Sejarah Singkat Astronomi: dari Purba hingga Modern

Bulan dan taburan bintang bersama berbagai fenomena, yang  menemani langit malam selalu menarik perhatian manusia. Manusia memang sejak lama tertarik dengan langit malam dan apa yang ada di angkasa.  Buktinya bisa kita ketahui dari temuan berupa peninggalan benda dan pengetahian dari nenek moyang kita.

Oleh : Muhammad Rizky Pradana

Manusia pada era awal sebelum homo sapiens pun sudah tertarik dengan angkasa. Penemuan peta bintang yang tergambar di Gua Lascaux dari zaman es mengungkapkan hal tersebut. Peneliti Dr. Michael Rappenglueck mengatakan bahwa: “Ini adalah peta semesta prasejarah.” Dalam gua tersebut terdapat gambar asterisma segitiga musim panas dan gugus bintang Pleiades. Di tempat lain, tepatnya Gua Cueva di El Castillo, Dr. Rappenglueck juga menemukan gambar rasi bintang Corona Borealis atau Northern Crown (Whitehouse 2000).

Lukisan di Gua Lascaux. Sumber: Somewhereville.

Banyak peradaban megah di masa lalu yang punya ketertarikan khusus dengan langit. Sebut saja Babilonia, Mesir Kuno, Anglo-Saxon, Romawi, Yunani, dan bahkan Nusantara  (salah satunya Jawa). Bisa terlihat dari peninggalan arkeologi seperti antikythera, stonehenge, woodhenge, hingga yang terbaru Borobudur yang tentunya akan jadi ranah penelitian para arkeolog.

Stonehenge di Inggris tampak dari samping. (Sumber: Wikipedia.)

Stonehenge misalnya. Sebuah bangunan megalitik yang dipercaya sebagai observatorium  kuno. Hal Tersebut bukanlah sebuah asumsi karena banyak penelitian yang menyebutkan bahwa stonehenge memiliki keselarasan dengan musim tertentu. Sebuah monumen batu yang dibangun 3.000 tahun SM itu menghadap Pleiades juga titik soltis utara dan selatan (Hoskin 2003, bab 1).

Meskipun astronomi sudah membuat manusia purbatertarik,  Astronomi sebagai ilmu pengetahuan yang empiris sedikit demi sedikit baru terbentuk sejak peradaban Yunani Kuno.  Sebuah epos karya Homer berjudul Iliad menyebutkan beberapa nama bintang, rasi bintang, gugus bintang, dan asterisma antara lain Pleiades, Hyades, Orion, Ursa Major, Big Dipper, Sirius, dan Bootes (Evans 1998, hlm. 3). Epos tersebut menunjukkan bahwa Yunani Kuno cukup dekat dengan hal-hal yang berkaitan dengan langit.

Peradaban Yunani punya begitu banyak ahli astronomi. Salah satunya adalah Claudius Ptolemeus seorang pengarang ilmiah asal Mesir dengan karya megahnya Almagest. Almagest memuat konsep alam semesta Ptolemeus yang geosentris dengan penjelasan tentang epicycle (Butar-Butar 2016a, hlm. 159). Almagest VII dan VIII berisi katalog bintang yang memuat deskripsi, bujur, lintang dan magnitudo bintang (Evans 1998, hlm. 264).

Astronomi juga ternyata berperan penting dalam alur sejarah non sains. Peristiwa bersejarah yang melibatkan astronomi yang tidak banyak diketahui orang antara lain perang antara Lonia melawan Lydia dan Mede pada sekitar 28 Mei 585 SM;Perang Peloponnesos antara Sparta dan Athena pada 27 Agustus 413 SM; dan siasat Christopher Columbus untuk mengelabui suku Indian pada 29 Februari 1504 (Gunawan 2016, hlm. 81-85).

Astronomi yang dekat dengan banyak peradaban kuno menjadikan fondasi yang kuat bagi perkembangan astronomi di peradaban selanjutnya. Pengetahuan langit peradaban kuno (astrologi yang bersifat magis, mistik, dan fantastis perlahan-lahan berubah menjadi pengetahuan yang empiris dan objektif.

Masa Keemasan Islam

Masa Keemasan Islam atau Golden Age of Islam adalah sebuah masa ketika ilmu pengetahuan di Jazirah Arab yang saat itu mayoritas menjadi tempat bermukim pemeluk agama Islam mencapai puncaknya. Namun, di masa ini Islam sebagai entitas agama dan politik telah mapan. Penyebutan astronomi dalam dunia Islam menggunakan istilah Falak.  Penelusuran mengenai sejarah awal Falak, perlu melibatkan  masa sebelum Keemasan Islam.

Baca Juga :   Revolusi Haiti: Ketika Budak Memerdekakan Tanah Airnya

Masyarakat Arab telah mengenal astronomi dari peradaban lain seperti Persia, Babilonia, India, dan Yunani (Butar-Butar 2018, hlm. 158; Nasution 2018, hlm. 151). Banyak tulisan tentang astronomi yang terjemahkan dari bahasa Yunani ke bahasa Arab (Nasution 2018, hlm. 199). Oleh karena itu,fondasi astronomi bagi masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam dapat dikatakan kuat.

Karya dari peradaban lain yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab antara lain Syahriyaran Zij menjadi Syah Zij, Mahasiddhanta menjadi Zijul Sindhindul Kabir; Almagest menjadi Al-Majisti; dan masih banyak lagi (King 1996, hlm. 147-148). Banyak sekali ahli astronomi pada masa keemasan Islam seperti Al-Biruni, Al-Battani, Ibnu Yunus, Ibnu Syathir, Ibnu Majdi, dan masih banyak lagi (Butar-Butar 2016b, hlm. 19-20).

Baghdad, Cordoba, dan Kairo adalah contoh kota yang berperan besar pada masa keemasan Islam. Bidang-bidang ilmu pengetahuan terutama Falak tidak luput dari eksistensisarjana-sarjana Muslim . Dinasti Mamalik dari Mesir memiliki sumbangsih yang sangat besar terhadap perkembangan Falak yang pesat. Menguatnya pengaruh dinasti Mamalik terkait dengan hancurnya Baghdad yang pada era sebelumnya menjadi pusat ilmu pengetahuan di Timur Tengah pasca serangan Mongol.

Hancurnya Baghdad membuat pusat ilmu pengetahuan Islam itu berpindah ke Kairo dan Damaskus. Muncul pula fokus kajian baru pada era dinasti Mamalik yang menitikberatkan pada pengaturan waktu berdasarkan gerak benda langit (Rochayati 2018, hlm. 45-46). Dinasti Mamalik dianggap sebagai salah satu mercusuar ilmu pengetahuan tidak lepas dari kiprah peradaban kuno. Mesir dan Syria telah memiliki akar astronomi yang sangat kuat di masa lalu (Butar-Butar 2013, hlm. 28). Hal tersebut bisa terlihat dari sisa-sisa peninggalan megalitik masa lalu.

Kajian Falak sebelum dinasti Mamalik cenderung didominasi oleh pemikiran Ptolemeus dan condong kepada astronomi matematis (falak riyadhi). Pada dinasti Mamalik hal tersebut berubah dan bergeser kepada astrofisika (falak fiziya’i) dan hal yang praktis (Butar-Butar 2013, hlm. 29; Rochayati 2018, hlm. 46).

Astrolabe peninggalan dinasti Mamluk. (Sumber: Wikimedia)

Peninggalan benda dari masa keemasan Islam yang masih digunakan hingga saat ini adalah Astrolabe atau al-usthurlab. Astrolabe berbentuk piringan 360° dan terbagi ke dalam seperempat lingkaran yang di dalamnya tertera nama rasi bintang, angka derajat dan lain-lain mamalik. Astrolabe sebenarnya mengambil prinsip dasar dari teknologi Yunani. Namun, yang tetap bertahan dan tetap digunakan berasal dari abad pertengahan, masa keemasan Islam dan Kristen Eropa (Evans 1998, hlm. 141).

Peninggalan lain adalah jam matahari atau al-Mizwalah. Jam matahari ini diadaptasi dari peninggalan Yunani dan Romawi (Butar-Butar 2013, hlm. 30). Jam matahari bekerja dengan memanfaatkan matahari untuk menghasilkan bayangan dengan bantuan Gnomon. Peninggalan-peninggalan yang ada pada masa keemasan Islam ini juga berpengaruh besar pada perkembangan Falak di Nusantara.

Teknologi Datang Makin Modern

Orang pertama yang menggunakan astronomi sebagai ilmu praktis adalah Erastosthenes. Erastosthenes menggunakan astronomi  untuk menghitung keliling bumi. Perhitunganya pun hampir akurat dan hanya meleset beberapa persen.  Erastosthenes hanya membutuhkan  tongkat, mata, kaki, otak, dan minat untuk melakukan perhitungannya(Sagan 2016, hlm. 10). Suatu hal yang hebat pada masa itu.

Penggunaan alat bantu untuk pengamatan semisal tongkat itu kemudian  mengalami perkembangan hebat. Bermula dari alat sederhana yang digunakan dalam pengamatan astronomi di masa awal peradaban manusia, kini telah dibombardir dengan teknologi yang paling mutakhir seperti teleskop radio.

Baca Juga :   Perkembangan Transportasi Kereta Api Wilayah Cilacap Pada Era Kolonial Belanda

Teleskop menjadi tonggak penting dalam sejarah singkat astronomi utamanya di masa modern. Sudah dikenal luas bahwa Galileolah yang menggunakan teleskop pertama kali untuk pengamatan astronomi. Bersama teleskop tersebut Galileo menggambarkan ilustrasi bulan dalam publikasi di Siderius Nuncius. Istilah teleskop untuk menyebut alat bantu pengamatan itu dimunculkan pertama kali oleh Frederico Cesi. Hans Lippersheylah yang dianggap sebagai penemu teleskop karena hak paten yang diajukannya pada 1608 (Wall 2018, hlm. 23-25).

Replika teleskop kedua Newton. Sumber: Wikimedia.

Johannes Kepler, asisten dari astronom terkemuka Tycho Brahe, juga mengembangkan teleskopnya sendiri. Sistem yang ditemukannya  kemudian dinamakan Keplerian Telescope yang menggunakan lensa cembung sebagai lensanya. Isaac Newton kemudian datang dengan perubahan besar. Bila sebelumnya teleskop menggunakan prinsip pembiasan atau refraksi maka Newton menggunakan prinsip pemantulan atau refleksi untuk teleskop racikannya yang diperkenalkan pada 1668 (Wall 2018, hlm. 12, 28 & 30).

Lebih dari 250 tahun kemudian, perkembangan teleskop hanya berkutat pada masalah optik dan hal teknis yang menyertai. Mulai dari konstruksi yang aman dan kokoh hingga keakuratannya. Revolusi teknologi dalam astronomi hadir pada 1937 di saat seorang pecinta radio amatir berhasil mengembangkan teleskop radio pertama. Grote Reber membangun piringan reflektif paraboloid besar berdiameter 9 meter (Cottrel 2016).

Penemuan teleskop radio ini juga diiringi kemajuan fantastis teleskop optik. Teleskop Luar Angkasa Hubble adalah bukti paling megah. Dinamai berdasarkan nama seorang kosmolog yang terkenal dengan teori pengembangan alam semesta yaituEdwin Hubble. Ide teleskop ruang angkasa tersebut berangkat dari anggapan astrofisikawan Amerika Serikat Lyman J. Spitzer yang menyatakan bahwa penempatan teleskop di luar angkasa dapat menghilangkan pengaruh atmosfer yang mengganggu (Cottrel 2016). 

Daftar Pustaka

Butar-Butar, Arwin Juli Rakhmadi. 2013. “Astronomi Islam Era Dinasti Mamalik (1250-1517).” Afkaruna 9 (1): 26–36. https://doi.org/10.18196/aiijis.2013.0017.26-36.

———. 2016a. “Antara Geosentris Dan Heliosentris.” In Esai Esai Astronomi Islam, edited by Gunawan. Medan: UMSU Press.

———. 2016b. “Astronomi Dan Astrologi.” In Esai-Esai Astronomi Islam, edited by Gunawan. Medan: UMSU Press.

———. 2018. “Historiografi Ilmu Falak Di Nusantara: Sejarah, Motivasi Dan Tokoh Awal.” Journal of Contemporary Islam and Muslim Societies 2 (2): 156. https://doi.org/10.30821/jcims.v2i2.2928.

Cottrel, Geoff. 2016. Telescope: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press.

Evans, James. 1998. The History and Practice of Ancient Astronomy. Oxford: Oxford University Press.

Gunawan, Rachman. 2016. “Beberapa Peristiwa Gerhana Yang Bersejarah.” In Sihir Gerhana, edited by Yunaz Santhani Aziz. Jakarta: Buku Kompas.

Hoskin, Michael. 2003. The History of Astronomy: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press.

Ilmu Falak Praktik. 2013. Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia.

King, David A. 1996. “Islamic Astronomy.” In Astronomy Before the Telescope, edited by Christopher Walker. London: British Museum Press.

Nasution, Mhd. Fikri Maulana. 2018. “Perkembangan Ilmu Falak Pada Peradaban Pra Islam.” Jurnal Penelitian Medan Agama 9 (1): 141–56.

Rochayati, Erma. 2018. “Ilmu Astronomi Di Dunia Islam Abad 11-15 M.” Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Sagan, Carl. 2016. Kosmos. Edited by Andya Primanda. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Wall, Wilson. 2018. A History of Optical Telescopes in Astronomy. Bewdley: Springer. http://www.springer.com/series/15156.

Whitehouse, David. 2000. “Ice Age Star Map Discovered.” BBC News. 2000. http://news.bbc.co.uk/2/hi/science/nature/871930.stm.

Nilai artikel ini
5/5

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts