonseptualisasikan sebagai representasi perjalanan hidup manusia yang senantiasa disertai oleh Sedulur Papat Lima Pancer.
Kata-istilah pada panca jodoh memiliki makna filosofis yang berbeda-beda, wasesa sagara yang berarti baik, pemaaf. yang kedua Tunggaksemi yang berarti banyak rejeki, yang ketiga satriyawibawa yang merupakan kemuliaan, yang selanjutnya sumursinaba yang adalah tempat bertanya, satriyanyandang wirang yang berarti menanggung susah, penolaknya adalah dengan membeli binatang, yang selanjutnya bumi kapetak yaitu hatinya kalut, penolaknya artinya menanam tanah, serta terakhir katiupangin yang berarti asa tidak terkabul penolaknya artinya mengembangkan tanah. Cara memakai sapta tujuh bisa dengan menjumlahkan neptu kedua pasangan calon pengantin, lalu dihitung menggunakan panca jodoh. Hal yang dikhawatirkan ialah ketika jatuh pada satriya nyandang wirang, bumi kapetak, dan lebu ketiup angin sebab mempunyai arti yang kurang baik (Nafi’aha & Setyawan, 2022).
Seperti gambar diatas kata neptu di sini berarti hari serta pasaran. yaitu hari ahad = 5, neptu senin = 4, neptu selasa = 3, neptu rabu = 7, neptu kamis = 8, neptu jumat = 6, neptu sabtu = 9 dan neptu pasaran, neptu kliwon = 8, neptu legi = 5, neptu pahing = 9, neptu pon = 7, neptu wage = 4. Contoh pada penggunaan mencocokan jodoh: Bila terdapat pasangan yang bernama Hilmi dan Lia, Hilmi lahir pada hari rabu wage dan Lia lahir di hari selasa pahing. Nilai dari hari rabu7, wage 4, selasa tiga, pahing 9, lalu dijumlahkan dari Hilmi dan lia yaitu11+12=23. Dari hasil 23 ini meraka mereka akan tirani yang cenderung menikmati kemudahan dalam mencari rezeki dan tidak akan mengalami kesulitan ekonomi setelah menikah. Selain itu, keberuntungan juga sering berpihak pada mereka.
Lebih jelasnya lihat tabel ini
Sumber: intisari.grid.id
Berikut beberapa hasil hitungan jodoh weton Primbon Jawa yang hasilnya adalah berjodoh:
1. RATU Jika hasil penjumlahan neptu pasangan adalah 2, 11, 20, atau 29, mereka dapat dianggap sebagai pasangan RATU dalam perhitungan weton jodoh. Ini menandakan bahwa mereka adalah jodoh yang sudah ditakdirkan. Keharmonisan dalam rumah tangga mereka membuat lingkungan sekitar menghargai dan mengagumi hubungan ini. Keakraban mereka kerap memicu rasa iri di antara orang-orang yang melihatnya.
2. JODOH Dalam perhitungan weton jodoh, apabila jumlah neptu pasangan adalah 3, 12, 21, atau 30, mereka disebut sebagai pasangan JODOH. Ini mengindikasikan bahwa pasangan ini memiliki tingkat keserasian yang tinggi. Mereka mampu menerima segala kelebihan dan kekurangan satu sama lain, melengkapi satu sama lain, dan memiliki potensi untuk menjalani kehidupan rumah tangga yang harmonis hingga usia tua.
3. TINARI Ketika neptu pasangan menghasilkan angka 5, 14, 23, atau 32 dalam perhitungan weton jodoh, mereka disebut sebagai pasangan TINARI. Mereka cenderung menikmati kemudahan dalam mencari rezeki dan tidak akan mengalami kesulitan ekonomi setelah menikah. Selain itu, keberuntungan juga sering berpihak pada mereka.
4. PESTHI Jika hasil penjumlahan neptu pasangan adalah 8, 17, 26, atau 35, mereka dapat disebut sebagai pasangan PESTHI. Mereka diramalkan akan menjalani kehidupan rumah tangga yang damai dan harmonis hingga usia tua, bahkan jika menghadapi masalah.
5. PEGAT Jika saat menjumlahkan neptu pasangan kekasih, angka yang muncul adalah 1, 9, 10, 18, 19, 27, 28, atau 36, ini mengindikasikan bahwa pasangan tersebut memiliki PEGAT sebagai weton jodoh. Artinya, pernikahan mereka bisa terancam oleh berbagai masalah, seperti persoalan ekonomi, konflik kekuasaan, atau bahkan perselingkuhan yang berpotensi memicu perceraian.
6. PADU Bagi pasangan yang memiliki hasil penjumlahan neptu 6, 15, 24, atau 33 dalam perhitungan weton jodoh, mereka dikenal sebagai pasangan PADU. Meskipun sering terlibat dalam pertengkaran, hubungan mereka tidak akan berujung pada perceraian. Pertengkaran tersebut bahkan bisa disebabkan oleh hal-hal sepele.
7. SUJANAN Jika neptu pasangan menghasilkan angka 7, 16, 25, atau 34, mereka akan diidentifikasi sebagai pasangan SUJANAN dalam weton jodoh. Pasangan ini cenderung sering mengalami konflik dan masalah perselingkuhan, yang bisa berasal dari kedua belah pihak.
8. TOPO Hasil penjumlahan neptu pasangan yang menghasilkan angka 4, 13, 22, atau 31 menggambarkan pasangan TOPO dalam weton jodoh. Pasangan ini mungkin menghadapi kesulitan pada awal pernikahan karena mereka perlu saling memahami dan beradaptasi. Namun, di akhir perjalanan, mereka akan meraih kebahagiaan. Masalah seperti masalah ekonomi dapat muncul, tetapi dengan waktu, mereka akan sukses dan bahagia (Saputro, 2023).
Dalam menentukan waktu pernikahan masyarakat Jawa masih menggunakan petungan sebagai pedoman untuk mencari waktu yang baik. Hal ini dilakukan karena untuk mendapatkan keluarga yang selamat dan banyak rejeki. Dalam menentukan perhitungan orang akan berumah tangga kuncinya berada pada hari akad nikah karena hari akad nikah harus bisa mengatasi semua petung-petung yang jelek (Listyana & Hartono, 2015).
Tetapi untuk pembahasan tentang waktu pernikahan sementara tidak kami membahasanya/ Dengan demikian, perhitungan weton dalam konteks pernikahan merupakan suatu tradisi Jawa yang dianggap dapat membawa keberuntungan dan harmoni bagi pasangan. Meskipun tidak semua orang mempercayainya, bagi mereka yang menghargai warisan budaya ini, weton menjadi pedoman dalam menentukan momen penting seperti pernikahan. Semoga keselarasan
ilmu Jawa ini dapat mengiringi perjalanan hidup pasangan menuju kebahagiaan dan keberhasilan bersama.
Pandangan Gen Z
Seiring berkembangnya zaman, berkembang pula elemen-elemen yang ada pada masyarakat Jawa. Perkembangan yang terjadi antara lain kecanggihan teknologi yang semakin mutakhir, fasilitas umum yang semakin memadai, mutu pendidikan yang semakin membaik serta cara pandang orang yang semakin terbuka terhadap wawasan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Elemen-elemen tersebut menjadikan adat perhitungan weton di dalam masyarakat Jawa semakin terkikis, jarang dipraktekkan dan mulai ditinggalkan. Dan saja juga perlu kita tahu pandangan tentang perhitungan weton dalam pernikahan menurut generasi sekarang atau disebut Gen-Z.
generasi Z ialah orang-orang yang lahir di era generasi internet. Dilansir situs tirto.id, internet di Indonesia mulai hadir pada tahun 1990, namun baru pada tahun 1994 ada penyelenggara jasa internet komersial di negeri ini. Momentum kehadiran internet itulah yang menjadi salah satu dasar pengelompokkan generasi Z di Indonesia. Oleh karena itu, generasi Z disebut pula sebagai generasi internet atau iGen (internet generation). Generasi ini menikmati keajaiban revolusi teknologi setelah kelahiran internet. Dengan demikian, generasi Z tak lain adalah generasi yang lahir dalam rentang 1995 – 2000an atau mereka yang pada saat penelitian ini dilakukan tahun 2018 berusia antara 18 tahun hingga 23 tahun. Istilah generasi Z sering pula disetarakan dengan generasi milenial, padahal keduanya berbeda. Connor Blalkley, seorang konsultan Generasi Z di Amerika Serikat, seperti dikutip tirto.id, menyatakan bahwa tidak bisa disamakan terus menerus antara generasi milenial dengan generasi Z. Generasi milenial disebutnya sebagai orang-orang yang setengah-setengah, yaitu setengah menikmati era sebelum internet, dan setengah menikmati era internet. Generasi Z memang lahir di era internet, sementara generasi milenial memang menikmati era internet, namun lahir sebelum era internet (Muannas, 2018).
Generasi Z seringkali memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap berbagai pandangan, termasuk weton. Beberapa dari mereka mungkin melihatnya sebagai aspek budaya yang menarik dan dapat menjadi bagian dari identitas keluarga. Generasi sekarang mungkin tetap percaya pada weton karena adanya ketertarikan terhadap warisan budaya dan tradisi yang diwariskan dari generasi sebelumnya. Bagi sebagian orang, weton bukan hanya sekadar ramalan, tetapi juga menjadi bagian dari identitas budaya mereka. Selain itu, beberapa individu percaya bahwa unsur-unsur astrologi Jawa seperti weton dapat memberikan wawasan atau panduan dalam pengambilan keputusan penting, termasuk dalam hal pernikahan dan kehidupan pribadi. Sementara beberapa orang mungkin bersifat skeptis, ada yang melihat nilai dalam mempertahankan dan menghormati warisan leluhur mereka.
Pandangan terhadap weton pernikahan mungkin diperkuat oleh pengalaman empiris di mana pasangan yang memilih tanggal pernikahan berdasarkan weton mengalami keberuntungan atau keselarasan yang diharapkan. Pengalaman positif semacam itu dapat menjadi faktor kuat yang memperkuat keyakinan pada astrologi Jawa. Selain itu, cerita sukses atau pengalaman baik dari orang-orang di sekitarnya yang mengikuti aturan weton juga dapat memengaruhi keyakinan tersebut. Meskipun tidak ada dasar ilmiah yang mendukung weton, pengalaman positif pribadi dan testimoni dari orang lain dapat memperkuat keyakinan dalam praktik ini.
Namun, ada juga yang cenderung lebih skeptis terhadap kepercayaan tersebut, lebih cenderung memandangnya sebagai tradisi kultural tanpa mengaitkannya dengan keyakinan pribadi atau kehidupan sehari-hari mereka. Dalam keseluruhan, pandangan generasi Z terhadap weton bisa sangat bervariasi.
Beberapa generasi sekarang mungkin tidak percaya pada weton pernikahan karena generasi sekarang cenderung mengutamakan pendekatan yang rasional dan ilmiah dalam pengambilan keputusan, termasuk dalam aspek kehidupan pribadi seperti pernikahan. Mereka lebih mungkin mempercayai penelitian ilmiah, data, dan logika sebagai dasar untuk mengambil keputusan signifikan, menggantikan praktik-praktik yang bergantung pada keyakinan atau tradisi tanpa dasar ilmiah yang jelas. Pendekatan ini mencerminkan tren umum menuju pikiran kritis dan evaluasi berbasis bukti di kalangan generasi modern.
pengaruh globalisasi yang sangat cepat bertransformasi membawa perubahan nilai serta prioritas dalam kehidupan sehari-hari. Generasi sekarang, terhubung dengan aliran informasi global, mungkin lebih terbuka terhadap berbagai pandangan dan praktik baru dari berbagai budaya. Ini dapat menyebabkan penurunan ketergantungan pada praktik tradisional seperti weton, karena munculnya perspektif yang lebih luas dan beragam dari seluruh dunia.
Serta meningkatnya akses informasi dan pendidikan dapat membuka pikiran generasi sekarang terhadap pandangan yang lebih kritis terhadap praktik-praktik yang tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat. Meskipun nilai budaya tetap dihargai, beberapa orang mungkin lebih condong kepada pendekatan yang lebih kontemporer dalam menjalani kehidupan mereka.
Bahkan generasi sekarang tidak tahu tentang weton pernikahan terkhususnya di kota metropolitan seperti Surabaya.penyebabnya mungkin kurangnya pengetahuan atau eksposur terhadap aspek-aspek ilmu Jawa dalam pendidikan formal atau pengalaman sehari-hari. Dengan pergeseran fokus ke pendidikan modern dan topik yang lebih global, beberapa orang mungkin tidak terpapar secara mendalam pada tradisi-tradisi lokal seperti weton. Selain itu, mungkin juga ada kurangnya minat atau relevansi yang dirasakan terhadap praktik-praktik tradisional tertentu di tengah budaya yang terus berubah dan berkembang.lebih parahnya tidak menganggap melestarikan budaya tidak penting karena tidak berdampak signifikan terhadap keberlangsungan kehidupan mereka.
Pernikahan, sebagai tahap awal dalam membangun keluarga, memiliki peran yang sangat penting dalam menggapai kebahagiaan dan harmoni. Dalam konteks tradisi pernikahan Jawa, sistem hitungan weton menjadi faktor penentu signifikan dalam menilai keserasian dan keberuntungan pasangan yang bersiap menikah. Astrologi tradisional Jawa menekankan unsur unsur seperti Pasaran, Dina, Wuku, Sinta, dan Paseksan sebagai dasar untuk membentuk keputusan pernikahan yang bijaksana.
Melalui perhitungan teliti terhadap elemen-elemen kalender Jawa ini, diharapkan bahwa pernikahan dapat berakar pada fondasi yang kuat, menghasilkan hubungan yang tidak hanya harmonis namun juga membawa kebahagiaan berkelanjutan. Dengan demikian, memahami dan menghormati aspek-aspek astrologi tradisional menjadi kunci untuk membentuk ikatan pernikahan yang berlangsung sepanjang masa dan membawa berkah bagi keluarga yang dibangun.
pandangan generasi Z terhadap weton pernikahan sangat bervariasi. Sebagian mungkin melihatnya sebagai bagian dari identitas budaya dan tradisi yang menarik, sementara yang lain lebih cenderung skeptis dan memandangnya sebagai praktik kultural tanpa dasar ilmiah yang kuat. Pengaruh globalisasi, pendidikan modern, dan pergeseran nilai dapat menjadi faktor utama dalam menentukan keterbukaan dan penerimaan terhadap praktik tradisional seperti weton. Selain itu, beberapa generasi sekarang mungkin tidak tahu banyak tentang weton pernikahan karena kurangnya pengetahuan atau eksposur terhadap aspek ilmu Jawa dalam pendidikan formal atau pengalaman sehari-hari.
Referensi
Listyana, R., & Hartono, Y. (2015). Persepsi Dan Sikap Masyarakat Terhadap Penanggalan Jawa Dalam Penentuan Waktu Pernikahan (Studi Kasus Desa Jonggrang Kecamatan Barat Kabupaten Magetan Tahun 2013). Agastya, 5(1), 118-137.
Muannas. (2018). Proses Gatekeeping Terkait Redistribusi Konten Media Sosial: Perspektif Generasi Z”. Jurnalisa, 4(2), 256-270.
Nafi’aha, Z., & Setyawan, B. W. (2022). Peran Tradisi Perhitungan Weton Perkawinan Ditinjau dari Perspektif Islam (Studi Kasus Dusun Lemah Jungkur, Desa Keniten, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri). Jurnal Studi dan Agama Masyarakat IAIN Palangkaraya, 18(1), 46-56.
Rizaluddin, F., Alifah, S. S., & Khakim, M. I. (2012). Konsep Perhitungan Weton dalam Pernikahan Perspektif Hukum Islam. Yudisa, 12(1), 139-150.
Saputro, P. (2023, September 27). Cara Perhitungan Weton Jodoh Menurut Primbon Lengkap dengan Contoh, Simak Isi Ramalan di Daftar Hasilnya – Kapanlagi.com. Kapanlagi Plus. Retrieved January 3, 2024, from https://plus.kapanlagi.com/cara-perhitungan-weton-jodoh-menurut-primbon-lengkap-dengan-contoh-simak-isi-ramalan-di-daftar-hasilnya-28d69b.html
Zubaidah, D. A. (2019). Penentuan Kesepadanan Pasangan Pernikahan Berdasarkan Perhitungan Weton. Volksgeist, 2(2), 207-233.