Thomas Hobbes; Bernegara Melalui Leviathan

Thomas Hobbes adalah seorang filsuf berkebangsaan Inggris yang fokus kajian filsafatnya berbasis pada keilmuan sosial politik terutama pemerintahan. Pada tahun 1651, Hobbes menerbitkan pemikiran besarnya dalam buku berjudul Leviathan. Tulisan ini akan menguraikan pemikiran Hobbes yang ia tuangkan dalam bukunya, Leviathan.

Oleh Abrar Rizq Ramadhan

Thomas Hobbes lahir di Malmesbury, Inggris pada tanggal 5 April 1588, Hobbes banyak terinspirasi dari realitas sosialnya selama hidup di Inggris maupun ketika berpindah-pindah ke penjuru Eropa Barat. Dirinya sangat terinspirasi oleh ajaran Galileo Galilei dan Johannes Kepler soal astronomi dan rasionalisme membentuk pemikiran moderatnya terkesan radikal atau memaksa. Pada tahun 1651, tahun yang sama ketika Perang Sipil Inggris berakhir, Hobbes menerbitkan pemikiran besarnya dalam buku berjudul Leviathan. Buku ini menjadi dasar konsep berpikir Thomas Hobbes dan teorinya soal individualisme serta moderatisme dalam bernegara. Terdapat beberapa bab di dalam buku Leviathan yang merepresentasikan masing-masing pemikiran Hobbes, mulai dari rasionalisme, materialisme, hingga logika politik. Tiap-tiap representasi akan ditafsirkan melalui paradigma pribadi. 

Konsep Individu dan Perang Umat Manusia

Sebelum menyelam lebih dalam soal konsep politik Hobbes, maka tahap awal yang harus dipelajari adalah konsep Hobbes soal individu dalam filsafat umum. Tentunya, pemikiran Hobbes soal politik dan negara sangat berkaitan dengan konsep individualnya yang akan berkesinambungan  dengan lingkungan sosial termasuk hubungannya dengan pemerintahan. 

Konsep individu Hobbes dimulai dengan kata “Perasaan”. Perasaan menurutnya disebabkan oleh tekanan objek-objek seperti bunyi dan warna. Sementara sifat dalam objek yang berkaitan dengan perasaan akan menimbulkan gerakan dan memicu hukum gerak pertama. Gaya berpikirnya soal individu dan gerakan diterapkan dalam ilmu psikologi soal imajinasi, yang menyebut bahwa imajinasi dan indera adalah bentuk gerakan. Sebaliknya, imajinasi akan berbentuk mimpi jika manusia tengah tertidur. Dalam determinisme psikologi, ide Hobbes soal pikiran juga diterapkan, yang menyebut bahwa pikiran manusia bisa muncul dan berubah bukan tanpa kejadian yang sewenang-wenang, akan tetapi oleh dalil-dalil asosiasi dan yang bergantung pada tujuan pikiran. 

Bahasa, menurut Hobbes, merupakan sarana dalam memahami definisi-definisi. Tanpa bahasa, yang berujung pada nama dan kata-kata, konsep benar dan salah tidak akan hadir di dunia ini, karena benar dan salah merupakan sifat kata-kata. Sementara ilmu pengetahuan di dunia berawal dari definisi. Namun, konsep soal definisi sendiri akan rancu jika dikaitkan dengan bahasa filsafat, misalnya jika kita berbicara soal tuhan adalah zat tak berbadan, karena tidak dapat dilihat dan disentuh, akan tetapi kita tidak bisa sepenuhnya mengatakan bahwa tuhan adalah zat tidak berbadan. Pasalnya, kalangan religius dan filsuf skolastik memandang bahwa tuhan itu berbadan, sehingga tuhan tidak termasuk objek filsafat. Jika diteruskan, maka kajian soal individu juga dapat berlanjut hingga ranah eksistensialisme, karena pada tahap ini, kita telah mencapai pandangan yang absurd soal individu dan zat metafisika. 

Setelah menyinggung soal pikiran, gerakan, dan bahasa definitif, Hobbes melanjutkannya dengan ide soal hasrat dan kehendak. Hasrat merupakan usaha yang juga bagian kecil dari gerakan. Ia dapat bertransformasi menjadi “nafsu” jika memiliki rasa keinginan yang tak terbendung. Di sisi lain, hasrat juga dapat menjadi buruk jika hasrat menyatakan rasa tidak suka terhadap sesuatu yang menghasilkan “keenganan”. Sementara “kehendak” adalah sintesa dari nafsu dan keenganan. Ia ibaratnya merupakan pertimbangan ragu-ragu dari dua aspek tersebut. Kehendak akan menguat jika terjadi konflik yang melibatkan indivdu. Sehingga, kehendak harus bisa ditahan dan tidak diperkenankan berkeliaran bebas. Kehendak bebas adalah apa yang Hobbes tentang. Ia akan membawa ketidakstabilan sosial bila tidak dikenakan dengan baik dan bijak.

Baca Juga :   The Great Explainer itu Bernama Richard Feynman 

Masih soal kehendak bebas, yang dibenci oleh Hobbes. Ia mengatakan bahwa sejatinya seluruh manusia itu sama. Memiliki hasrat dan kehendak yang sama. Hasrat dasar dan insting manusia adalah bertahan hidup dan mempertahankan kebebasannya. Semuanya ingin menyelamatkan dirinya sendiri. Dan kehendak bebas akan membuka jalan bagi manusia untuk meraih lebih dari kebebasan, yakni menguasai orang lain. Konflik ini yang nantinya akan memicu perang antar umat manusia, perang sipil jika kasusnya terdapat di satu negara. Ketika perang terjadi, tidak ada manusia yang akan memikirkan keadilan. Persepsi mereka soal kebenaran hanyalah kekuatan serta tipuan yang dapat menyukseskan jalannya peperangan. Karenanya, Hobbes membenci kehendak bebas. Konsep yang ia awali dari individu ini nantinya akan menyebar hingga logika politik dan bernegaranya yang tergolong moderat.

Membangun Otoritas demi Kebebasan

Demi mencapai perdamaian dari perang yang berkepanjangan, manusia harus bersatu dan menciptakan otoritas sentral dalam sebuah persemakmuran, atau yang biasa Hobbes sebut menghidupkan “Leviathan” (Monster Laut) yang ia analogikan sebagai karya seni persemakmuran. Menurutnya, satu-satunya jalan demi meraih kebebasan antar umat manusia dan mengakhiri konflik, maka manusia harus berkumpul, membentuk dewan, membangun otoritas terpusat dan menciptakan sebuah kekuasaan. Manusia, seperti yang telah disinggung di paragraf sebelumnya, memiliki hasrat dan kehendak untuk bebas dan menguasai orang lain. Hobbes menambahkan kata “bersatu” demi meraih kebebasan itu. Jika kata bersatu itu hilang, maka manusia akan kembali kepada kehendaknya untuk mencari bebas dan kuasa atas orang lain. Karenanya, Hobbes mengambil otoritas demi membatasi kebebasan manusia dan mewujudkan perdamaian.

Selanjutnya yang akan dikritisi oleh Hobbes adalah paranoia yang manusia alami ketika saling membangun perjanjian. Ia merasa heran dengan membandingkan manusia dan kumpulan semut atau lebah. Lebah dan semut dalam sarang mereka saling bersatu dan membantu demi mencapai kemakmuran bersama tanpa ada pikiran yang berniat untuk mendominasi, tanpa ada pikiran praktis untuk menguasai, dan tanpa ada paranoia satu sama lain. Lebah dan semut berjuang tanpa pikiran-pikiran negatif itu demi sarang yang mereka bangun selama ini.

Sementara manusia saling membuat perjanjian demi memilih individu atau dewan untuk memerintah mereka, namun dengan perasaan ragu yang berujung pada sinisme dan konflik baru. Perasaan paranoia itu muncul karena pada faktanya, ketika manusia memilih pemimpin mereka, maka hak dan kekuasaan mereka sepenuhnya hilang dan dilimpahkan kepada sang penguasa. Tidak peduli kaum mayoritas atau minoritas, manusia harus mematuhi kekuasaan yang telah mereka pilih secara demokrasi. Inilah yang kemudian Hobbes dan kemudian Rousseau sebut dengan kontrak sosial. Ada konsekuensi dari apa yang manusia tentukan termasuk kekuasaan, dan ketika kekuasaan itu meraih otoritas, maka satu-satunya hal yang bisa dilakukan bagi manusia adalah mematuhinya. Inilah Leviathan, monster laut yang diibaratkan sebagai persemakmuran atau negara.

Negara dan Pemerintahan

Berkaca dari idenya soal otoritas sentral dan konsepsi kepatuhan terhadap kekuasaan, maka kita sebagai pengamat tentunya paham dengan konsep negara yang paling ideal menurut perspektif Thomas Hobbes. Demi mencegah instabilitas dalam negeri dan perang sipil yang melibatkan banyak kelompok, Hobbes lebih sepakat sebuah pemerintahan dengan model monarki yang absolut. Jika Hobbes hidup di abad 20 keatas, saya yakin ia juga gemar dengan pemerintahan diktator atau otoriter. Ia mentolerir sistem parlementer jika diterapkan dalam pemerintahan tunggal, yang berarti Hobbes juga memberi “iya” untuk republik yang demokratis. Namun, ia akan menolak sistem parlementer yang berbagi kekuasaan dengan raja dan bangsawan. Perang Sipil Inggris di tahun 1642-1651 disebut sebagai hasil dari kacaunya parlementarian yang difusikan dengan monarki. 

Baca Juga :   Raja Sargon: Dari Petugas Minuman Lalu Membangun Kekaisaran

Kekuasaan tinggi dari suatu pemerintahan akan mencapai kedaulatan dan kedaulatan memiliki sifat yang harus dipertahankan hingga mencapai tak terbatas. Demi mencapai kedaulatan, seorang penguasa berhak melawan argumen yang dilontarkan kritikus terhadapnya dengan alasan mewujudkan stabilitas nasional dan menghindari perpecahan. Sebuah pandangan yang sebenarnya sangat tidak demokratis, namun sesungguhnya, salah satu cara menjaga negara dari perpecahan adalah menurut dengan kekuasaan, karena penguasa adalah alat untuk mencapai kedaulatan. Hukum-hukum kepemilikan berhak untuk diciptakan oleh pemerintah. Mau itu bersifat bebas aktif maupun komunal. 

Sebuah pemerintahan harus bersifat despotik. Tak peduli sang penguasa itu berbentuk raja, presiden, atau Fuhrer dan Il Duce sekalipun. Karena despotisme lebih baik daripada liberalisme tanpa aturan yang menghasilkan kekacauan anarkis. Sejatinya, kebebasan manusia hanya dapat diraih dengan aturan, dan liberalisme tanpa aturan serta anarkisme justru menimbulkan perpecahan dan perang saudara lainnya. Karenanya, jalan yang terbaik kembali kepada kata patuh. Karena pemberontakan adalah kesalahan dan biasanya berakhir gagal, dan yang berhasil hanya akan memantik pemberontakan lain. Setiap revolusi atau pemberontakan pasti merenggut darah manusia dan itu akan membawa instabilitas negara dan jauh dari kata daulat. Ironinya, masalah akan terus datang meskipun sebuah negara telah direstorasi ulang dengan pemerintahan yang baru, dan justru akan mengobarkan semangat revolusi yang lain. 

Hobbes menentang segala bentuk pemerintahan yang didominasi oleh gereja, dalam kasus ini oleh agama tertentu. Pemikirannya yang satu ini bersifat sekularisme dan antitesis dari gaya hidup abad pertengahan yang sangat bergantung pada keimanan. Di sebuah pemerintahan, agama harus tunduk pada penguasa sipil, dan masyarakat kristen harus tunduk dengan penguasa yang non-kristen, begitu juga dengan contoh serupa lainnya. Hingga pada akhirnya, konsep utama dari Leviathan adalah menyadarkan raja dan masyarakat bahwa stabilitas negara kembali pada individu masing-masing. Kedaulatan akan diraih jika masyarakat bersifat patuh dan tidak memberontak. Begitu juga dengan sang penguasa yang harus bijak dalam mengelola negaranya. Seorang penguasa harus menjadi sosok yang ditakuti dan dihargai pada saat yang bersamaan. Sehingga masyarakat tidak memandang sebuah kekuasaan sebagai tiran dan justru sebaliknya.

Sumber Referensi

Hobbes, T. (1888). The Elements of Law: Natural and Politic. Oxford: James Thornton.

Hobbes, T. (1996). Leviathan. Oxford: Oxford University Press.

Russel, B. (2004). Sejarah Filsafat Barat: Dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Tajuddin, M. S. (2013). Bangunan Filsafat Politik Tentang Civil Society dalam Pemikiran Thomas Hobbes. Jurnal Diskursus Islam Vol. 1 No. 1, 158-163.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts