Suriname; Jawa Cabang Benua Amerika 

Pada tahun 1449, Suriname pertama kali dieksplorasi oleh orang Spanyol dan pada tahun 1667 merupakan wilayah Koloni Belanda dan pada tahun 1449. Suriname yang sebelumnya disebut sebagai Guyana Belanda mendapatkan kemerdekaannya pada tanggal 25 November 1975. Nama ibu kota dari Suriname adalah Paramaribo, dengan mayoritas penduduknya adalah etnis Hindustan yang didatangkan dari India sejak tahun 1973 hingga 1917, etnis Maroon yang berasal dari Afrika sejak abad 17 dan 18 yang saat itu dijadikan sebagai budak serta etnis Crole (campuran etnis putih dan etnis hitam) dan etnis Jawa yang didatangkan dari pulau Jawa Nusantara sejak tahun 1890 sampai tahun 1939. 

Oleh Aditya Billy Y Susanto

Berdasarkan data, negara Suriname memiliki luas wilayah sebesar 163.820 kilometer persegi dengan jumlah penduduk sebanyak 623.638 jiwa (pada tahun 2022). Negara ini terletak di benua Amerika bagian selatan. Negara ini berbatasan dengan Guyana Perancis di sebelah timur dan Negara Guyana di sebelah barat. Sedangkan di sebelah selatan berbatasan langsung dengan Negara Brasil. 

Semasa pendudukan di akhir abad ke-19 Koloni Belanda membawa orang-orang yang berasal dari Nusantara terutama etnis Jawa ke Suriname dengan jumlah yang tidak sedikit. Kelompok etnis Jawa yang dibawa ke Suriname pun kemudian hidup berdampingan dengan warga asli dari Suriname. Pasca era kolonial, warga Jawa dan keturunannya di Suriname berintegrasi dengan masyarakat lokal setempat hingga akhirnya menikah dan memiliki keturunan yang dikenal dengan nama etnis Jawa-Suriname. 

Kehadiran etnis Jawa di Suriname tentu membawa banyak sekali budaya, terutama bahasa, agama, serta tradisi dari Jawa di Suriname. “Understanding Indonesia Islam” sebuah dialog yang diselenggarakan oleh Indic-Belt Society and The Division of Bahasa Indonesia, Centre for Chinese & Southeast Asian Studies di Universitas Jawaharlal Nehru (JNU) menjelaskan; “Elemen Islam di Suriname adalah bagian dari populasi yang terhubung. Saat era kolonial Belanda, banyak orang didatangkan dari India serta dari wilayah Jawa dan wilayah sekitarnya, seperti Surabaya dan Sumatera”.

Masuknya Etnis Jawa di Suriname 

Jauh sebelum pemerintah Indonesia mengirim Tenaga Kerja Indonesia (TKI) secara resmi ke luar negeri, ternyata antara tahun 1890-1939 (selama 50 tahun), pemerintah Kerajaan Belanda yang pada waktu itu menjajah Indonesia, telah berhasil mengirim dan mempekerjakan 32.956 orang TKI asal Pulau Jawa ke Suriname, Amerika Selatan. Gelombang pertama pengiriman TKI diberangkatkan dengan kapal laut SS Koningin Emma dari pelabuhan Batavia (Jakarta) pada tanggal 21 Mei 1890.

Para Tenaga Kerja Indonesia dari Jawa ketika sampai di Paramaribo, Suriname

Sumber: insideindonesia

Setelah kapal singgah di Negeri Belanda, akhirnya kapal yang mengangkut masyarakat etnis Jawa tiba di Suriname pada tanggal 9 Agustus 1890. 

Masyarakat Indonesia yang saat ini tinggal di Suriname menyatakan bahwa setiap tanggal 9 Agustus harus selalu diperingati, dikenang  dan dirayakan sebagai suatu tanggal yang sangat bersejarah bagi etnis Jawa yang ada di Suriname. Lalu TKI yang diberangkatkan dalam gelombang kedua sebanyak 582 orang, tiba di Suriname pada tanggal 16 Juni 1894 dengan kapal SS Voorwaarts. Karena muatan kapal yang diberangkatkan pada gelombang kedua ini melebihi kapasitas maka kapal tersebut kelebihan muatan, sehingga tidak memenuhi syarat sebagai kapal angkut personil. Akibatnya ada 64 orang penumpang kapal meninggal dunia, dan 85 orang harus dirawat di rumah sakit, setelah kapal tiba di pelabuhan Paramaribo, Suriname. 

Baca Juga :   Kristen Londo dan Kristen Jowo : Konflik Antar Umat Kristiani Pada Masa Kolonial

Pengiriman Tenaga Kerja ini terus berkelanjutan sepanjang tahun sampai dengan pengiriman TKI kapal terakhir sebanyak 990 orang, yang tiba di Suriname pada tanggal 13 Desember 1939. Dari tahun 1890-1914 rute pelayaran kapal yang mengarah ke Suriname singgah di Negeri Belanda, selebihnya tidak. Pengiriman TKI terakhir ini menggunakan 77 buah kapal laut, dilaksanakan oleh Perusahaan Pelayaran Swasta, De Nederlandsche Handel Maatschappij. 

Pada kenyataannya, meskipun orang-orang Indonesia di Suriname yang telah tinggal sejak 130 tahun lalu, masih memegang dan memiliki adat dan kebiasaan seperti di Pulau Jawa pada umumnya. Hal ini ditandai dengan masih banyak ditemukan Pesta Tayuban, Wayang Kulit, Wayang Orang, Ludruk dan Tarian Jaran Kepang. Sayangnya, Bahasa Indonesia belum dimengerti, karena memang belum diajarkan secara intensif. Sedangkan Bahasa Jawa ngoko hanya diajarkan sepintas oleh keluarga dan kalangan orang tua yang menggunakan bahasa Jawa. Namun pada umumnya mereka bisa dan mengerti Bahasa Jawa, walaupun tidak lancar. Bahasa lain yang bisa dikatakan sebagai “Bahasa Nasional Kedua” adalah Sranangtongo atau Taki-taki. Bahasa ini digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari dan dimengerti oleh mereka yang berasal dari Suriname. 

Djowo Sebagai Identitas Kultural Masyarakat Jawa-Suriname 

Selama bertahun-tahun masyarakat Etnis Jawa yang berada di Suriname sebagian besar mengaku sebagai orang Jawa, meskipun dari beberapa keturunan Jawa yang ada di Suriname belum pernah menginjakan kaki di Kepulauan Jawa. Perpaduan budaya dan unsur Jawa semakin tahun semakin melekat di Suriname. Bahkan bahasa, nama, dan masakan telah memengaruhi budaya bangsa kawasan Karibia ini. Berdasarkan data Worldmeters, total penduduk di Suriname per 16 September 2020 mencapai angka 587.727 jiwa. Lebih dari 70 ribu penduduknya merupakan orang asli Jawa. Menurut Hein Vruggink dalam Surinaams-Javaans-Nederlands Woordbenboek (2021), penduduk di Suriname sekitar 70% adalah orang Jawa yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur dan 10% dari Jawa Barat. Hal demikian terjadi karena dari sekian tahun masyarakat Jawa yang ada di Suriname sudah melangsungkan pernikahan dan memiliki keturunan hingga bertempat tinggal dan menetap di wilayah tersebut. 

Indonesia yang dianggap sebagai saudara tua Suriname karena masyarakat Jawa memberikan kerjasama tersendiri bagi Suriname dalam hal penerimaan bantuan, hingga memenuhi segala jenis kerjasama, baik pembangunan negara tersebut. Sejarah mencatat pemerintah kolonial Belanda membawa ratusan orang Jawa ke Suriname untuk menjadi buruh atau pekerja di perkebunan Belanda yang berada di Suriname. Para pekerja inilah yang kemudian berkembang jumlahnya dan terus mempertahankan identitas Jawa nya di Suriname. 

Masyarakat Jawa di Suriname sampai hari ini masih menjaga ritual budaya Jawa berdasarkan kenangan mereka. Kenangan akan tanah kelahiran itulah yang mereka jaga, dan diturunkan sebagai “sesuatu yang Jawa”. Jawa mereka adalah Jawa yang merdeka, yang tidak membeda-bedakan Jawa ala Jogja, Banyumas, Surabaya, dan Solo. Dengan demikian kesadaran akan identitas kultural itu mereka teruskan dari generasi ke generasi berikutnya. Sampai sekarang etnis Jawa di Suriname masih aktif dalam menggelar acara kemasyarakatan guna  mempertahankan eksistensi kebudayaan Jawanya, seperti seni pertunjukan Jaran Kepang dan Ludruk. 

Kini negara yang dibangun dari orang-orang dahulu dari berbagai macam ras di Jawa yang semula dibawa ke Suriname menjadi kuli kontrak dan budak berkembang menjadi negara multikultural yang membebaskan warga negaranya untuk memilih dan mengekspresikan identitas kultural masing-masing. Mereka juga bebas menggunakan bahasa ibu masing-masing, selain bahasa Belanda sebagai bahasa resmi kenegaraan dan bahasa Taki-taki/Sranang sebagai bahasa percakapan. Perwakilan VHHJI (Vereniging Herdenking Javaanese Immigratie) atau Perhimpunan Peringatan Pemboyongan Bangsa Jawa adalah sebuah organisasi yang menstimulasi dan melestarikan kebudayaan Jawa di Suriname, mengatakan “Jika saya belajar bahasa asing, misalnya bahasa Inggris, tapi saya kemudian lupa dengan bahasa ibu saya, bahasa Jawa, itu berarti saya tidak belajar apa-apa”. Orang Jawa di Suriname hingga kini terus berkembang di berbagai bidang. Dari yang dulu menjadi kuli kontrak yang dibawa oleh Belanda adalah bagian sejarah mereka, dan kini mereka etnis Jawa-Suriname adalah orang merdeka. 

Baca Juga :   Raja Airlangga: Putra Udayana Sang Pencetus Kerajaan Di Tanah Jawa Timur

Referensi

Parsudi Suparlan. 1995. The Javanese in Surinam. Ethnicity in an Ethnically Plural Society. Program for Southeast Asian Studies, Arijona State University

Hein Vruggink. 2001. Surinaams-Javaans – Nederlands Woordenboek. Leiden: KITLV Uitgeverij. ISBN 90-6718-152-8

Kusumohamidjojo, B. (2010). Filsafat Kebudayaan, Proses Realisasi Manusia. Yogyakarta: Jalasutra.

Sarmoedjie, D. H. (2012, Juli 29). “Mengintip” Sejarah dan Perjuangan Para Mantan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Asal Indonesia, di Suriname

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts