Yap Thiam Hien

Kerja keras, tegas dan jujur adalah kekayaannya sebagai pengacara. Namun, disisi lain pria kelahiran  Peunayong, Kutaraja (sekarang Banda Aceh), 25 Mei 1913 itu juga harus menerima kenyataan bahwa ia adalah minoritas dalam satkajanapriya nya: China, Kristen, Jujur, Adil, dan Kebenaran, bahkan merupakan oposan sejati sejak zaman kolonial, orde lama hingga orde baru. 

Oleh: Arif Nikolas Takaeb

Sosok yang kemudian menjadi ikon bagi para aktivis pro-demokrasi, khususnya HAM tersebut merupakan anak pertama dari Yap Sin Eng dan Hoan Tjing Nio. Yap memiliki dua orang adik yaitu Yap Thiam Bong (laki-laki) dan Yap Thiam Lian (Perempuan). Keluarga Yap (lebih tepatnya leluhurnya) tergolong keluarga yang sangat berpengaruh, setidaknya sampai awal tahun 1910-an. Hal bukan hanya karena buyutnya, Yap A Sin yang berpangkat letnan pada masa Hindia Belanda, tetapi juga karena “Kerajaan Bisnis” yang berhasil dibangun dari monopoli perdagangan opium yang diberikan Belanda. 

Nasib naas bagi Yap karena tidak sempat menikmati kekayaan tersebut. Keluarga Yap mengalami kemerosotan bahkan kebangkrutan ekonomi akibat pencabutan hak istimewa pejabat lokal keturunan Tionghoa oleh Belanda pada masa itu. Nasib naas yang menimpa Yap tidak berhenti sampai disitu karena ditengah himpitan ekonomi, pada tahun 1922 ibu Yap meninggal dunia sehingga ia beserta kedua adiknya harus diasuh oleh Sato Nakashima.

Habis gelap, terbitlah terang. Mungkin kalimat yang dijadikan judul terhadap kumpulan surat R.A. Kartini itu juga sangat tepat bila sematkan kepada sosok yang kemudian dikenal sebagai “Sang Pendekar Keadilan”. Setelah situasi sulit yang ada, Yap bisa dibilang beruntung karena masuk ke Europeesche Lagere School (ELS). Hal ini tidak terlepas dari status keluarganya yang merupakan anggota Kong Koan (Dewan Tionghoa). Setelah berhasil menamatkan sekolah pada tahun 1926, Yap melanjutkan pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Cerita pahit masa lalunya, ternyata tidak meruntuhkan kegigihannya untuk terus mengembangkan diri. Di MULO, ia mulai belajar berbagai jenis bahasa, yaitu Bahasa Belanda, Prancis, Inggris dan Jerman. Hasil akademik yang diperoleh Yap untuk semua pelajaran pun sangat baik sehingga menjadi modal untuk melanjutkan studinya ke Algemene Middelbare School (Setara SMA) pada tahun 1930 di Bandung pada jurusan sastra. Pada tahun 1933 ia lulus dari AMS A di Yogyakarta (hanya setahun di AMS Bandung) dengan tambahan penguasaan terhadap satu bahasa asing lagi, yaitu bahasa Latin sehingga menjadikan sosok Yap muda menjadi “ahli bahasa asing”.

Dengan kemampuan bahasa Belanda yang dimiliki, Yap tidak memiliki kesulitan yang berarti untuk mempelajari dan  memahami literatur hukum di negara kincir angin tersebut, tepatnya di Universitas Leiden dan berhasil meraih gelar Meester in de Rechten. Tiga tahun setelah Indonesia merdeka, Yap kembali ke tanah air dan memulai perjalanan karirnya. Gebrakan pertamanya adalah dengan mendirikan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia pada tahun 1954, bahkan mewakili etnis Tionghoa untuk Partai Kristen Indonesia dalam Dewan Konstituante. Masih banyak gebrakan yang dilakukan, seperti ikut andil dalam Peradin, Lembaga Pembela HAM hingga LBH pada kurun waktu 1964 hingga 1970.

 Dengan  gelar Meester in de Rechten yang dimiliki, Yap seharusnya bisa kaya dan sejahtera bersama sang istri tercinta, Tan Gien Khing Nio dan kedua anak mereka yaitu Yap Hong Gie dan Yap Hong Aij. Sebagai catatan tambahan, ia juga digelari Doctor Honoris Causa bidang ilmu hukum di Vrije Universiteit, Belanda pada 11 Januari 1980. Akan tetapi, sosok yang juga setia dalam pelayanan di gereja itu memilih untuk melakukan hal yang tidak biasa dilakukan oleh para pengacara di masanya. Selama menjadi pengacara, “Kebenaran dan bukan sekadar kemenangan” menjadi prinsip utama dari sosok yang pernah memenangkan The William J. Brennan Human Rights Award dari Rutgers School of Law-Camden Amerika Serikat itu adalah “Kebenaran dan bukan sekadar kemenangan”. Prinsip yang kini “dibunuh” oleh para advokat yang hanya mengedepankan skill kepengacaraannya tetapi miskin soal nilai kehidupan. 

Baca Juga :   Belajar Mengembangkan Talenta Seperti Michelangelo

Walaupun secara fisik, ia sudah berhenti dari perjuangannya pada 25 April 1989 di rumah sakit St Agustinus, Brussel, Belgia tetapi keberpihakannya pada “kumpulan yang tertindas” tidak akan rapuh dari ingatan. Dan semoga kekonsistenannya dalam mengemban profesi advokat selama 30 tahun bisa menginspirasi Yap-Yap muda di tengah-tengah generasi metaverse yang laleyan dengan budaya bangsanya sendiri.

Sumber: 

Tim Tempo, (2013). Seri Tempo: Yap Thiam Hien. Jakarta: KPG

Aning, S. F., (2007). 100 TOKOH YANG MENGUBAH INDONESIA : Biografi Singkat Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di Abad 20. Yogyakarta: Narasi

Tim Tempo, (2013). Seri TEMPO: Pergulatan Demokrasi Liberal 1950-1959. Jakarta: KPG

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts