Tragedi Pembantaian Santa Cruz 1991 di Timor Leste

Militer Indonesia memiliki kisah terburuk dalam sepanjang sejarah kiprahnya dalam menjaga keutuhan NKRI, kisah tersebut yaitu pembantaian Santa Cruz pada tahun 1991.

Oleh Jonathan Manurung 

Peristiwa tragedi di Santa Cruz terjadi pada tanggal 12 November 1991 di Dili, Timor Leste. Awal mula terjadinya peristiwa tersebut dimulai pada bulan Oktober 1991. Ketika itu sebuah delegasi parlemen dari Portugal dan diikuti 12 jurnalis internasional berniat untuk mengunjungi Timor Leste, hal tersebut disambut meriah oleh masyarakat Timor Leste dalam memperjuangkan kemerdekaannya. Namun kedatangan Portugal sendiri ditolak oleh pemerintah Indonesia karena keberatan apabila kunjungan mereka disertai dengan jurnalis, sehingga delegasi Portugal memutuskan untuk membatalkan kunjungan ke Timor Leste. 

Pembatalan ini membuat kekecewaan bagi mahasiswa pro kemerdekaan yang bertujuan untuk memperjuangkan hak mereka dalam meraih kemerdekaan di Timor Leste, sehingga akibat kekecewaan ini menimbulkan situasi panas antara para mahasiswa dengan pihak pemerintahan Indonesia. Situasi tersebut tiba pada puncaknya tanggal 28 Oktober 1991 yang saat itu terjadi konfrontasi antara pihak pro kemerdekaan dan pro integrasi saat melakukan pertemuan di halaman gereja Motael Dili. Peristiwa tersebut menimbulkan korban tewas dari pihak pro integrasi yaitu Afonso Henriques sedangkan dari pihak pro kemerdekaan yaitu Sebastiao Gomes yang tewas ditembak mati oleh tentara Indonesia. 

Tiba pada tanggal 12 November 1991 tepatnya pukul 07.00 waktu setempat, ratusan masyarakat Timor Leste mengikuti misa arwah untuk memperingati kematian aktivis pro kemerdekaan, Sebastiao Gomes di gereja Motael Dili. Ketika misa usai dilaksanakan, sekitar lima ratusan orang keluar dengan membentangkan spanduk bergambar Xanana Gusmao, seorang pemimpin gerakan pro kemerdekaan Timor Leste. Mereka berjalan sejauh 4 km menuju TPU Santa Cruz sembari meneriakkan jargon mereka. Sesampainya di TPU, tentara Indonesia telah bersiaga yang terdiri dari pasukan Kompi A Brimob 5485, Kompi A dan Kompi D Batalion 303, dan beberapa kompi campuran dengan memakai baju selayaknya preman. Saat itulah melihat rekaman video yang dilakukan jurnalis Inggris Max Stahl, suasana berubah menjadi kacau. Tentara Indonesia berhadapan dengan para demonstran dan mulai menyerang pengunjuk rasa. Stahl sendiri mengakui melihat mayor dari tentara Indonesia, Geerhan Lantara sedang menyerang pengunjuk, termasuk seorang perempuan yang saat itu mengibarkan bendera Timor Leste. Selain itu, beberapa aktivis Fretilin juga mengakui sempat dipukuli oleh tentara dan polisi Indonesia. Saat iringan masyarakat memasuki areal pemakaman, beberapa dari mereka terus berunjuk rasa di depan pagar dan berhadapan dengan 200 tentara sambil mengarahkan senjata menuju demonstran tersebut. Lalu sirine dibunyikan dan diiringi dengan penembakan yang dilakukan oleh tentara Indonesia ke arah ratusan orang tersebut, banyak masyarakat berlarian hingga sembunyi di antara nisan-nisan TPU Santa Cruz. Dari beberapa kesaksian orang yang terlibat dalam peristiwa tersebut, mereka melihat tentara Indonesia menembak massa dengan berondongan senapan mesin otomatis selama beberapa menit, dari peristiwa tersebut telah menimbulkan korban sebanyak 250 warga Timor Leste yang tewas. 

Peristiwa ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat, Amy Goodman dan Allan Nairn, dan direkam diam-diam oleh Max Stahl lalu dipublikasikan pada Yorkshire Television di Inggris. Saat Stahl sedang merekam, kedua jurnalis Amerika Serikat berusaha untuk melindungi warga Timor dengan berdiri di antara mereka dan tentara Indonesia. Namun mereka berdua dipukul oleh tentara Indonesia dengan senapan hingga tulang tengkorak Nairn mengalami retak. Akan tetapi, para juru kamera berhasil mengamankan video dan diselundupkan ke Australia. Mereka memberikannya kepada wartawan Belanda, Saskia Kouwenberg untuk menghindari pemeriksaan dan penyitaan dari pihak Australia yang sebelumnya sudah berkoordinasi dengan pihak Indonesia untuk melakukan penggeledahan terhadap jurnalis ketika tiba di Darwin. Video tersebut pada akhirnya ditayangkan pada sebuah film dokumenter di Inggris pada tahun 1992, kemudian disusul beberapa kesaksian dari jurnalis yang terlibat pada peristiwa tersebut sehingga memicu respons keras dari dunia saat itu.

Pemerintah Indonesia menganggap bahwa peristiwa tersebut hanya reaksi spontan atas kekerasan yang dilakukan oleh demonstran. Beberapa pihak membantah pernyataan tersebut dengan alasan bahwa tentara Indonesia terbukti melakukan kekerasan di berbagai tempat selain Dili, tetapi politikus dan perwira Indonesia menganggap tindakan dari tentara Indonesia tersebut sudah benar karena sebagai reaksi dalam menghadapi pengunjuk rasa yang semakin brutal sehingga dengan tembakan akan dapat meredam aksi dari pengunjuk rasa tersebut. 

Rekaman peristiwa tersebut telah ditayangkan di seluruh dunia sehingga membuat Indonesia dipermalukan karena hal itu. Dari rekaman itu dunia mulai memberi rasa simpati terhadap aktivis Timor Leste dalam memperjuangkan kemerdekaan mereka, dan seluruh kalangan mengecam atas tindakan yang telah dilakukan oleh tentara Indonesia yang terjadi TPU Santa Cruz itu. Masyarakat Portugal menyesali atas tindakan pemerintahnya dalam meninggalkan koloni mereka yaitu Timor Leste pada tahun 1975, mereka terharu terhadap siaran yang menampilkan masyarakat setempat berdoa dan berseru-seru dengan bahasa Portugis. Demikian juga, masyarakat Australia yang merasa malu terhadap pemerintahnya untuk mendukung rezim Suharto dalam pendudukan terhadap Timor Leste, mereka menganggap hal tersebut merupakan pengkhianatan terhadap Timor Leste karena sebelumnya kedua negara tersebut berjuang bersama dalam melawan Jepang pada Perang Dunia II. 

Peristiwa ini membuat Portugal untuk menggencarkan diplomasinya. Portugal mengajak negara-negara Eropa untuk memberi tekanan kepada Indonesia, namun upayanya gagal karena Inggris saat itu memiliki hubungan perekonomian yang erat dengan Indonesia dalam keterlibatan penjualan senjata. Masyarakat Australia juga mengkritik atas pemerintahnya yang mengakui pendudukan Indonesia atas Timor Leste karena pemerintah Australia memiliki kerjasama militer dengan Indonesia. Pada tahun 1999, Australia memutuskan hubungannya dengan Indonesia akibat peristiwa kekerasan yang dilakukan tentara Indonesia setelah referendum Timor Leste saat itu. Pemberitaan mengenai peristiwa ini membuktikan bagaimana semakin pesatnya perkembangan media dan teknologi komunikasi baru di Indonesia yang membuat rezim Orde Baru menjadi kesulitan dalam mengendalikan akan keluar masuknya informasi bagi Indonesia. Salinan rekaman pembantaian tersebut ditayangkan kembali di Indonesia agar masyarakat dapat mengetahui tindakan pemerintahnya yang selama ini selalu ditutup-tutupi. Dengan adanya informasi tersebut membuat beberapa kelompok mahasiswa pro demokrasi dan pers mahasiswa mulai berani untuk membahas Timor Leste, namun mereka juga mengkritik terhadap rezim Orde Baru dan masa depan Indonesia secara keseluruhan. Saat ini peristiwa tersebut diperingati sebagai Hari Pemuda oleh masyarakat Timor Leste pada setiap tanggal 12 November. Tragedi ini selalu dikenang oleh seluruh masyarakat Timor Leste sebagai masa lalu yang kelam bagi sejarah mereka dan tidak akan mudah terlupakan. 

Daftar Referensi

Departemen Luar Negeri RI.(1982),Timor-Timur dari Alam Penjajah Ke Alam Kemerdekaan. Jakarta: DEPLU RI. 

Imran, Amrin. (1983). Timor Timur Provinsi Ke-27 Republik Indonesia. Jakarta: Mutiara.

Syahnakri, Kiki. (2013). Timor Timur The Untold Stories. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Singh, Bilveer. (1998). Timor-Timur,Indonesia Dan Dunia: Mitos Dan Kenyataan. Jakarta: PT Citra Kharisma Bunda.

Baca Juga :   Malaka: Sebuah Selat Niaga & Jaringan Perdagangan Abad XVI

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

(1) Komentar

  1. Saya merespon tulisan ini, serupa pada video di Youtube…

    Salam untuk Admin Narasi Sejarah

    Untuk Semuanya….

    1. Saya sudah membaca tulisan ini sampai habis.
    2. Saya baca karena terpicu gambar judulnya, dan yang terpikirkan ialah kisah yang beda disajikan. Ternyata tidak.
    3. Tulisan ini, saya kira, mengutip sumber luar negeri, seperti dengan menyebut jumlah korban 250 warga TEWAS.
    4. Penyebutan itu terasa “renyah” saat awal perang dingin berakhir, dan ketika rezim Orba berkuasa sebagai simbol kritik dan terkesan “menyudutkan”, namun yang banyak dilupakan, bahwa rasa “renyah” itu kemudian “lestari” dan itu tak hanya melekat di Orde Baru, akan tetapi Indonesia.
    5. Saya sebagai WNI merasa ada yang harus diberitahu bahwa masa lalu tidak selalu benar, dan layak guna mengangkat ini “no taken for granted” – jangan terima begitu saja.
    6. Dalam laporan resmi gereja di Timtim pasca tragedy Santa Cruz, Dili, tidak disebut korban tewas hingga 200-an. Banyak kalangan mempertanyakan jumlah tersebut. Saya pernah menanyakan langsung ke aktivis yang ikut dalam peristiwa itu, dan dia tak mampu membuktikannya.
    7. Sampai hari ini, tidak ada penelitian yang diterbitkan dalam buku khusus ttg tragedy Santa Cruz (bahasa Indonesia atau Inggris) untuk memastikan korban sejumlah itu karena kekerasan ABRI. Tak ada yang menulis ttg siapa mereka (korban), nama, alamat, foto, jumlah, nama organisasi, peran, dan seterusnya. Oya, kisah itu kejadiannya th 1991, namun kejadian beberapa tahun sebelumnya yang “serupa” di Tanjung Priok dan Lampung juga DOM Aceh th 1980-an, data2nya cukup jelas, ada…foto, nama, alamat, dan identitas lainnya. Kasus Santa Cruz ??.
    8. Sejak 2010-an, sudah banyak buku berbahasa Indonesia ttg sejarah Timtim, dan itu dari pelaku dan saksi. Saya menyebut sebagai usaha untuk meluruskan opini yang berkembang dan seringkali menyudutkan Indonesia, bukan hanya ABRI padahal Perang Dingin sudah usai. Fakta baru bertebaran. Sejak itu ada semacam “gerakan kesadaran” tidak ingin lagi menempatkan “Indonesia terduduk dan terpojok dikancah internasional” seperti saat sesuah tragedy 1991 dan referendum 1999.
    9. Jika saja penulis mau baca lebih, maka kisah/analisa akan terlihat lebih berimbang sekaligus mendidik. Harus saya nyatakan, tulisan ini cenderung menyalahkan dan menyudutkan Indonesia.
    10. Indonesia, ada yang menyebutnya pernah berbuat salah di Timtim/Timles, namun “kabut hitam pekat” seharusnya) tak melulu disematkan ke Indonesia, terlebih senyatanya bahwa kasus Timtim tidak berdiri sendiri. Saya mendapat fakta bahwa tragedy Santa Cruz tidak alami, akan tetapi rekayasa, ada yang bermain, dan membonceng. Oleh oknum tertentu, tragedy ini terus dilestarikan hingga kini tanpa ada semangat untuk “memeriksa kembali” secara ilmiah, misalnya.
    11. Oleh karenanya, cerita Tragedy Santa Cruz ini sebuah fakta sejarah atau propaganda ?
    12. Lalu, jika saja, saya pemilik web ini, maka saya akan mengajak pembaca dimanjakan dengan ragam data dan sudut pandang. Usaha mencerdaskan yang lebih adil harusnya menjadi target yang utama.
    13. Sebagai penutup, di luar itu semua, saya ingin memberikan apresiasi atas tulisan ini, sehingga memacu saya untuk bekomentar.

    Salam Penyuka Sejarah Timor Timur
    @timtimtimfiles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts