Sungai Kemit di Kebumen Sebagai Garis Demarkasi Indonesia-Belanda 1948

Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi ini bukan berarti Indonesia telah lepas dari segala bentuk penjajahan. Belanda kembali datang dan berniat untuk kembali menjajah Indonesia. Pihak Belanda menganggap memiliki hak untuk menguasai wilayah Indonesia setelah Jepang yang saat itu mengumumkan kekalahannya. Belanda yang diboncengi NICA saat itu datang ke Indonesia untuk melucuti tawanan Jepang yang masih tersisa di sana.

Oleh Rina Mutoharoh

Jenderal van Mook yang saat itu memimpin pasukan Belanda berambisi untuk menguasai kembali Indonesia, meskipun Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya. Van Mook merasa tidak rela jika wilayah bekas jajahan yang telah memberikan keuntungan kepada Belanda selama beratus-ratus tahun akhirnya lepas dari tangan kekuasaannya. Oleh karena itu, muncul rencana untuk menyerang wilayah-wilayah vital yang ada di Indonesia.

Penyerangan Belanda terhadap beberapa wilayah Indonesia kemudian memunculkan sebuah perjanjian Linggarjati. Perjanjian ini dilaksanakan di sebuah daerah yang bernama Linggarjati di Provinsi Jawa Barat. Perjanjian ini berlangsung pada tanggal 11 November 1946, yang kemudian dapat diterima oleh kedua belah pihak yaitu Belanda dan Indonesia, pada tanggal 25 Maret 1947. Walaupun isi perjanjian yang kurang mengenakkan didapat oleh Indonesia, namun dengan lapang dada pemerintah Indonesia tetap menyetujui perjanjian Linggarjati tersebut.

Belanda tidak mentaati perjanjian Linggarjati tersebut. Belanda sering dijumpai melakukan berbagai kerusuhan di berbagai daerah di Indonesia. Puncaknya pada tanggal 15 Juli 1947, Belanda mengeluarkan sebuah ultimatum yang merugikan Indonesia dengan menyuruh RI menarik mundur pasukannya sejauh 10 kilometer dari garis batas wilayah yang telah disepakati dalam perjanjian Linggarjati (Nasution, 1991; Hal. 439).

Pihak Belanda mengatakan, akan melakukan tindakan lain yang menurut Belanda adalah sesuatu yang benar apabila dalam waktu dua pekan Indonesia tidak mau menyetujui tuntutan Belanda. Pemerintah Indonesia tentu dengan tegas menolak untuk menyetujui ultimatum Belanda tersebut. Akhirnya, pada tanggal 21 Juli hingga 5 Agustus 1947, Belanda membuktikannya dengan cara menyerang berbagai wilayah yang ada di  Indonesia yang dikenal dengan nama Agresi Militer Belanda I.

Perjanjian Renville

Perseteruan antara Indonesia-Belanda tidak kunjung surut. Pada tanggal  31 Juli 1947, pemerintah Republik Indonesia mengirim surat kepada Dewan Keamanan PBB yang berisi permohonan untuk menyelesaikan sengketa antara Indonesia-Belanda. Dewan keamanan PBB pun akhirnya mengutuk perbuatan agresi militer yang dilakukan oleh Belanda. Adanya pelanggaran perjanjian Linggarjati dan Agresi Militer Belanda I menghasilkan sebuah perundingan. Perundingan ini dilaksanakan di atas kapal perang Amerika Serikat  bernama USS Renville.

Potret Kapal USS Renville yang digunakan sebagai tempat perundingan (Sumber: ANRI.RVD Batavia.496.IPPHOS 1945-1950)

Kapal USS Renville berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok sejak tanggal 2 Desember 1947. Perjanjian tersebut terkenal dengan nama perjanjian Renville karena perjanjian yang dilakukan di atas sebuah kapal bernama Renville. Perundingan atau perjanjian Renville ini dilaksanakan pada tanggal 17 Januari 1948.

Potret penandatanganan perjanjian Renville (Sumber : ANRI.RVD Batavia.0719.IPPHOS 1945-1950)

Perjanjian Renville bagi Indonesia adalah upaya untuk menegakkan keadilan terhadap tindakan Belanda. Dalam perundingan tersebut, wakil dari  Indonesia  berjumlah delapan orang dipimpin oleh Amir Syarifuddin. Sedangkan dari pihak Belanda, mereka mengirimkan perwakilan berjumlah tiga belas orang yang dipimpin oleh Abdulkadir Widjojoatmodjo (Agung, 1983, 57) . Komisi Tiga Negara (KTN) dibentuk berdasarkan kesepakatan antara Indonesia dan Belanda untuk menyelesaikan sengketa antara kedua negara tersebut. Tiga negara tersebut adalah Australia sebagai wakil dari Indonesia, Amerika Serikat sebagai pihak netral, dan Belgia sebagai wakil dari Belanda. Dalam perjanjian tersebut, disepakati bahwa Belanda harus menghentikan agresi yang dilakukan di Indonesia. Selain itu, kedua belah pihak harus segera menyelesaikan masalah batas Demarkasi antara Indonesia-Belanda. Perundingan Renville tetap merugikan pihak Indonesia, tetapi pemerintah  Indonesia tetap menyetujui hasil dari perjanjian Renville tersebut.

Baca Juga :   Mendebat Sosok Herodotus Sebagai “Bapak Sejarah”

Penentuan Batas Garis Demarkasi Indonesia-Belanda

Salah satu dari hasil perundingan Renville Indonesia-Belanda, kedua negara harus segera melakukan perundingan kembali untuk segera menentukan batas wilayah terluar dari kedua belah pihak yang telah disepakati. Oleh karena itu, pada tanggal 24 Januari 1948 dilakukan sebuah perundingan untuk membahas masalah tersebut.

Potret perundingan Status Quo Kemit 1948 (Sumber : Disarpus Kabupaten Kebumen)

Pembahasan mengenai garis wilayah demarkasi Indonesia-Belanda dilaksanakan di sebelah barat jembatan Kemit, di wilayah Kabupaten Kebumen. Perundingan ini dipimpin oleh Kolonel Bambang Soegeng dari Indonesia, yang beranggota 12 orang diantaranya adalah  Letkol Koen Kamdani selaku Komandan COP PDKS Kebumen, Mayor Rahmat Mayor Panoedjoe, Mayor Rahmat, Kapten Soebiandono, Kapten H. Soegondo,  Letnan Soeyono, Residen Banyumas, Bupati Banjarnegara, Bupati Kebumen, Kepala Polisi Gombong, dan Kepala Polisi Kebumen.  Sedangkan dari pihak Belanda, mereka dipimpin oleh Letkol Beets.

Potret monumen Sungai Kemit

Perundingan yang alot ini pun akhirnya menemui titik terang. Di dalam sebuah monumen yang dibangun di atas jembatan Sungai Kemit, tertulis bahwa Kali Kemit ditetapkan sebagai garis Demarkasi dalam perang kemerdekaan Indonesia-Belanda 1948. Setelah ditetapkan dan disepakati  oleh kedua belah  pihak, Belanda kemudian menarik pasukannya yang berada di  wilayah Timur aliran Sungai Kemit, begitu juga dengan Indonesia yang kemudian menarik pasukannya menuju sebelah timur aliran Sungai Kemit. Kali Kemit kemudian dijadikan pintu gerbang keluar masuk wilayah Indonesia-Belanda.

Belanda Masih Tetap Melakukan Agresi

Untuk menjaga keamanan wilayah di perbatasan, pemerintah Republik Indonesia membuat Polisi Keamanan (PK). Kemudian, pemerintah menempatkan tujuh anggota Polisi Keamanan (PK) untuk berjaga di garis  perbatasan sungai Kemit. Meskipun telah terjadi sebuah kesepakatan antara Indonesia-Belanda tentang status garis demarkasi, Belanda masih tetap melakukan berbagai  penyerangan. Perundingan Indonesia-Belanda pun masih tetap bergulir. Sayangnya, perundingan tersebut masih tetap alot dan tidak menemui jalan keluar. Belanda mengancam akan menyerang Ibu Kota Negara Indonesia yang saat itu berada di wilayah Yogyakarta. Tepat pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melakukan Agresi Militer II yang menyebabkan tujuh anggota PK gugur ketika menjaga batas wilayah. 

Potret Tugu Kemit

Ketujuh PK yang gugur dalam penyerangan tersebut tidak diketahui secara jelas siapa namanya. Berdasarkan cerita lisan yang ditulis dalam buku sejarah Gelegar di Bagelen, ketujuh orang yang gugur pernah dimakamkan di tempat yang tidak layak. Namun, kemudian makam tersebut dipindahkan di pemakaman umum Desa Grenggeng, Karanganyar, Kebumen.

Banyak sejarah yang pernah terukir di Kebumen. Salah satunya adalah sejarah Sungai Kemit sebagai batas demarkasi Indonesia-Belanda 1948. Sayangnya, masyarakat belum banyak yang mengetahui akan hal tersebut. Semoga Tulisan ini dapat menjadi pemicu bagi pembaca untuk meneliti apa-apa yang berada di sekitar kita, sehingga dapat menjadi sebuah pelajaran.

Daftar Referensi

ANRI. RVD Batavia. 496. IPPHOS 1945-1950.

ANRI. RVD Batavia. 0719. IPPHOS 1945-1950.

Disarpus Kabupaten Kebumen. 464. Perundingan Status Quo Kemit.

A.H. Nasution. 1991. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Bandung: Penerbit Angkasa.

Anak, Ide Gunung Gde Agung .1983.Renville.Jakarta:Sinar Harapan

Ade, C. 2011. Agresi Militer Belanda I dan II (Periode 1947-1949) Dalam Sudut Pandang Hukum Internasional. Jakarta: FH UI.

Wirjopranoto, Soetarjo. dkk. 2003. Gelegar di Bagelan Perjuangan Resimen XX Kedu Selatan 1945-1949 dan Pengabdian lanjutannya. Kebumen: Ikatan Keluarga Resimen XX.

Raditya, Iswara. 2018. Agresi Militer I: Saat Belanda Mengingkari Perjanjian Linggarjati. tirto.id. dikutip tanggal 19 Desember 2020 pukul 22:00 WIB.

Ananda. 2013. Mengenang Status-Quo Kemit, dan 7 Pahlawan Penjaga Demarkasi Korban Kejahatan Perang Belanda. Dikutip tanggal 19 Desember 2020 pukul 08:17 WIB.

Baca Juga :   Perjalanan Kartosoewirjo  Mendirikan DI/TII

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts