Zaman Buddha di Jepang

Agama Budha adalah salah satu agama yang berpengaruh di Jepang disamping agama Shinto sebagai agama asli Jepang pada abad ke-6 hingga ke-9. Agama Buddha berjaya pada periode Asuka dan Nara karena membawa kebudayaan yang sangat berarti bagi periode selanjutnya.

Oleh Afrizal Arif

Ajaran Buddha di Jepang tidak langsung dibawa oleh para biksu dari India, melainkan dari wilayah sekitar yabg ajaran Buddha telah berkembang. Wilayah tersebut adalah Baekje. Baekje adalah kerajaan yang sangat berpengaruh di Semenanjung Korea. Baekje menerima ajaran Buddha setelah kerajaan tetangganya, Gaya. Kerajaan Gaya  adalah tempat awal Buddha berkembang yang kemudian disusul Goguryeo (Rostineu, dkk., 2019, hlm.  Semenanjung Korea mendapat pengaruh Buddha dari Dinasti Utara dan Selatan Tiongkok yang mendapatkan ajaran Buddha dari India. Dapat disimpulkan bahwa ajaran Buddha berkembang dari Tiongkok, kemudian menjalar ke wilayah seperti Korea dan Jepang.

Gambar 1. Peta Kerajaan-kerajaan di Semenanjung Korea dan di bawah kanan terdapat wilayah Wa (diubah namanya menjadi Yamato yang dikenal sekarang sebagai Jepang) pada tahun 375. (sumber: Wikipedia)

Sebelum masuk agama Buddha, Jepang belum memiliki kebudayaan yang tinggi seperti Tiongkok dan Korea. Pada tahun 552, masuklah peradaban baru dari kerajaan Baekje yang mempunyai pertalian kebudayaan yang sangat erat dengan Tiongkok meminta pertolongan Jepang untuk melawan musuh-musuhnya. Utusan-utusan Baekje membawa patung Buddha dan kitab suci Tripitaka ke Istana Yamato (Leonard, 1983; Beasley, 2003). Utusan dari Kerajaan Baekje ini membawa Jepang ke era baru dengan masuknya kebudayaan Tiongkok yang membuat kebudayaan Jepang serta ajaran Buddha tumbuh secara signifikan.

Pertikaian antara Buddha dengan Shinto

Respon baik dan buruk muncul pasca masuknya agama Buddha di Jepang. Keluarga/klan Soga sebagai keluarga yang berpengaruh di lingkungan kekaisaran Jepang tentunya menerima dengan baik. Iname, seorang menteri berkedudukan tinggi dari keluarga Soga menganggap agama Buddha bukan hanya cocok sebagai penyebar kebudayaan dan pikiran Tiongkok tetapi juga sebagai alat politik dengan harapan dapat mengimbangi kekuasaan antara kaum politisi dengan kaum pendeta. Bahkan Iname menggunakan agama Buddha sebagai strategi politik-agama sehingga terjadi pertentangan antara para pendukung Buddha dengan golongan yang ingin mempertahankan agama Shinto (Leonard, 1985, hlm. 15). 

Di samping itu, terdapat keluarga yang menentang dan membela nilai-nilai tradisional masyarakat Jepang (Shinto) yaitu keluarga Mononobe dan Nakatomi. Kedua keluarga ini menentang masuknya Buddha dikarenakan kami atau dewa kepercayaan agama Shinto akan meradang atau gusar. Apalagi kaisar Jepang tidak setuju karena kedudukannya sebagai pemimpin yang berasal dari keturunan kami (Shinto), Dewi Amaterasu. Oleh karena itu, kaisar memutuskan untuk keluarga Soga diizinkan memuja Buddha sebagai percobaan, tetapi harus dilakukan secara pribadi untuk mengetahui apakah Buddha dapat diterima oleh masyarakat Jepang atau tidak (Beasley, 2003, hlm. 50). Keputusan ini memicu pertarungan saling meramalkan kejadian mengerikan yang akan terjadi antara Keluarga Soga dengan koalisi Keluarga Mononobe-Nakatomi. 

Menurut Beasley (2003, hlm. 50 – 51), keluarga Mononobe dan Nakatomi mengalami serangan wabah penyakit; kebakaran di istana dalam; hingga kaisar jatuh sakit menjadi alasan bahwa kedua keluarga penentang Buddha itu menghancurkan biara Buddha keluarga Soga yang menurut mereka merupakan langkah yang bijaksana. Hingga pada puncaknya terjadi perselisihan dalam pergantian kaisar pada tahun 587 hingga akhirnya keturunan dari keluarga Soga yang menikah dengan keluarga kaisar berhasil menduduki singgasana dan Buddha berhasil diterima oleh istana dan berkembang pesat.

Walaupun terdapat pertikaian yang cukup sengit antara Buddha dengan Shinto, dalam sejarah Jepang tidak banyak terjadi pertikaian agama, kecuali agama yang dijadikan sebagai alat politik ataupun memperoleh kekayaan. Biasanya pertikaian itu dapat diselesaikan dengan baik tanpa ada kesulitan yang berarti. Seperti pada tahun 740 M, terjadi perdamaian antara agama Buddha dengan Shinto yang dilakukan oleh Biksu Buddha bernama Gyoki. Sebelum membangun patung Buddha besar yang diinginkan oleh kaisar, ia mengadakan perjalanan menuju Kuil Ise, kuil utama Dewi Matahari Amaterasu dan berdoa di depan pintu kuil selama tujuh malam untuk menanyakan pendapat dewi. Akhirnya sang dewi setuju untuk melanjutkan pembangunan patung Buddha besar karena menurut dewi kedua agama tersebut hanyalah bentuk lain dari kepercayaan yang sama (Leonard, 1985, hlm. 17). 

Baca Juga :   Sriwijaya: Kerajaan Buddhis Sang Pengendali dan Pengaman

Kejayaan Buddha

Masuknya Buddha di Jepang membawa perubahan yang sangat drastis di Yamato (Jepang) hingga memasuki era baru. Kebudayaan dari Tiongkok pun berdatangan untuk mewarnai kebudayaan Jepang dari bidang pemerintahan, sastra, dan seni.

Pada awal abad ke-8, Jepang tidak memiliki ibukota resmi karena belum mengenal sistem pemerintahan yang lebih baik. Sejak bangsa Jepang mengapdosi kebudayaan Tiongkok, Jepang mulai menetapkan ibukotanya. Oleh karena itu, pada tahun 710, dipilihlah ibukota di tengah daratan Yamato sesuai dengan geomansi (ilmu semu tentang ramal-meramal) Tiongkok bernama Heijo-kyo atau sekarang dikenal dengan Nara mengikuti model Chang-an, ibukota Dinasti Tang (Leonard, 1985, hlm. 19). Kebetulan pembangunan ibukota Nara berdekatan dengan kuil-kuil Buddha sehingga ibukota tersebut tumbuh menjadi pusat kebudayaan dan “kota Buddha” di Jepang. Selain itu, muncullah Reformasi Taika mengenai sistem pemerintahan dan birokrasi pertama Jepang yang mengambil sistem dari Dinasti Tang, Tiongkok. Pangeran Shotoku adalah penganut agama Buddha yang taat dan mengabdi dalam pengembangan pemikiran dan tata lembaga Tiongkok di kekaisaran Jepang. Dokumen politik yang dimiliki oleh Pangeran Shotoku ialah Undang-Undang Dasar Tujuh Belas Pasal atau Juushichi Jou no Kenpou yang diumumkan pada tahun 604. Dokumen itu dibuka dengan kutipan ajaran Konfusianisme yang berbunyi “Harmoni harus dihargai” dan menghormati “tiga barang berharga” yakni agama Buddha, hukum Buddha, dan biksu Buddha (Beasley, 2003, hlm. 25). 

Karya sastra pada masa Buddha berjaya banyak diadaptasi dari Tiongkok sehingga orang Jepang menggunakan huruf dari Tiongkok yang disebut kanji sebagai aksara mereka untuk menulis berbagai karya sastra. Pada zaman Nara, tulisan Cina muncul dari buku asli pertama yang diproduksi di Jepang yaitu Kojiki (712) dan Nihon Shoki (720), dimana kedua buku tersebut memuat sejarah mengenai Jepang dari sejarah mitologi hingga pada zaman Nara (Kenshall, 1999, hlm. 20). Bangsawan Jepang pada saat itu mulai mengikuti hal yang dilakukan oleh bangsawan Tiongkok yakni menulis syair. Pada tahun 751, terbit kumpulan sajak berhabasa Tiongkok berjudul Kaifusou yang berisi tema-tema “serius” seperti agama Buddha dan filsafat atau sajak-sajak ria mengenai jamuan makan dan acara-acara bangsawan lainnya. Selain itu, ada sajak antologi berbahasa Jepang pertama dan terkenal yakni Manyoushu yang berisi 4500 sajak yang terbit dari abad ke-7 M hingga awal abad ke-8 M (Beasley, 2003, hlm. 66).

Agama Buddha turut berpengaruh pada perkembangan seni di Jepang. Karya seni seperti patung dan arca Buddha memiliki gaya yang mirip dengan Tiongkok dan Korea karena pada awal kedatangan agama Buddha, biksu maupun ahli patung dan arca Buddha didatangkan dari luar Jepang. Lukisan pun bercirikan gaya Buddha yang kebanyakan menceritakan kisah Buddha, para dewa-dewi agama Buddha, maupun mandala Buddha.

Dari Nara ke Heian-kyo

Dikarenakan kuatnya Buddha dan sulitnya menjalankan pemerintahan duniawi di Nara, pada tahun 784 M, Kaisar Kanmu memutuskan bahwa diperlukan sebuah kota yang “bebas pendeta” (Leonard, 1985, hlm. 20). Bersama dengan keluarga Fujiwara, kaisar melakukan pemindahan ibukota ke Nagaoka yang cukup dekat dengan Nara, tetapi bagi ia kota itu tidak cocok dijadikan sebagai ibukota sehingga pindah ke wilayah yang dinamakan Heian-kyo yang sekarang dikenal sebagai dengan Kyoto. Dinamakan 
Heian-kyo karena ibukota baru disusun berbentuk persegi menurut gaya Tiongkok. Nama yang digunakan berarti “ibukota kedamaian dan ketenangan”. Pemindahan ibukota ini menjadi era Buddha mulai memudar dan berganti menuju zaman baru di Jepang.

Baca Juga :   JUGUN IANFU : Perbudakan Seksual Terhadap Perempuan Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang Tahun 1942-1945

Daftar Pustaka

Beasley, W.G. (2003). Pengalaman Jepang: Sejarah Singkat Jepang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Henshall, K.G. (1999). A History of Japan: From Stone Age to Superpower. New York: St. Martin’s Press.

Leonard, J.N. (1983). Abad Besar Manusia: Jepang Purba. Jakarta: PT Tira Pustaka.Rostineu. dkk. (2019). Pengantar Sejarah Korea. Bandung: UPI Press.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts