Sistem Perbendaharaan Masa Zaman Mataram II 

Dalam kaitannya dengan zaman kerajaan Mataram agak sulit rupanya untuk berbicara tentang “pembiayaan negara” dalam arti modern, khususnya jika itu diartikan sebagai suatu usaha yang sistematis dan menyeluruh untuk mengatur pendapatan dan pengeluaran negara secara keseluruhan. Hal ini tidak hanya karena tiadanya suatu perbendaharaan (sistem keuangan) negara yang dikelola oleh pusat tetapi juga karena cara-cara yang insidental untuk memenuhi keperluan keuangan negara.

Oleh Ahmad Zainuri

Apabila diingat kembali mengenai pengaturan negara yang sangat sederhana pada zaman-zaman yang lalu (Majapahit, Kutai, Demak dan beberapa daerah lain), maka sudah jelas bahwa menangani pengeluaran yang timbul sendiri-sendiri dengan jalan pemungutan sebagai dasar untuk memenuhi kebutuhan material maupun finansial adalah suatu konsekuensi logis dari pemikiran yang sederhana. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sepanjang berabad-abad pemerintahan raja di Mataram, sudah dilaksanakan hidup swasembada atau otonom yang sebenarnya.

Hampir setiap keperluan—rumput untuk kuda raja, perbaikan jalan, biaya hidup para pejabat, bagian pengangkutan—mempunyai sumber pendapatannya sendiri, yang mungkin berupa sebidang tanah, pungutan tertentu, atau tenaga manusia di desa tertentu. Melalui sumber pendapatan inilah negara harus berusaha untuk sedapat mungkin menutupi biaya pengeluarannya. Pemeliharaan suatu bagian pemerintahan, kantor atau lembaga, diserahkan seluruhnya kepada kesanggupan dan pertimbangan moral si pemegang jabatan. Hal ini benar-benar sesuai dengan pengaturan negara yang memungkinkan kekuasaan pribadi memainkan peranan sangat besar.


C:\Users\Administrator\Downloads\kehidupan-ekonomi-kerajaan-mataram-islam.jpg

Sumber: www.selasar.com 

Kraton memiliki sumber penghasilannya sendiri bagi tiap kebutuhannya yang bermacam-ragam itu; sumber-sumber itu dapat berupa daerah tertentu yang menyediakan beras untuk keperluan dapur istana, desa tertentu yang menyediakan banyak minyak kelapa, hutan tertentu untuk menyediakan kayu bagi bangunan istana. Memang ada suatu cara pembagian yang dilakukan oleh pusat, tetapi itu hanya untuk warga lingkungan kraton yang tidak menerima sebidang tanah sebagai mata pencahariannya. Sudah tentu hal ini dalam ukuran yang lebih kecil, juga berlaku bagi warga lingkungan ndalem dari para penguasa daerah. 

Jumlah seperti ini mungkin tidak sedikit, karena di lingkungan keraton ada beratus-ratus orang, mulai dari yang melakukan pekerjaan tangan yang sederhana, para tukang sapu halaman dalam, para pemikul air, para pengrajin yang sanggup membuat barang kerajinan dan keramik, dan para pujangga yang menggunakan tulisan tangannya yang begitu indah. Golongan ini juga termasuk berbagai kesatuan pegawai istana maupun kesatuan prajurit istimewa dengan nama-namanya yang gagah perkasa. Para pekerja ini mendapat biaya hidup langsung dari raja dalam bentuk cadong (jatah atau ransum) berupa beras ataupun bahan keperluan sehari-hari lainnya dan juga paringan (pemberian) pakaian pada waktu-waktu tertentu. Namun di antara warga lingkungan kraton pun ada beberapa jabatan yang rendah yang berkaitan dengan pendapatan-pendapatan khusus, yang nampaknya berdasarkan kebiasaan yang sudah tua sekali. Misalnya para perajin ahli dan rekannya para lurak tledek (kepala para ronggeng wanita) mempunyai hak untuk menarik pungutan dari semua mereka yang mendapatkan nafkahnya dari usaha yang sama.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah negara yang ekonominya didasarkan pada desa-desa agraris yang benar-benar otonom dan tata pemerintahannya terdiri atas satuan-satuan yang benar-benar swasembada, sebagian terbesar pungutan dari rakyat, entah dalam bentuk barang ataupun tenaga untuk kerja, pasti menguntungkan pihak pemegang kekuasaan, raja atau penguasa daerah (bupati). Hal seperti ini terjadi terutama kalau perdagangan yang memberlakukan berbagai macam bea cukai semakin berkembang. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa bahwa timbunan kekayaan di dalam khazanah raja Mataram II sungguh besar sekali. 

Baca Juga :   Diaspora Orang-orang Madura di Jember Pada Masa Kolonial

Keterlibatan Mataram secara langsung dan sering dalam pengangkatan penguasa daerah pantai, seperti Demak dan Jepara. Semarang tidak mendapat perlakukan seperti daerah mancanegara lainnya maupun ketentuan secara resmi dari pusat yang menggariskan secara terperinci kedudukan dan pengaturan kota-kota pelabuhan haruslah kita lihat dalam kaitan terhadap keuntungan material yang datang dan didapat dari daerah-daerah perdagangan tersebut. Malahan beberapa penguasa menganggap perlu untuk mengirim perahu-perahu bersenjata untuk berpatroli di perairan pantai guna memaksakan bea cukai pada kapal-kapal yang sedang lewat. 

Namun bukan kota-kota pelabuhan saja yang dianggap penting. Dalam perdagangan di daerah pedalaman pasar besar dan kecil yang amat banyak jumlahnya maupun tempat pemungutan bea cukai di jalan maupun di sungai yang berlebihan banyaknya itu juga menjadi sumber penghasilan yang tidak kecil. Orang Jawa mempunyai istilah tertentu untuk pungutan yang dibebankan pada barang dagangan, yaitu beya yang membedakannya dari pajak tetap, yaitu pajeg. Kata beya pada mulanya berarti “biaya atau pengeluaran”. Ini terbukti dari adanya demikian banyak tempat-tempat tertenu di kota pelabuhan yang disebut pabeyan atau pambandaran.

Misalnya di daerah pedalaman, dan sepanjang sungai atau sepanjang beberapa jalan utama, mungkin menanggung beban pungutan yang lebih berat lagi, bukan karena persentasenya lebih tinggi melainkan karena banyaknya jumlah pos Pabean yang didirikan oleh raja atau ataupun para bupatinya. Keadaan ini semakin mencekik perdagangan ketika tempat-tempat pemungutan bea kemudian disewakan kepada orang-orang pribumi yang kaya, atau orang asing, terutama orang Tiongkok dan terjadilah penyelewengan dan pemungutan yang jauh melebihi batas. 

Pada tahun 1824 keadaan buruk ini sudah menjadi begitu biasa sehingga pos Pabean di seluruh wilayah, sebagai contoh wilayah Madiun dan Magetan telah dikontrakkan kepada satu orang Tiongkok yang kemudian membagi-bagi daerah itu menjadi satuan yang lebih kecil untuk dijual lagi; pengontrak tangan kedua membagi-bagi daerahnya lagi dan mengontraknnya lebih lanjut kepada peminat yang menawar tertinggi atau agar lebih jelas lagi, kepada orang Tiongkok yang amat tidak berperkemanusiaan. Hal ini membuat tiap-tiap barang yang dibawa lewat kabupaten secara resmi dibebani bea yang biasa ditambah tiga kali sepertiga jumlah tersebut dan secara tidak resmi mungkin masih lebih tinggi lagi. Karena tiap pengontrak mempunyai hak untuk mendapatkan sepertiga dari pajak yang ditentukan. 

Walaupun dapat dikumpulkan kekayaan yang besar dari bea dan cukai ini, untuk dapat berjalan dengan baik, kerajaan sebagai suatu organisasi institusional mengandalkan para petani yang dapat memberikan tenaga yang diperlukan tidak hanya untuk mengerjakan sawah, tetapi juga melakukan pekerjaan untuk memelihara dan menopang kerajaan. Mulai dari pekerjaan memperbaiki jalan sampai kepada pengangkutan barang, dari menjadi pelayan para bangsawan atau pejabat sampai kepada tentara raja. Dapat dikatakan bahwa menguasai daerah yang berpenduduk padat adalah suatu keuntungan besar dan berkurangnya rakyat karena pengungsian harus benar-benar dicegah. 

Suatu hal yang selalu menarik perhatian, sepintas masyarakat tradisional Jawa masa lalu pungutan pajak seolah-olah tiada hentinya yang dilakukan raja kepada rakyatnya. Misalnya dalam sebuah catatan di Semarang tahun 1830 menyebutkan jenis pajak terdapat 37 macam. Mulai dari pajak hasil bumi hingga iuran-iuran biasa, dari pungutan-pungutan untuk menutup biaya pengiriman utusan dan penyambutan tamu-tamu agung sampai pada sumbangan yang diberikan kepada petugas pengairan di desa. Sumbangannya mulai sumbangan wajib berupa itik dan ayam untuk keperluan dapur raja sampai pada pembayaran kepada kepala wilayah yang memberi keputusan dalam persengketaan antar desa, dari iuran untuk perkawinan, perceraian, pembagian warisan, dan melakukan pertunjukkan sandiwara sampai pada sumbangan yang bersifat keagamaan.

Baca Juga :   Komunitas Islam dalam Bingkai Kerajaan Majapahit

Bisa dilihat bahwa pajak-pajak tersebut beragam tujuan dan maksudnya. Banyak di antaranya yang tidak dapat dikatakan masuk dalam kategori pajak. Bagaimanapun, perpajakan tidaklah mengenai seluruh lapisan masyarakat dan semua pajak dipungut secara teratur. Lagi pula, orang Jawa sendiri mengadakan perbedaan antara pajak utama, yaitu pajeg, dan pungutan atau sumbangan kepada negara (raja) yang disebut taker turun atau pundutan. Kebijaksanaan pembiayaan yang bersifat ad hoc atau contingent ini memaksa negara (kerajaan) untuk menyediakan, biarpun sedikit, sumber penghasilannya yang khusus, yang mungkin sekali berbentuk sumbangan. Semua ini dapat membuktikan bahwa anggapan umum tentang betapa beratnya beban pajak yang dipikul rakyat dalam masyarakat feodal tidaklah selalu benar, karena beban tadi hanya sekali-sekali dan tidak terus-menerus berat.

Sumber: 

Basuki Pujoalwanto, Perekonomian Indonesia: Tinjauan Historis, Teoritis, dan Empiris, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014.

Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya: Batas-Batas Pembaratan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005).

J.C. Van Leur, Perdagangan dan Masyarakat Indonesia: Esai-Esai Tentang Sejarah Sosial dan Ekonomi Indoneia, (Yogyakarta: Ombak, 2015.

Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007.

Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara Di Jawa Masa Lampau: Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVI-XIX, Jakarta: Yayasan Obor, 1981; 

Tim Penyusun, Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia, Jilid 3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2019.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts