Sejarah Ilmu Kanuragan di Kampung Ndresmo Surabaya

Dulu di kampung Pondok Ndresmo, para santri diwajibkan untuk mempelajari ilmu kanuragan guna melindungi diri dari serangan penjajah. Mereka mempelajari sebuah seni bela diri yang dikenal sebagai “Pandawa Lima” yang konon memiliki beberapa jurus mematikan seperti Lembu Sekilang, Kentut Semar, dan lain-lain. Seni bela diri ini berasal dari luar Indonesia, tepatnya dari negara Yaman. Salah satu pendekar terkenal pada masa itu adalah leluhur nenek dari K. Mas Subhan Abdul Qodir.

Oleh Muchamad Rizki Syahroni

Selain ilmu kanuragan, kampung ini juga memiliki berbagai jenis jimat sakti seperti Minyak Banteng, Minyak Selamet, Minyak Quran, dan yang paling terkenal adalah Baju Antakusumo. Jimat ini berupa rompi anti peluru yang dilengkapi dengan ayat-ayat Al-quran di dalamnya, sehingga membuat pemakainya kebal terhadap segala jenis serangan. Pada zaman dahulu, baju antakusumo sering digunakan dalam peperangan karena dahulu rata-rata senjata yang digunakan adalah bambu runcing dan benda-benda tajam. Rompi antakusumo menjadi perisai yang kokoh dan memberikan perlindungan yang tak tertandingi terhadap ancaman tembakan peluru. Sampai sekarang, baju ini masih ada dan dapat dimiliki tetapi orang yang ingin menggunakan rompi ini harus memenuhi persyaratan yang ketat. Diantara syarat tersebut, ada larangan untuk sombong dan angkuh karena rompi ini tidak hanya memberikan kekuatan fisik, tetapi juga menguji keberanian dan kesederhanaan jiwa. Mereka yang mengenakan rompi ini harus menjaga kerendahan hati dan menghindari sikap sombong yang dapat merusak esensi dan kekuatan spiritual yang dikandungnya.

Selain itu, pemakai rompi antakusumo juga dilarang melakukan perbuatan tercela atau asusila. Mereka harus hidup dalam kesalehan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan. Pakaian ini merupakan simbol kesucian dan kesalehan, dan siapapun yang memakainya harus menjaga integritas moral yang tinggi.

Selain itu, ada juga peraturan yang melarang penggunaan bra tersebut di kamar mandi atau saat tidur. Rompi antakusumo bukan sekedar pakaian biasa, melainkan bentuk perlindungan yang sakral. Oleh karena itu, untuk menjaga kesucian dan kemurnian energi yang dikandungnya, pemakainya disarankan untuk menjauhkannya dari tempat-tempat yang dianggap tidak pantas atau tidak suci.

Ada juga beberapa ketentuan lain dalam ketentuan yang telah ditentukan yang harus diikuti dengan penuh ketaatan. Pemakai rompi antakusumo harus mengikuti aturan dan tradisi adat nenek moyang mereka. Kepatuhan terhadap syarat-syarat tersebut tidak hanya sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan kuno, tetapi juga sarana untuk menjaga kekuatan dan kualitas rompi ini.

Rompi antakusumo dengan segala keistimewaannya mengajarkan kepada pemakainya untuk hidup dalam kesederhanaan, kesucian dan ketaatan. Rompi ini tidak hanya menawarkan perlindungan fisik, tetapi juga memperkuat karakter yang kuat dan tegak. Siapapun yang memutuskan untuk mengenakan rompi antakusumo harus bersiap untuk perjalanan spiritual yang membutuhkan keikhlasan dan kepercayaan diri yang tinggi.

Selain itu, ada juga Minyak Al-quran. Pada zaman dulu, ada seorang ulama bernama Mbah Ubaidilah yang gemar membaca Al-quran. Dikarenakan begitu sering beliau membaca Al-quran yang dilapisi kulit atau pelepah, minyak mulai keluar dari pelepah tersebut. Minyak yang menetes tersebut disebut minyak Al-quran. Minyak Al-quran ini memiliki fungsi serupa dengan Baju antakusumo saat dimasukkan ke dalam tubuh. Namun, orang yang telah mengkonsumsi minyak Al-quran harus menghindari pelanggaran tertentu karena jika dilanggar, minyak tersebut dapat merusak tubuh hingga menyebabkan kematian karena minyaknya menyatu dengan tubuh. Berbeda dengan baju antakusumo yang bisa dilepas. Minyak Al-quran masih ada sampai sekarang dan banyak orang Madura serta para pelancong yang menginginkannya.

Baca Juga :   Jejak Revolusi di Museum Perjuangan Bogor

Namun di Ndresmo, semua hal tersebut tidak lagi disembunyikan di lingkungan desa, tetapi tetap dijaga dari pengetahuan masyarakat umum karena takut akan penyalahgunaan ilmu tersebut. Ilmu-ilmu tersebut awalnya dikembangkan untuk melawan penjajah yang mengancam kampung tersebut. Bahkan jika seni Silat Ndresmo digunakan, itu merupakan kekuatan yang sangat mematikan dan tidak ada orang yang berani mendekati karena sekali terkena pukulan, lawan akan langsung menemui ajal. Di Ndresmo, ilmu-ilmu seperti itu tidak diajarkan untuk kepentingan kesombongan tetapi semata-mata untuk menjaga keselamatan karena pada masa lalu, ilmu-ilmu tersebut digunakan dalam pertempuran yang sengit.

Kini, rahasia tersebut terjaga dalam dinding-dinding Ndresmo, hanya diwariskan kepada mereka yang dianggap pantas menerimanya. Setiap langkah gerakan dalam seni Silat Ndresmo mengandung kekuatan yang maha dahsyat. Kecepatan dan ketepatan setiap serangan, gerakan yang begitu lincah, serta kekuatan yang tak terduga, semuanya merupakan bagian dari pusaka ilmu yang dijaga dengan ketat.

Kampung Ndresmo memegang teguh prinsip bahwa ilmu-ilmu tersebut tidak boleh digunakan dengan sembrono. Siapa pun yang mempelajari dan menguasai ilmu-ilmu ini menyadari tanggung jawabnya. Dalam sejarah panjang mereka, ilmu-ilmu tersebut digunakan hanya dalam situasi yang benar-benar kritis, untuk melindungi kampung dari ancaman penjajah. Penggunaannya dibatasi pada momen-momen di mana nyawa dan keselamatan menjadi taruhannya.

Tidak ada yang dapat menganggap enteng kehebatan seni Silat Ndresmo. Setiap gerakan penuh makna, setiap jurus menyimpan kekuatan maha dahsyat. Karena itu, orang-orang di sekitar Ndresmo pun berhati-hati dan dengan hormat menjaga jarak dari ilmu-ilmu yang mengandung kekuatan misterius tersebut. Masyarakat umum pun tidak diperkenankan mengetahui secara rinci rahasia-rahasia tersebut. Tujuannya untuk menjaga agar tidak disalahgunakan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab.

Kampung Ndresmo, dengan segala keunikan dan keberaniannya, terus mempertahankan warisan ilmu-ilmu yang mematikan tersebut. Ia menjadi penjaga pengetahuan yang kuno namun berharga, menjaga tradisi yang melambangkan semangat perjuangan dan keberanian melawan penjajah. Dalam kedamaian dan keheningan kampung, tersembunyi segelintir pejuang-penguasa ilmu yang tetap menjaga kehormatan dan keteguhan hati mereka, siap untuk melindungi dan mempertahankan warisan itu dengan harga diri mereka sendiri.

Keterlibatan saat melawan Belanda

Ketika peristiwa 10 November, santri-santri dari Ndresmo bergabung dalam pertempuran di Surabaya bersama dengan santri-santri dari Jombang. Di Ndresmo, terdapat banyak tentara, termasuk kakek K. Mas Subhan, salah satu pejuang yang tak kenal takut. Kakek beliau bahkan tercatat sebagai orang yang membunuh Jenderal Malabi. Dalam catatan sejarah, Jenderal Malabi dikabarkan tewas akibat ledakan bom, tetapi sebelum itu, kakek beliau yang dijuluki Mbah Koncer, dengan penuh keberanian, menusuk Jenderal Malabi menggunakan pisau atau belati. Baju tentara yang menjadi warisan dari kakek beliau terlihat berlubang-lubang akibat hujan peluru. Namun di dalamnya tersimpan baju Antakusumo yang legendaris. Pada masa lalu, banyak orang yang belajar ilmu sakti di kampung tersebut, tetapi setelah negara merdeka, ilmu-ilmu tersebut perlahan-lahan menghilang, tersimpan dalam lembaran sejarah yang semakin pudar.

Orang-orang dari Sidosermo juga turut berjuang dalam perang tersebut. Namun peran mereka tetap tertutup rapat dan sejarah mereka tidak ditulis. Hal ini disebabkan oleh keinginan mereka untuk menjaga keikhlasan mereka dalam membela negara agar tidak terlupakan. Meskipun Sidosermo berdekatan dengan Ndresmo, yang terkenal dengan ilmu-ilmu yang aneh dan luar biasa, peran orang-orang Sidosermo tetap dirahasiakan dan misterius.

Baca Juga :   Kajian Dampak Sosial dalam Konflik Masyarakat Samin vs Semen Indonesia 

Kedekatan geografis Ndresmo dengan Surabaya menyebabkan orang-orang Ndresmo pernah mengalami pengasingan oleh pemerintah Surabaya. Hal ini disebabkan oleh ketakutan dan reputasi menakutkan yang melekat pada Ndresmo. Bahkan pada masa lalu, wilayah Surabaya sudah dilengkapi dengan lampu listrik, sementara Ndresmo baru mendapatkan lampu pada tahun 70-an. Keterlambatan tersebut menjadi bukti nyata bagaimana Ndresmo dianggap sebagai wilayah yang terisolasi dan terpinggirkan.

Namun, meskipun mereka diasingkan dan terpinggirkan, semangat dan keberanian orang-orang Ndresmo tetap berkobar. Mereka mempertahankan kekayaan ilmu-ilmu yang aneh dan legendaris yang membuat Ndresmo terkenal. Walau lampu-lampu modern sudah menerangi Surabaya, api semangat dan warisan ilmu dari Ndresmo terus menyala di dalam hati dan jiwa mereka yang teguh.

Ndresmo sering kali menjadi target utama serangan dari pihak Belanda, terutama karena keterlibatan keturunan Mbah Ali Akbar, seorang ulama dari Ndresmo yang gigih melawan penjajah Belanda. Mbah Ali Akbar bahkan berdoa kepada Allah agar keturunannya tidak tampak terlalu berkecenderungan Arab. Meskipun situasinya berbahaya, mayoritas penduduk Ndresmo enggan untuk mengungsi. Bahkan terjadi suatu kejadian di masa perang yang mana bom-bom sering kali dijatuhkan oleh pasukan Belanda di kawasan kampung. Namun dengan keajaiban yang tak terduga, bom-bom tersebut tidak meledak. Orang-orang Ndresmo kemudian memutuskan untuk mengumpulkan bom-bom tersebut dan menguburkannya di belig (sebuah tempat penampungan air untuk mencuci).

Namun, seiring dengan berakhirnya masa penjajahan dan hilangnya musuh, ilmu-ilmu yang dimiliki oleh Ndresmo tidak diajarkan lagi. Ilmu-ilmu yang berharga itu pun perlahan-lahan menghilang, tersapu oleh arus perubahan zaman.  Tersisa hanyalah baju antakusumo yang legendaris dan jimat-jimat lainnya yang menjadi peninggalan berharga dari masa kejayaan tersebut. Masyarakat Ndresmo merasa kehilangan akan ilmu-ilmu yang memperkuat mereka tetapi mereka tetap memegang teguh baju dan jimat sebagai simbol-simbol penting dari masa lalu yang heroik.

Referensi

Vansina, Jan. Oral Tradition as History. Madison: University of Wisconsin Press, 1985.

Ong, Walter J. Orality and Literacy: The Technologizing of the Word. London: Methuen, 1982.

Thompson, Paul. The Voice of the Past: Oral History. Oxford: Oxford University Press, 2000.

Wawancara langsung oleh pengurus pondok Al-Haqiqi Al-Falahi Joyonegoro yang bernama Mas Syafi’I Ulin Nuha

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts