Sejarah Kesenian Sintren di Wilayah Pantai Utara Jawa

Indonesia adalah negara yang memiliki kebudayaan yang amat sangat beragam dari sabang hingga merauke. kebudayaan sebagai sekumpulan sikap, nilai, keyakinan serta perilaku yang dimiliki bersama oleh sekumpulan orang (Barnow dalam Matsumoto dalam Ilyas Zukfikar). Sehingga dapat kita artikan jika kebudayaan adalah kebiasaan yang sudah tumbuh dan berkembang di suatu masyarakat tertentu dan dapat diwariskan secara turun temurun pada generasi selanjutnya. 

Oleh : Nurul Ismi Lestari  

Kebudayaan memiliki banyak cabang yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Kebudayaan dapat berupa cerita rakyat, musik tradisional, bahkan tarian. Di indonesia sendiri khususnya pulau jawa adalah wilayah yang memiliki berbagai macam tarian tradisional yang masih bisa kita saksikan sekarang ini, salah satu tarian yang masih ada namun sudah mulai tergerus zaman adalah Tari Sintren. Namun karena minimnya historiografi membuat masyarakat Indonesia masih sangat awam terhadap sejarah kebudayaannya sendiri. dalam historiografi indonesia sangat jarang sejarawan yang tertarik untuk menulis kebudayaan Menurut Kuntowijoyo (2003). Hal ini bukanlah suatu hal yang baru karena memang untuk melacak awal mula kebudayaan itu tumbuh dan berkembang sangatlah susah. Ditambah terkadang sangatlah susah mencari bukti-bukti baik primer maupun sekunder yang dapat menyebutkan secara spesifik awal mula terbentuknya budaya tersebut. Dan budaya tumbuh serta berkembang seirama dengan semakin kompleksnya kehidupan manusia. 

Salah satunya tari, tari memiliki beberapa fungsi antara lain sebagai media persembahan, sebagai media pertunjukan, sebagai media pendidikan serta Media hiburan. Pada saat masa kolonial Belanda sekitar tahun 1940-an tari sintren memiliki fungsi sebagai hiburan bagi para penjajah dan masyarakat. Namun sintren juga memiliki berbagai filosofis dan nilai yang bernafaskan Islam. Sintren berasal dari dua kata yakni si dan tren. Si merupakan kata yang digunakan untuk menunjuk dia/nya, dan tren memiliki arti putri Sehingga kata sintren merujuk pada peran utama kesenian tersebut yakni seorang putri. Menurut bambang Irianto Sintren merupakan budaya yang terbentuk dengan sendirinya dan awalnya hanya sebagai hiburan saja. Menurut tradisi lisan awal mula terbentuknya kesenian sintren memiliki dua versi Kisah yang berbeda  namun jika kita amati keduanya masih memiliki keterikatan perihal kesetian cinta. Pada versi pertama sintren diyakini berasal dari kisah bahurekso yang diperintahkan oleh raja mataram Sultan Agung kala itu untuk memindahkan Rara Rantamsari. namun saat perjalanan bahurekso justru jatuh cinta pada Rara Rantamsari. Oleh karena itu Bahurekso dinilai menyalahi aturan dan diberi hukuman untuk menyerang VOC di Batavia. Saat berpisah Bahurekso memberi sapu tangan sebagai tanda cinta. Namun tidak lama setelah itu diketahui jika Bahurekso telah gugur dalam medan perang namun karena cintanya Rara Rantamsari tidak bisa tertandingi ia pun mencari Bahurekso dengan menyamar sebagai seorang Penari Sintren yakni Dewi Sulasih. Akhirnya ia pun bertemu dengan Bahurekso yang sebenarnya masih hidup namun karena ia merasa gagal dalam penyerangan batavia ia enggan kembali ke Mataram dan memilih bertapa untuk menambah kekuatan agar dapat menyerang Batavia dikemudian hari. Pada versi yang kedua menceritakan tentang Tari sintren berasal dari kisah Rara Rantamsari dan Bahurekso yang tidak mendapatkan restu. Tarian sintren merupakan tarian yang mengisahkan kisah cinta antara Sulasih dan Raden Sulandono putra dari bupati mataram bernama Joko Bahu, Joko Bahu tidak merestui hubungan tersebut hingga Raden Sulondono diperintahkan bertapa oleh ibunya dengan dibekali kain, kain inilah yang nantinya dapat digunakan untuk bertemu dengan Sulasih pujaan hatinya. saat Raden Sulondono bertapa ia bertemu dengan Sulasih yang sedang melakukan pertunjukan tari,  saat pertunjukan inilah Sulasih dimasuki oleh roh rantam dan mengalami kerasukan hingga tak sadarkan diri, saat kerasukan inilah yang disebut sebagai Sintren, saat itu raden Sulandano melempar kain yang disebut dengan balangan. Dari sini saja sudah dapat kita amati jika cerita lisan mengenai asal muasal tari sintren terbagi dalam beberapa versi. Namun jika kita tarik berdasarkan periodikal kebelakang sebenarnya tarian sintren sudah ada bahkan saat masyarakat masih menganut Animisme dan Dinamisme Sintren pada mulanya dilakukan untuk persembahan animisme dan dinamisme  pada masa Hindu – Budha, hal ini dapat kita lihat dari sakralnya upacara yang dilakukan, selain itu pengucapan mantra yang ada pada tarian sintren menambah nilai magis dan sakral tarian tersebut sehingga dapat dikatakan jika memang cikal bakal tari sintren sudah ada sejak masyarakat masih menganut kepercayaan Hindu Budha atau bahkan Animisme dan Dinamisme namun memang belum ada penyebutan nama yang spesifik dan khusus menjelaskan nama tarian tersebut adalah Tari Sintren. Perkembangan tarian Sintren juga bisa kita korelasikan dengan kondisi politik Mataram islam kala itu. Puncak keemasan Mataram terjadi pada masa Sultan Agung pada tahun 1613-1646. Dan Mataram memiliki kawasan hingga Karawang. Sultan Agung memiliki ambisi untuk menaklukan seluruh wilayah dipulau jawa. Namun kala itu hanya Banten dan Batavia yang tidak mau tunduk pada Mataram hingga VOC menguasai Batavia. Sultan Agung melihat VOC sebagai ancaman. Jika penguasa Banten bersekutu dengan mataram atau salah satu dari mereka bersekutu dengan Inggris maka VOC tidak akan pernah mendirikan basis perdagangan di pulau Jawa. Hal ini yang membuat Sultan Agung melakukan serangan ke Batavia. Agar VOC dapat pergi dari wilayah Batavia dan Batavia dapat dengan mudah ditaklukan oleh Mataram.  pengaruh politik Sultan Agung sudah dimulai sejak tahun 1620-an saat pasukan mataram gagal menaklukan Sunda Kelapa tidak mau kembali ke bumi Mataram. Pasukan Mataram Inilah yang nantinya akan hidup dan berakulturasi dengan kehidupan dan kebudayaan masyarakat sekitar. Oleh karena itu bukanlah suatu hal yang mustahil jika  tarian sintren yang awalnya digunakan untuk persembahan hyang dalam kepercayaan Animisme dan Dinamisme Hindu – Budha lantas dimasuki unsur Islam. Seperti yang kita tahu memang Setelah Islam berkembang di nusantara segala aspek kehidupan masyarakat pun diberi unsur bernafaskan islam agar mudah diterima masyarakat.

Baca Juga :   Gelanggang Buku: Arena “Konfrontasi Dua Kebudayaan”

Sintren adalah tarian yang sudah tidak asing lagi bagi sebagian masyarakat yang tinggal di wilayah pantai utara jawa atau biasa yang kita kenal dengan nama Pantura. Tarian Sintren sering disebut sebagai tarian yang mistis karena memang dalam proses pertunjukannya tidak boleh sembarangan. Bahkan sang pawang harus melakukan ritual tertentu dalam rangka memohon kelancaran dalam proses pertunjukan sebelum pertunjukan dimulai. Bahkan pemilihan pawang sintren sendiri pun tidak dapat dilakukan begitu saja. Pawang sintren haruslah berasal dari seseorang yang mendapat wangsit atau ilham secara langsung. Sebelum menjadi pawang sintren ia lebih dahulu mengalami perjalanan ke alam gaib hingga dua kali serta ia pernah didatangi oleh Raden Ayu Dewi lanjar maupun Sunan Kalijaga (Mak marni dalam Triratnawati Atik). Selain Pemilihan pawang yang tidak bisa sembarangan, pemilihan penari sintren pun tidak dapat dilakukan secara asal. Penari sintren yang dipilih haruslah penari yang masih gadis bahkan ada beberapa kelompok sintren yang memilih penari yang belum mengalami masa haid. Maka tidak heran jika tari sintren selalu dikaitkan dengan hal mistis dan sakral. Namun Jika kita meninjau dari segi historis tidak ada tulisan yang secara spesifik menuliskan awal terciptanya kesenian Sintren ini. Tradisi lisan Ada yang mengatakan jika sintren sudah ada sejak masa mataram islam, ada pula yang mengatakan jika sintren adalah hiburan bagi para penjajah serta masyarakat nelayan pada masa penjajahan Belanda. Meskipun memiliki berbagai versi namun tarian sintren adalah tarian yang sudah diwariskan secara turun temurun dan harus kita lestarikan an tidak ada salahnya Jika kita ingin mengetahui sejarah tarian sintren di berbagai wilayah pantai utara jawa jika kita tarik secara periode waktu kebelakang. 

Tarian sintren bukanlah suatu hal yang asing bagi masyarakat yang tinggal disekitar kawasan pantai utara Jawa atau yang biasa lebih dikenal dengan Pantura, Wilayah tersebut antara lain Tegal, Brebes, Pemalang, Pekalongan. karena memang Sintren adalah tarian yang sudah sangat legendaris di wilayah pantura. Bahkan menurut tradisi lisan tarian sintren sudah ada bahkan sejak masa Mataram Islam. 


Gambar penari sintren siap melakukan tarian 

Sintren yang berkembang di setiap daerah tentu saja memiliki perbedaan, ini merupakan hal yang wajar.  Seni merupakan suatu upaya manusia untuk menyatu dengan lingkungannya. Sehingga dapat dikatakan jika tarian yang berkembang disuatu wilayah adalah seni yang sudah berakulturasi dengan kehidupan dan kebiasaan masyarakat sekitarnya. meskipun sama-sama memiliki nama sintren namun bisa saja ritual atau bahkan tata cara pelaksanaannya berbeda.

Menurut Mak Marni seorang pawang Sintren di kelurahan Panjang baru, Kesenian Sintren yang dilakukan di kelurahan Panjang Baru, Pekalongan. Diawali dengan beberapa tahap, tahap yang pertama adalah pra pertunjukan dimana saat itu penampilan sintren haruslah dihitung hari baiknya. Biasanya hari baik itu haruslah memiliki pasaran kliwon. Hal ini bukan tanpa sebab namun karena masyarakat jawa percaya jika pada hari yang memiliki pasaran kliwon adalah hari dimana banyak roh halus berkeliaran sehingga dapat mempermudah dalam pemasukan roh ke dalam tubuh penari. sebelum pertunjukan penari sintren haruslah berpuasa selama tiga hari sebelum pentas. Puasa yang dimaksudkan disini bukanlah puasa makan dan minum saja namun penari tidak boleh tinggal dan tidur di rumahnya sendiri selama tiga hari, setelah 3 hari berpuasa penari harus melakukan keramas atau mandi besar sebagai upaya penyucian diri. tahap Selanjutnya adalah tahap pertunjukan. Diawali dengan bunyi gamelan dan nyanyian yang tidak boleh berhenti ketika tarian sintren dilakukan. Ketika awal lagu ini dinyanyikan penonton akan disuguhkan dengan suasana mistis karena saat itu penari akan mengalami trace atau kemasukan roh. Saat inilah penari akan diikat dan dimasukkan ke dalam sangkar dengan dibekali kosmetik serta baju, setelah keluar dari sangkar penari akan berubah menjadi bidadari yang cantik dan sudah berganti kostum, masyarakat meyakini bahwa jika roh yang merasuki penari adalah bidadari yang cantik dan anggun maka aura dari penari juga akan mengikuti aura roh tersebut, begitupun sebaliknya. Setelah berganti pakaian penari pun akan menari dengan bebas tergantung roh yang merasukinya, jika roh yang merasukinya adalah roh yang lemah lembut maka ia akan menari dengan gemulai dan apabila yang merasukinya adalah roh yang agresif maka ia akan menari dengan energik dan secara tiba-tiba akan ada beberapa orang yang melempar sapu tangan yang berisi uang dan saat itulah penari akan pingsan. Selanjutnya pawang akan mengusap wajah penari sembari membacakan mantra agar roh bidadari kembali lagi dan sintren mulai menari lagi. Setelah semua tahap dilakukan Sampailah pada tahap terakhir yakni penyadaran sintren. Hal ini dilakukan dengan mengembalikan kesadaran penari dan setelah itu barulah lagu boleh berhenti.

Baca Juga :   Romantika Perjuangan Bunda Kemerdekaan

Tari sintren yang dilakukan di desa Pedawang pun berbeda lagi. Menurut Bapak Sukadis dalam Revitalisasi Kesenian Sintren. Didesa ini tarian sintren tidak hanya berfungsi sebagai seni pertunjukan dan hiburan namun juga digunakan sebagai ritual pemanggilan hujan saat kemarau. Selain itu sebelum menjadi pawang, orang yang mendapat wangsit akan melakukan puasa 7 hari 7 malam tidak makan dan minum serta puasa ngrowoto atau hanya akan memakan umbi-umbian saja. Beda dengan tarian sintren di wilayah lain, Pelaksanaan tarian sintren di desa ini tidak dilakukan secara spontanitas Namun memerlukan tahap uji coba terlebih dahulu, serta Dalam segi perlengkapan juga berbeda. Jika di wilayah lain pertunjukan hanya menggunakan gamelan maka di desa Pedawang masih memerlukan gitar sebanyak satu buah, eleton sebanyak satu buah dan kencreng sebanyak satu buah, sehingga dapat kita simpulkan meskipun memiliki kesamaan nama namun tetap saja urutan dan penyajian tarian sintren dapat berbeda disetiap wilayah. Semua tergantung kebiasaan Serta menyesuaikan adat masyarakat sekitar.

 Meski berbeda namun tetap saja secara garis besar tarian sintren memiliki kesamaan pada beberapa adegan sebagai berikut. Menurut Deska Lutfi dalam Kesenian Sintren sebagai kearifan lokal ditinjau dari Metafisika Anton Bakker menjelaskan jika saat pertunjukan sintren penari menggunakan pakaian biasa dengan tangan terikat kemudian dimasukkan ke dalam kurungan ayam atau biasa disebut ranggap yang tertutup kain, jika kita lihat dari nilai filosofis Islam, ranggap ini memiliki makna kehidupan manusia, bentuk ranggap yang melingkar melambangkan kehidupan manusia yang akan berputar, dari tanah dan akan kembali ke tanah. 

Kemudian para penyanyi menyanyikan lagu turun sintren yang diiringi dengan alat musik sederhana. Kemudian saat kurungan dibuka akan muncul penari yang sudah lengkap dengan baju srimpi dengan tangan yang sudah tidak terikat lagi. Ketika menjadi sintren penonton akan melempar uang yang diiringi oleh lagu `duit tali` saat ini lah sintren akan mengalami kerasukan dan tak sadarkan diri, pada bagian ini tari Sintren memiliki nilai filosofis dimana sebagai manusia kita tidak boleh terlalu cinta dan tidak boleh terlalu mengejar hal-hal yang berbau duniawi. Jadi dapat kita simpulkan meskipun tata cara penyajian tarian sintren berbeda namun secara garis besar tarian sintren memiliki pola yang hampir  sama.

Menurut data statistika Pemda Pekalongan tahun 1982 Tari Sintren adalah tari yang pernah sangat populer di wilayah eks Kerasidenan Pekalongan dan Sintren adalah cerita perjalanan cinta dari kesucian gadis dari legenda Bahurekso. Sehingga dapat kita simpulkan jika memang tari sintren berkembang tidak hanya disuatu wilayah saja. Namun berkembang pula di seluruh wilayah bahkan hingga seluruh wilayah eks karesidenan Pekalongan terpengaruh oleh Kesenian Sintren.

DAFTAR PUSTAKA 

Kuntowijoyo (2003) Metodologi Sejarah Edisi kedua Yogyakarta: Tiara wacana 

Triratnawati, Atik dkk (2012) Revitalisasi Kesenian Sintren dikota dan Kabupaten Pekalongan Yogyakarta:BPNB DIY 

Pekerti, Widia (2004) Materi Pokok Pendidikan Seni Musik, Tari, Drama Jakarta: Universitas Terbuka 

Blackburn,Susan (2011) Jakarta:400 Tahun Jakarta:Masup Jakarta 

Darini,Ririn (2013) Sejarah Kebudayaan Indonesia Masa Hindu Budha Yogyakarta: Ombak

https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/empati/article/view/15437 (1-Februari 2017) Ilyas, Zulfikar Makna Spiritualitas Pada Penari Sintren diPekalongan.

https://www.neliti.com/publications/124437/kesenian-sintren-sebagai-kearifan-lokalditinjau-dari-metafisika-anton-bakker (April-2016) Deska, lutfi Kesenian Sintren Sebagai Kearifan Lokal dari Metafisika Anton Bakker 

https://scholar.google.com/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=seni+pertunjukan+sintren+dikabupaten+indramayu&btnG=#d=gs_qabs&u=%23p%3DgfFRja-g7TAJ (27 Januari 2017) Dian Nurlaelasari dkk Seni Pertunjukan Sintren di Kabputane Indramayu Dalam Perspektif Historis 

https://scholar.google.com/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=fungsi+tari+sebagai+seni+pertunjukan&oq=fungsi+tari+sebagai#d=gs_qabs&u=%23p%3DBAe2kk1IP4kJ (2 Februari 2001) Ratih, Endang Fungsi Tari Sebagai Seni Pertunjukan

https://ojs.ikippgribali.ac.id/index.php/socialstudies/article/view/410 (30- September-2014) Yumiarika,Putu Pengaruh Penyerangan Sultan Agung keBatavia Terhadap Kondisi Politik dan Ekonomi Mataram tahun 1013-1646

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts