Takdir Bagi Pujangga Baru

Sutan Takdir Alisjahbana lahir pada 11 Februari 1908 di Natal, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Beliau adalah budayawan, sastrawan, dan ahli tata bahasa Indonesia yang sangat berperan dalam pemikiran kebudayaan, terlebih juga atas upayanya dalam mendirikan majalah Pujangga Baru pada tahun 1933. Lahirnya Pujangga Baru ini bahkan dianggap sebagai pembaruan kesusastraan Indonesia sebelum Perang Dunia II. Sebagai singa kesusastraan pada masa itu, Sutan Takdir Alisyahbana atau yang sering disebut STA, mengutip dari Linus Suryadi, sebagai “jiwa Pujangga Baru yang penuh dinamik karena tulisan-tulisannya yang gembira merambah jalan”.

Oleh: M. Raza Pahlawan

Dekade 1930-an adalah tahun-tahun penting bagi perkembangan kesusastraan Indonesia. Pada dekade 1930-an ini terjadi polemik kebudayaan antara STA dan Sanusi Pane beserta kawan-kawan, serta berdirinya Pujangga Baru sebagai pelopor puisi modern. Menurut Rosida Erowati dan Ahmad Bahtiar (2011), pendirian Pujangga Baru ini mempunyai tujuan untuk menumbuhkan kesusastraan baru yang sesuai dengan semangat zamannya dan mempersatukan berbagai sastrawan yang pada masa itu tersebar dan tercerai-berai di berbagai majalah. Upaya STA dan kawan-kawan dalam menyesuaikan semangat zaman dapat dilihat dari tiga kali pergantian keterangan pada cetakan majalah Pujangga Baru. Pada tahun 1933 Pujangga Baru menggunakan motto “Majalah kesusastraan dan bahasa serta kebudayaan umum”. Setelah berkiprah selama dua 21 tahun menggunakan motto ini, Pujangga Baru kembali mengganti mottonya menjadi “Pembawa semangat baru dalam kesusastraan, seni budaya, dan soal masyarakat umum’’ pada tahun 1954 dan akhirnya berubah lagi menjadi “Pembawa semangat baru yang dinamis untuk membentuk persatuan Indonesia” setahun kemudian. Pujangga Baru juga berhasil menjaring berbagai tokoh seperti Dr. M. Amir, Aoh K. Hadimada, J. E. Tatengkeng, dan berbagai tokoh lainnya.

Kehadiran Pujangga Baru dan pengaruh besarnya membuat polemik yang dimuat di majalah ini akan meluas menjadi skala nasional. Angkatan Pujangga Baru banyak dipengaruhi oleh aliran romantik gerakan 80-an di Belanda. Aliran ini mengagungkan manusia yang tinggal di alam semesta yang mana peradaban modern belum merusak jiwa. 

Sutan Takdir Alisyahbana (sumber: Modern Indonesian Literature I)

Denys Lombard (2005) mengatakan bahwa salah satu peran Barat bagi kesusastraan Indonesia adalah memberikan pengaruh individualisme dalam kesusastraan. Karya sastra yang awalnya bersifat kolektif seperti pantun, syair, gurindam, dan lain-lain, akhirnya mulai dituliskan nama penciptanya, terutama pada puisi modern. Pujangga Baru pun berusaha mendobrak kungkungan tradisi dengan memberi kebebasan individu untuk berekspresi dan lepas dari format karya sastra lama yang membuat diri seniman kurang berekspresi. Seperti ungkapan yang dipetik An. Ismanto pada tulisannya yang berjudul Transisi dari Puisi Melayu Lama ke Puisi Baru Indonesia (2020), “generasi baru mencabut-babut membalikkan tanah, agar semangat baru yang masih di rongga dadanya dapat tersemai tumbuh sesempurna-sempurnanya”.

STA mengambil contoh puisi Amir Hamzah yang berjudul Berdiri Aku.

Berdiri Aku

Berdiri aku di senja senyap

Camar melayang menepis buih

Melayah bakau mengurangi puncak

Berjulang datang ubur-ubur terkembang

Angin pulang menyejuk bumi

Menepuk teluk mengempas emas

Lari ke gunung memuncak sunyi

Berayun alun di atas alas

Benang raja mencelup ujung

Naik marak menyerak corak

Elang leka sayap tergulung

Dimabuk warna berarak-arak

Dalam rupa maha sempurna

Rindu sendu mengharu kalbu

Ingin datang merasa Sentosa

Mencecap hidup bertentu tuju

Lalu bagaimana dengan STA sendiri? Salah satu puisi yang ditulis STA mendapat perhatian dari A. Teeuw di dalam Modern Indonesian Literature (1967) adalah puisi berjudul Candi Prambanan yang bagi Teeuw disebut sebagai prosa-puisi periode awal yang menunjukkan sikap STA yang tidak menghubungkan kekagumannya atas kejayaan masa lalu dan inspirasi di belakangnya dengan rasa nostalgia yang tidak kritis.

Baca Juga :   Porno dan Sastra : Bukan Sekedar Pemuas Gairah

Hatiku tiada rindu kepadamu masa, ketika pendeta meniarap dihadapannya Syiwa, ketika jiwa berbakti menjadi candi berarca.

Tidak, tidak! Tidak, tidak!

Ya Allah, ya Rabbani, kembalikan ketulusan jiwa berbakti pembentuk candi kepada umatmu!

Dan aku akan melahirkan seni baru, tidak serupa sebentuk ini…, abadi selaras dengan gelora sukma zamanku.

Walaupun puisi-puisi dari STA beberapanya berbunyi religius atau bahkan panteistik seperti pada puisinya Kepada Kaum Mistik dan Manusia Utama, tetapi sikapnya pada Polemik Kebudayaan bagi Subagio Sastrowardoyo (1986) menunjukkan dirinya yang memiliki orientasi yang lebih terang ke Barat daripada kebudayaan sendiri di dunia Timur. Teeuw masih di dalam buku yang sama juga menunjukkan posisi STA sebagai seorang yang memperjuangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Pandangan ini melihat bahwa bahasa Melayu dengan perkembangan dan latar belakang sejarahnya telah ditakdirkan dan digunakan untuk melayani secara sungguh-sungguh suatu medium nasional bagi komunikasi dan sebagai prinsip yang mempersatukan. Lebih jauh, STA mengatakan bahwa bahasa Melayu yang akan menjadi dasar dalam perkembangan bahasa Indonesia dan menjadi lingua franca yang untuk waktu berabad-abad akan berkembang di antara penduduk Asia Selatan, dan kemudian bersama dengan kebangkitan pergerakan nasionalis Indonesia pada awal abad kedua puluh dengan sadar diangkat dan dijunjung tinggi sebagai bahasa persatuan nasional.

Pujangga Baru yang lahir setelah Sumpah Pemuda yang mengikrarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan membuat dirinya menjadi majalah berbahasa Indonesia. Namun, perjalanan Pujangga Baru tidaklah mudah. Kerugian sering dialami ketika melakukan percetakan. Dari 500 eksemplar yang dicetak, hanya 150 orang yang membayar, dan semua kerugian ini ditanggung STA dan Amir Hamzah sendiri sepenuhnya. Akan tetapi, pada dasarnya mereka sendiri pun sadar bahwa Pujangga Baru adalah alat realisasi cita-citanya pada kebudayaan dan bukan sebagai pendulang keuntungan.

Riwayat Pujangga Baru sempat terhenti ketika majalah itu dilarang terbit oleh pemerintah Jepang karena sifatnya yang ke barat-baratan. Namun semangat Pujangga Baru tidak padam, karena setelah kemerdekaan mereka kembali hadir hingga pada 1953 STA menghentikan penerbitannya dan menggantikannya dengan majalah Konfrontasi.

Referensi

Buku

Afif, Afthonul, dkk. (2018). Dari Melayu Menjadi Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Basabasi.

Erowati, Rosida dan Bahtiar, Ahmad. (2011). Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah.

Lombard, D. (2005). Nusa Jawa Silang Budaya Bagian I: Batas-Batas Pembaratan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Suryadi, Linus (ed). (. (1987). Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern Jilid 1. Jakarta: Gramedia.

Teeuw, A. (1967). Modern Indonesian Literature I. Leiden: University of Leiden.

Yuliantri, R, dkk. (2015). Tokoh Pemikir Karakter Bangsa. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Majalah

Sastrowardoyo, S. (1986). “Sikap Budaya Takdir Dalam Polemik Kebudayaan Serta Pengaruhnya”. Horison no. 7 tahun XXI.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts