Wayang Potehi; Budaya Tionghoa-Jawa dalam Sejarah Kesenian Indonesia dari Masa Kolonial-Sekarang

Orang-orang etnis Tionghoa mulai berdatangan ke Indonesia sejak zaman kerajaan. Mereka datang ketika Dinasti Ming jatuh ke tangan Dinasti Manchu pada abad ke 17 M. Kedatangan etnis Tionghoa membawa kebudayaan dan adat istiadat yang sangat kental yang akhirnya berakulturasi dengan budaya Indonesia. Salah satu kebudayaan Tionghoa yang telah berakulturasi dengan budaya Indonesia adalah kesenian Wayang Potehi. Wayang Potehi memiliki kesamaan dengan Wayang Golek yaitu terbuat dari kayu. Hanya bagian kepala, kaki, dan tangan saja terbuat dari kayu. Sedangkan untuk bagian badannya terbuat dari kain yang berupa kantong. Cara memainkan wayang ini adalah dengan memasukkan tangan ke dalam kantong kain tersebut dan digerak-gerakkan menggunakan kelima jari.

Oleh: Tamya Purnama Putrie

Wayang Potehi sudah ada sekitar 3000 tahun yang lalu  pada masa Dinasti Jin (265 sampai 420 M). Kesenian ini lalu berkembang pada masa Dinasti Song (960 sampai 1279M) (Lombard, 2008). Kata Potehi berasal dari kata poo (kain), tay (kantong), hie (wayang), yang secara lengkap berarti wayang boneka yang dibentuk menyerupai kantong (Rhomadoni, 2015). Selain itu, kesenian wayang ini dikenal pula dengan sebutan budaixi yang berarti kantong atau selubung (Lombard, 2008).Wayang ini memiliki tinggi sekitar 30 cm dan memiliki mimik wajah serta warna kulit yang berbeda-beda sesuai dengan karakternya. Wayang Potehi digunakan sebagai media pementasan ketika memperingati hari khusus di klenteng sebagai wujud ungkapan syukur atas kesuksesan yang telah diraih oleh seseorang (Widyaratna & Olvia, 2020, 4). Pertunjukan ini diperuntukan bagi kepentingan ritual kepada dewa dan leluhur sehingga dimainkan tanpa adanya penonton. Wayang ini dimainkan oleh dua orang dengan cara memasukkan jari ke dalam badan kantong. Satu orang menjadi dalang inti yang membawakan lakon wayang, sedangkan satunya lagi menjadi pembantu dalang inti.

Wayang Potehi (Sumber: inisurabaya.com)

Wayang Potehi lahir pertama kali di provinsi Hokkian dengan lakon-lakon yang dimainkan seperti  Sin Jin Kwe, Hong Kiam Cun Ciu, Cun Hun Cauw Kok, Poei Sie Giok, dan Loo Thong Sauw Pak (Mastuti, 2004). Kisah-kisah yang diceritakan dalam pertunjukkan Wayang Potehi menggunakan bahasa Hokkian. Kemudian, bagi yang bermain musik hanya terdiri dari tiga orang yang masing-masing biasanya akan memainkan dua atau tiga alat musik. Alat musik tersebut berupa rebab (Hian Na), suling (Bien Siauw), gendang (Tong Ko), gembreng besar (Toa Loo), gembreng kecil (Siaw Loo), kayu (Piak Ko), dan slompret (Thua Jwee) (Mastuti, 2004). Durasi waktu pementasan biasanya pada sore hari sekitar pukul tiga sore sampai pukul tujuh atau sembilan malam (Mastuti, 2004). Dalam durasi waktu ini biasanya mampu melibatkan sebanyak 20-25 wayang di setiap adegan. Meskipun dalam pementasannya tidak dilihat oleh orang lain, tetapi tetap membutuhkan panggung. Sang dalang tidak perlu juga memakai pakaian khusus, bahkan hanya menggunakan kaos biasa pun tidak masalah.

Menurut cerita atau tradisi lisan yang beredar dari zaman Dinasti Tang, Wayang Potehi pertama kali diciptakan oleh lima orang narapidana yang akan dijatuhi hukuman mati pada masa dinasti Tsang Tian (Mastuti, 2004). Pembuatan Wayang Potehi ini muncul dari ide salah satu narapidana yang kemudian mengajak teman-teman narapidananya agar memanfaatkan waktu untuk bersenang-senang daripada bersedih hati memikirkan waktu eksekusi mati. Setelah Wayang Potehi ini selesai dibuat, ciptaan mereka kemudian didengar oleh sang raja. Kelima orang narapidana diundang raja untuk memainkan wayang hasil karya ciptaan mereka. Cerita yang dibawakan pada saat itu mengisahkan tentang kehebatan sang raja. Setelah selesai memberikan pertunjukan raja pun merasa terhibur, dan mereka dibebaskan dari vonis mati.

Baca Juga :   Historicism Architecture: Gapura Sebagai Bangunan Sakral Sarat Akan Makna Filosofis

Seiring dengan perkembangan zaman, Wayang Potehi dipentaskan untuk kepentingan hiburan. Seperti pada pertunjukan wayang pada umumnya, Wayang Potehi juga menyimpan nilai-nilai moral hidup yang bisa dipetik. Seiring berjalannya waktu, Wayang Potehi kemudian dimainkan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Hokkian.

Wayang Potehi Versi Klasik VS Versi Kontemporer

Dalam versi klasik biasanya pementasan wayang menghabiskan waktu sekitar dua minggu bahkan sampai sebulan dengan lakon cerita yang dibawakan oleh dalang. Pada versi ini cerita yang dibawakan tentang legenda Kerajaan Tionghoa dengan beberapa episode. Berbeda lagi dengan versi kontemporer, pertunjukan hanya akan ditampilkan dengan durasi singkat yaitu satu sampai dua jam saja. Meskipun memiliki perbedaan durasi, tetap tidak ada pengurangan nilai penting dalam isi cerita yang dibawakan. Wayang Potehi versi klasik biasanya ditampilkan di klenteng-klenteng ketika ada hari raya dan berfungsi sebagai penghormatan arwah leluhur dan ungkapan rasa syukur. Sedangkan versi kontemporer cenderung hanya berfungsi sebagai hiburan semata  Biasanya diselipkan kata-kata maupun senandung berbahasa Jawa dan alat musik perpaduan antara alat musik tradisional Tionghoa dan alat musik modern.

Ketika melakukan pentas, dalang harus melakukan sebuah ritual menyediakan darah ayam segar yang kemudian dioleskan di setiap tiang panggung pementasan. Tujuannya adalah untuk menangkal roh-roh jahat yang muncul selama pertunjukkan berlangsung. Dalam ritual ini juga disiapkan sesajen sam sing (tiga macam) yang terdiri dari buah-buahan berjumlah tiga macam. Selain itu, disiapkan juga sesajen berupa makanan lima macam yang disebut ngo sing (lima macam). Selain itu, sebelum melakukan pementasan dan menampilkan cerita yang dibawakannya, perlu dikomunikasikan atau ditanyakan terlebih dahulu kepada sang Dewa. Caranya dengan menyebutkan judul cerita yang hendak dibawakan dan melempar dua buah setelah sembahyang. Apabila kayu yang dilempar posisi terbuka tandanya dewa tersenyum, sedangkan jika posisi terbuka dan tertutup dewa memperbolehkan cerita tersebut dibawakan. Selain itu, apabila posisi keduanya tertutup tandanya dewa tidak menyetujui cerita tersebut dibawakan (Mastuti, 2004).

Panggung Kesenian Wayang Potehi (sumber: seputarsemarang.com)

Wayang Potehi dari Masa Orde Lama-Sekarang

Pertunjukan seni Wayang Potehi juga banyak dipentaskan pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Tidak hanya Wayang Potehi yang banyak tampil pada masa itu, tetapi juga banyak pertunjukan-pertunjukan lain seperti barongsai, opera keliling, dan lain-lain. Diketahui bahwa pertunjukan Wayang Potehi pernah diadakan pada tahun 1931 di Bandung dan tahun 1935 di Solok, Sumatera Barat (Maskurin, 2014). Pada era kepemimpinan Presiden Soekarno, pertunjukan seni ini bebas tampil, tetapi pada saat itu biasanya masih digelar di klenteng-klenteng saja. Apapun yang berkaitan dengan etnis Tionghoa tidak ada pelarangan baik dalam kebudayaan maupun adat istiadatnya karena Presiden Soekarno saat itu memiliki kesadaran bahwa Indonesia adalah bangsa yang memiliki keragaman etnis juga budayanya. Terhitung sejak tahun 1943-1967, seni pertunjukan Wayang Potehi ini mampu berjalan dengan lancar tanpa larangan dan rutin diadakan di klenteng (Maskurin, 2014). Masyarakat pribumi memiliki jasa dalam mengembangkan seni pertunjukan ini. Dalang dalam pertunjukan ternyata tidak hanya dari orang Tionghoa itu sendiri, tetapi juga orang pribumi khususnya Jawa.

Pada masa Orde Lama, asimilasi masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia berkembang. Pada tahun 1960, asimilasi kebudayaan ini bersifat wajar yang tidak ada unsur paksaan dalam pembuatannya (Rhomadoni, 2015, 97) Namun, hal ini berbanding terbalik pada masa Orde baru yang mana segala sesuatu yang berhubungan dengan etnis Tionghoa sangat dilarang. Berbagai kebudayaan dan ritual adat dilarang ditampilkan secara umum. Masyarakat  diperintahkan untuk melaksanakan dan mematuhi kebijakan-kebijakan politik yang bersifat diskriminatif dan mengisolasikan masyarakat etnis Tionghoa (Rhomadoni, 2015, 97). Orang-orang Tionghoa pada masa ini sangat mendapatkan stigma yang buruk di mata pemerintahan. Salah satunya yang terkena dampak yaitu Wayang Potehi.

Baca Juga :   Pangeran Mangkubumi: Sebuah Konflik dan Kontestasi Politik

Semenjak terjadinya peristiwa Gerakan 30 September (G30S/PKI), pemerintah sangat sensitif dengan masyarakat etnis Tionghoa. Kesenian masyarakat Tionghoa tidak boleh ditampilkan dan dikonsumsi masyarakat luas. Apabila ingin menggelar acara perayaan hari-hari keagamaannya, mereka hanya boleh berada di lingkup klenteng saja. Seperti dilarangnya pertunjukan wayang potehi di Klenteng Eng An Kiong Malang pada tahun 1970 karena cerita yang dibawakannya mengandung unsur-unsur politik (Suwanto & Kurniawan, 2017, 21) Tidak hanya dalam bidang kesenian, sejumlah sekolah berbahasa Tionghoa ditutup dan dilarang mempelajari aksara serta bahasa Tionghoa. Tidak hanya itu saja orang-orang etnis Tionghoa juga harus memakai nama Indonesia. Tujuan mengganti nama adalah sebagai tanda kesetiaan orang-orang Tionghoa kepada bangsa Indonesia.

Setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru, masyarakat etnis Tionghoa mulai mendapat tempat dalam pluralisme bangsa Indonesia. Awalnya mereka yang dibenci, dilarang segala kegiatan ritual keagamaannya, dilarang menampilkan budaya dan keseniannya, mulai menata kehidupan yang baru. Hal ini ditandai dengan adanya pencabutan Inpres No.14 tahun 1967 oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur). Dampaknya, pementasan kesenian Wayang Potehi yang awalnya hanya boleh di klenteng saja dengan tujuan sebagai ritual keagamaan, menjadi diperbolehkan pentas di tempat-tempat umum untuk dikonsumsi oleh masyarakat luas (Widyaratna & Olvia, 2020, 6) Pada masa sekarang, Wayang Potehi dapat dijumpai pada saat hari-hari perayaan masyarakat Tionghoa seperti imlek. Ketika imlek tiba, banyak kesenian khas Tionghoa yang ditampilkan seperti Liong, Barongsai, dan juga Wayang Potehi. Pada tahun 2013 muncul tiga kelompok Wayang Potehi yaitu ada Hok Hok An atau Fu He An dari Gudo dan pada tahun 2005 muncul kelompok Lima Merpati dari Surabaya, serta kelompok Tulungagung (Suwanto & Kurniawan, 2017, 22)

Meskipun Wayang Potehi telah terbebas dari belenggu Orde Baru selama 32 tahun, tetapi Wayang Potehi tidak memiliki kepopuleran yang sebanding dengan Barongsai maupun Long-liong. Wayang Potehi kurang diketahui oleh masyarakat luas terutama anak-anak generasi milenial sebab sudah tidak banyak yang menjadi dalang dalam seni pertunjukan ini. Meskipun berbagai kebudayaan etnis Tionghoa sudah mampu berekspresi kembali, perkembangan zaman tidaklah mengubah minat masyarakat terhadap Wayang Potehi ini. Zaman yang sudah berubah mengubah selera masyarakat bahkan orang-orang Tionghoa itu. Hal ini pun menjadi sedikit kendala untuk mengangkat kembali eksistensi Wayang Potehi.

DAFTAR PUSTAKA

Lombard, D. (2008). Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Terpadu. Gramedia Pustaka utama.

Maskurin, S. (2014). Perkembangan Wayang Potehi di Surabaya Tahun 1967-2001. Jurnal Avatara, 2(3), 1-6.

Rhomadoni, H. F. (2015). Asimilasi Budaya Tionghoa dan Budaya Jawa di Surakarta Pada Tahun 1966-1998 dan Relevansi Bagi Pendidikan Multikultural. Jurnal Candi, 12(2), 31-53.

Suwanto, Y., & Kurniawan, B. (2017). Pelestarian Seni Pertunjukan Wayang Potehi di Jawa Timur. Jurnal Century, 5(1), 18-27.

Widyaratna, T., & Olvia. (2020). Proses Perkembangan Wayang Potehi dari Asli ke Kreasi di Gudo. Jurnal Century, 8(1), 76-89.

Mastuti, Dwi Woro R. (2004). Wayang Cina di Jawa Sebagai Wujud Akulturasi Budaya dan Perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Makalah (tidak diterbitkan) Seminar Naskah Kuno Nusantara bertema Naskah Kuno Sebagai Perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jakarta

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts