Penghormatan Terhadap Aliarcham, Sang Pejuang Anti Kolonial

Partai Komunis Indonesia mengabadikan Aliarcham sebagai nama salah satu institusi pendidikan mereka. Selain itu, dibuatkan juga buku saku riwayat dan perjuangan Aliarcham. Karya tulis yang sampai hari ini menjadi rujukan utama untuk mengenal sosok pemberontak itu. 

Oleh Rifaldi Apinino

Pemberontakan yang terjadi pada periode 1920-an tidak termasuk sejarah perjuangan kemerdekaan yang dipelajari di bangku sekolah. Perjuangan tersebut hanya diartikan sebagai pemberontakan oleh orang-orang komunis yang kemudian berulang di tahun 1948 dan 1965. Setidaknya itulah yang tercatat dalam pendidikan sejarah kita. Maka tidak heran apabila nama tokoh Aliarcham, terasa asing didengar. 

Kegigihan dan perjuangan Aliarcham untuk menghancurkan negara kolonial dimulai ketika ia menyatakan diri sebagai anggota Partai Komunis Indonesia tahun 1921. Di tahun tersebut, Aliarcham masih berstatus sebagai pelajar Sekolah Guru Atas atau Hogere Kweekschool di Purworejo. Selama bersekolah, ia banyak menelan bacaan dari beberapa surat kabar radikal mengenai pemogokan-pemogokan serikat buruh yang keras menentang penjajahan.

Dari banyaknya konsumsi bacaan, Aliarcham mulai intensif melontarkan kritik dan berdebat dengan gurunya yang berkebangsaan Belanda. Buntut dari perilakunya, Aliarcham diancam drop out jika terus membandel dan tidak segera memberhentikan aktivitas propaganda politiknya di sekolah. Ultimatum tersebut tidak digubris. Aliarcham tetap teguh pada pendiriannya. Hingga pada tahun 1922 ia resmi dikeluarkan dari sekolah. 

Peristiwa tersebut menjadi konsekuensi awal yang harus ditanggungnya sebagai seorang penentang kolonialisme. Aliarcham tidak berkecil hati, ia justru semakin mantap menempuh jalur perjuangan. Setelah dikeluarkan dari sekolah, ia bertolak ke Semarang menuju kantor Pengurus Besar PKI dan Sarekat Islam. Di sana aktivitasnya berpusat pada pemberian pendidikan ihwal Marxisme sekaligus mengorganisasi pemogokan buruh. 

Aliarcham juga aktif menerbitkan tulisan di berbagai surat kabar. Tulisannya tajam, banyak berupa kritik terhadap pemerintah kolonial Belanda maupun para intelektual pribumi yang tidak berpihak pada perjuangan rakyat. Pada satu kesempatan tahun 1923, Aliarcham memaki para priyayi berpendidikan yang bekerja untuk pemerintah kolonial dengan sebutan “Togog”. Ungkapan itu muncul akibat alat negara yang tidak mau melihat sulitnya kehidupan para buruh. Aliarcham menulis dalam surat kabar Sinar Hindia yang dikutip dari buku berjudul Aliarcham Sedikit Tentang Riwajat dan Perdjuangannja (1964) bahwa, “Kaum ambtenaar tidak meraportkan keadaan rakjat jang sesungguhnja. Ia takut kalau keadaan rakjat dinjatakan djelek. Ia tidak dapat mendapatkan kenaikan pangkat. Kaum priaji kita namakan TOGOG”.

  Akibat kegiatannya, Aliarcham menjadi incaran polisi kolonial. Ia berulang kali berhadapan dengan pengadilan. Sampai akhirnya pada 5 November 1925 ditangkap dan dibuang ke Merauke sembilan belas hari kemudian. Pembuangan tersebut imbas dari aksi pemogokan yang diorganisasi oleh Aliarcham ketika hijrah ke Surabaya. Pemerintah kolonial khawatir jika aksi ini akan meluas dan diikuti oleh seluruh buruh di pulau Jawa. 

Pemerintah kolonial terus memindahkan lokasi pembuangan Aliarcham. Pertama di pusat Kabupaten Merauke, kemudian dipindahkan ke Okaba selama satu setengah tahun. Setelah itu ke Tanah Merah bersama para pejuang lain yang tertangkap akibat kegagalan pemberontakan bulan November 1926. Tiga bulan kemudian dipindahkan lagi menuju Gudang Arang, di tengah rawa menjauh dari Tanah Merah.

Semasa pembuangan kesehatan Aliarcham perlahan menurun. Diketahui tubuhnya tengah berperang melawan sakit paru-paru. Tanpa pengobatan yang memadai kondisi fisiknya menjadi semakin parah. Pada satu waktu bulan Juli 1933, Aliarcham dipapah oleh kawan-kawannya menaiki kapal untuk diantar menuju Tanah Merah guna mendapat pengobatan. Di tengah perjalanan, Aliarcham mengehmbuskan nafas terakhir. Pejuang anti kolonial itu wafat diusia yang masih muda, 32 tahun. 

Baca Juga :   Pemikiran dan Kontribusi Mohammad Hatta Bagi Indonesia

Diabadikan Menjadi Nama Sekolah dan Ditulis Kisah Perjuangannya

Untuk menghormati sekaligus upaya mengingat perjuangan Aliarcham, PKI di bawah kepemimpinan Aidit dan kawan-kawan mendirikan institusi pendidikan bernama Akademi Ilmu Sosial Aliarcham (AISA) tahun 1959. Pada tahun-tahun tersebut, seperti dikutip dalam buku berjudul Siswoyo dalam Pusaran Arus Sejarah Kiri: Memoar Anggota Sekretariat CC PKI (2015), PKI memang sedang gencar melakukan program pengembangan pendidikan yang menyangkut pendidikan fungsionaris maupun terhadap mayoritas masyarakat. Dengan demikian, tidak heran mengapa partai banyak membentuk lembaga pendidikan. Salah satunya menggunakan Aliarcham sebagai nama akademi mereka. 

AISA dipimpin langsung oleh B.O Hutapea. Dalam pidatonya pada pelaksanaan Kongres Nasional ke-VI PKI bulan September 1959, B.O Hutapea mengatakan bahwa AISA akan mempunyai peranan penting dan akan memajukan studi Marxisme-Leninisme di Indonesia. Selain itu, AISA juga memadukan antara teori dan praktik sehingga akan membawa hasil-hasil yang praktis guna mengubah keadaan masyarakat menjadi lebih baik (Bintang Merah Nomor Spesial Jilid II, 1960). 

Pada pelaksanaannya, AISA dijalankan dengan pendidikan purna waktu selama tiga tahun. Fokusnya terdapat pada karya Aidit berjudul Sosialisme Indonesia yang kemudian dikembangkan menjadi studi umum mengenai Marxisme-Leninisme dan persoalan Revolusi Indonesia. Untuk pembelajaran terdapat lima departemen di akademi antara lain, filsafat, ekonomi politik, sejarah (mencangkup sejarah gerakan buruh internasional), masalah revolusi Indonesia, terakhir adalah bahasa dan budaya. Selain itu, mata pelajaran seperti antropologi budaya, ilmu islam, dan filsafat oriental juga termasuk ilmu yang dipelajari (McVey, 2016: 46).

Lima tahun setelah berdiri, AISA menerbitkan buku saku—atau mereka menyebutnya “buku ketjil”—yang menceritakan perjalanan hidup Aliarcham. Buku tersebut terbit pada 1 Agustus 1964 dalam rangka perayaan lustrum I AISA. Isinya cukup singkat dan padat, terdiri dari lima bab yakni, kata pengantar, kehidupan Aliarcham semasa muda, masa dalam pergerakan revolusioner tahun 1922-1925, masa pembuangan Digul, dan Aliarcham Pahlawan Nasional. Masing-masing bab tidak lebih dari 20 halaman dengan total sekitar 34 halaman. Meski tidak terlalu panjang, buku kecil tersebut cukup memberi gambaran tentang siapa sosok Aliarcham.

Buku dengan judul “Aliarcham (Sedikit Tentang Riwajat dan Perdjuangannja)” merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Sejarah PKI. “Sebuah tulisan jang kami terima sebagai sumbangan dari luar—dari Lembaga Sedjarah PKI”, demikian tertulis dalam kata pengantar. Diketahui bahwa PKI memang memiliki lembaga atau departemen yang bertugas menghimpun dan melakukan penelitian sejarah. Posisinya berada langsung di bawah Politbiro Central Committee. Rukardi Ahmadi menulis dalam artikelnya berjudul Ketika Partai Perlu Belajar Sejarah (2017), bahwa PKI memandang sejarah (lembaga sejarah) merupakan alat kelengkapan penting yang dibutuhkan untuk pengembangan organisasi. 

PKI menyadari betul betapa pentingnya sejarah. Pada tahun-tahun tersebut tidak ada partai politik yang memiliki lembaga serupa. PKI menggunakan hasil penelitian sejarah sebagai bahan otokritik sekaligus pertimbangan untuk merumuskan suatu kebijakan. Hasil penelitian sejarah juga dipergunakan untuk bahan indoktrinasi kader dan materi pengajaran pada berbagai lembaga pendidikan milik partai termasuk di AISA (Ahmadi, 2017).

Secara garis besar, PKI memberikan penghormatan tidak hanya terhadap pelaku sejarah (Aliarcham) yang merupakan pejuang anti kolonial, tetapi pada sejarah itu sendiri. Partai melihat sejarah sebagai suatu ilmu yang memberi banyak manfaat. Bukan sebatas ilmu lawas yang tidak memiliki relevansi. 

Daftar Pustaka

Bintang Merah Nomor Spesial Jilid II, 1960.

Tim Penulis. (1964). Aliarcham (Sedikit Tentang Riwajat dan Perdjuangannja). Jakarta: Akademi Ilmu Sosial Aliarcham.

Baca Juga :   Diaspora Orang-orang Madura di Jember Pada Masa Kolonial

  Waskito. (2015). Siswoyo dalam Pusaran Arus Sejarah Kiri: Memoar Anggota Sekretariat CC PKI. Bandung: Ultimus.

McVey. (2016). Mengajarkan Modernitas: PKI Sebagai Sebuah Lembaga Pendidikan. Jakarta: Pustaka Indoprogress.

Ahmadi. (2017). Ketika Partai Perlu Belajar Sejarah. Diakses dari https://historia.id/politik/articles/ketika-partai-perlu-belajar-sejarah-P7xdQ/page/2 2 Oktober 2022.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts