Sejarah Gerakan Separatis Republik Maluku Selatan (1950-1963) Bagian II

Menurut Lerissa (1993, hlm. 59) ada tiga jalan yang secara hirarki ditempuh oleh pemerintah guna menyelesaikan masalah Republik Maluku Selatan yaitu penyelesaian damai, penyelesaian militer untuk menankap pelaku intelektual dan pembentukan aparat dan aparatur negara berupa Pemda dan Kodim di Maluku Selatan

Oleh Muhammad Galih

Proklamasi Republik Maluku Selatan (RMS) 25 April 1950 yang didalangi oleh Soumokil bukanlah aspirasi dan keinginan seluruh rakyat Maluku Selatan. Proklamasi ini lebih merupakan keinginan pribadi Soumokil dan beberapa orang agen imperialis yang sejak lama tidak menghendaki kemerdekaan keutuhan wilayah kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah RIS saat itu tidak membiarkan pengaruh RMS menyebar semakin luas. Menurut Lerissa (1993, hlm. 59) ada tiga jalan yang secara hirarki ditempuh oleh pemerintah guna menyelesaikan masalah Republik Maluku Selatan. Pertama, penyelesaian secara damai yang berkisar pada penolakan wakil PBB ataupun pihak Belanda untuk campur tangan dan kemudian misi perdamaian yang dikirim pemerintah seperti misi Leimena dan misi dari kelompok masyarakat Maluku di Jawa dan Sumatera dan bagaimana hasilnya. Kedua, penyelesaian secara militer yang bertujuan untuk menangkap otak gerakan RMS dengan penangkapan Soumokil pada tahun 1962. Ketiga, pembentukan aparat kekuatan Republik di Maluku Selatan berupa Pemda dan Kodim.

Penyelesaian Secara Damai

Pemerintah Indonesia yang sudah mengetahui adanya peran Pemerintah Hindia Belanda di belakang aksi RMS. Pemrintah Indonesia tidak kaget ketika Perdana Menteri Belanda Dr. Willem Drees menghimbau Pemerintah Indonesia agar masalah pemberontakan RMS diselesaikan secara damai. Cara penyelesaian secara damai atau melalui perundingan. Perundingan yang dilakukan melalui tiga cara. Pertama, pemerintah RIS mengirim Dr. Leimena serta tokoh-tokoh masyarakat lainnya yang masih berkaitan dengan Maluku. Namun misi damai ini ditolak oleh Soumokil.  Dr. Leimena dipandang sebelah mata. Soumokil dan kawan-kawan melalui surat yang dibawa utusannya pada I Mei 1950, menolak pembicaraan damai dengan tetap berpegang pada pendiriannya semula. Soumokil hanya ingin bersedia melakukan perundingan damai jika pihak UNCI dilibatkan. Bahkan para pendukung RMS menyatakan bahwa mereka berencana untuk menempatkan zaakgelastigdenya di Amerika. 

Dr. Leimena sangat prihatin atas penolakan Soumokil untuk berbicara di meja perundingan. Menanggapi penolakan Soumokil, Kementerian Pertahanan berpendirian bahwa pengacau-pengacau politik dan militer yang dipimpin Soumokil menolak untuk berbicara dengan suatu delegasi Dr. Leimena. Maka dengan demikian mereka bertanggung jawab sepenuhnya terhadap segala kesulitan dan penderitaan rakyat. 

Pada perundingan kedua, pemerintah RIS menyelenggarakan Konferensi Maluku pada 12 dan 13 Juni 1950 di Semarang yang dihadiri wakil-wakil penduduk Maluku dari seluruh Indonesia. Wakil-wakil tersebut kemudian membentuk satu misi persaudaraan yang terdiri dari Domine Siahaja, Sapulete, J. Fernandes, J. Tamasale, dan A Kailola. Konferensi yang dihadiri oleh sembilan organisasi rakyat Maluku di Jawa dan Sumatera menghasilkan tujuh butir pernyataan untuk pemerintah sebagai masukan dalam menyelesaikan peristiwa RMS. Dalam konferensi ini, para politikus asal Ambon yang umumnya terdiri tokoh zaman pergerakan telah menganjurkan agar masyarakat Maluku mengirim suatu misi perdamaian ke Ambon (Poesponegoro & Notosusanto, 1984, hlm. 61-62). Pernyataan yang dimajukan kepada pemerintah itu menegaskan bahwa peristiwa RMS bukanlah dilakukan oleh rakyat Maluku Selatan, tetapi oleh kaum reaksioner yang tidak lain adalah agen-agen imperialis yang tidak menghendaki eksistensi RI dalam satu kesatuan yang utuh. Konferensi mengimbau pemerintah agar mengutamakan 61 penyelesaian damai karena sebagian besar rakyat Maluku Selatan tidak bertanggung jawab atas makar itu dan tetap menjadi bagian yang utuh dari bangsa Indonesia. Misi persaudaraan yang diutus ke konferensi pun tidak mendapat tanggapan yang positif dari Soumokil dan kawan-kawannya sehingga langkah kedua pun gagal.

Baca Juga :   Fotografi di Hindia Belanda

Pada perundingan yang terakhir atau cara ketiga yang ditempuh pada Agustus 1950, Dr. Rehatta mencari hubungan lagi dengan Soumokil dan kawan-kawan untuk penyelesaian damai. Karena masih belum mendapat kabar, maka pemerintah mengutus Menteri Kesehatan Dr. Rehatta pun mengalami kegagalan karena Soumokil tetap menolak untuk damai. Langkah-langkah itu membuktikan kesungguhan dari pemerintah dan bangsa Indonesia secara keseluruhannya untuk menyelesaikan masalah RMS dengan jalan musyawarah, tetapi RMS dalam setiap pernyataannya selalu menolak misi yang didatangkan dengan mempergunakan alat pengangkutan RIS dalam corak dan bentuk apa pun.

  1. Pelaksanaan Operasi Militer

Karena usaha melalui perundingan mengalami kebuntuan maka pemerintah dengan terpaksa akan melakukakan Opeasi Militer. Operasi penumpasan ini dinamakan Gerakan Operasi Militer (FOM). Setelah melalui berbagai upaya, penyelesaian damai  tampaknya tidak mendapat tempat dalam benak para pelaku makar. Soumokil dan kawan-kawan tetap bersikukuh pacta pendiriannya mempertanahankan RMS yang terpisah dari wilayah kedaulatan RIS. Dengan tetap berharap bahwa peristiwa RMS akan dapat diselesaikan secara damai, tetapi pemerintah juga tidak menghendaki keadaan bertambah parah. Angkatan Darat RIS dengan dibantu oleh beberapa kapal perang Angkatan Laut RIS mendaratkan pasukan-pasukannya di Pulau Buru pada 14 Ju1i 1950 puku1 09.00 waktu Maluku. Dua hari berikutnya, 16 Juli 1950 jam 08.30 waktu Maluku, pasukan RIS memasuki Namle, kemudian pasukan RIS te1ah tersebar di seluruh Pu1au Bum. Rakyat Maluku Selatan yang secara berkepanjangan diteror oleh para pemsuh, menyambut gembira kehadiran Angkatan Perang RIS yang datang untuk memelihara dan menjamin suasana aman, serta menumpas habis para pelaku makar hingga ke akar-akarnya. Angkatan Perang RIS bahu-membahu dengan rakyat menyingkirkan para perusuh dan menangkap mereka untuk diajukan ke pengadilan.

Setelah pemerintah dengan segala usahanya mengadakan musyawarah dengan kelompok orang RMS menemukan kegagalan , pemerintah memutuskan untuk melakukan operasi militer terhadap petualangan-petualangan Soumokil. Menteri Pertahanan menunjuk Kolonel Kawilarang sebagai komandan ekspedisi. Demi keamanan nasional, disusunlah gerakan operasi militer dalam suatu Komando Pasukan Maluku Selatan atau Kompas Maisel di bawah pimpinan Panglima Ko TT IT Kolonel Kawilarang kemudian diserahkan kepada Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Dengan Komando Pasukan Maluku Selatan mulai dilancarkan gerakan-gerakan operasi militer, yaitu : (1 ) Operasi Malam, (2) Operasi Fajar, (3) Operasi Senopati, (4) Operasi Pulau Maluku, (5) Operasi Bintang Siang, dan (6) Pasukan Penutup (Poesponegoro & Notosusanto, 1984). Komando Te ntara dan Territorium VII Indonesia Timur membentuk Komand o Pasuk an Maluku Se latan (KPMS) di bawah komandan ope rasi Kolonel AE. Kawilarang (Panglima TT VII Indonesia Timur) yang kemudian dite ruskan oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi berh asil mereb ut Pulau Buru, Pu lau Seram, Pulau Ambon, dan Pulau Lease .

Setelah melalui pertempuran yang begitu sulit, pada 29 September 1950 pukul 06.30 Hitu dapat dikuasai o1eh TNI Gerakan Operasi diteruskan untuk menguasai Kota Ambon. Setelah Hitu dikuasai, sasaran berikutnya adalah daerah Hasal, Wanat, Telaga Kodok, dan Durian Patah. Karena medan pertempuran yang sangat menguntungkan lllUsuh, maka hingga 7 Oktober 1950. Dengan jatuhnya Ambon, maka perlawanan RMS praktis sudah di patahkan.

Dengan adanya pemberontakan tersebut tentu akan sanagt mengganggu kestabilan kondisi sosial politik. Karena perjuangan RMS di Indonesia berhasil dituntaskan, ternyata perjuanagan dalam mendapatkan hak merdeka penuh di parlemen Belanda. Pada tahun 1960 sampai 1965 operasi dilaksanakan dengan tujuan penumpasan terhadap sisasisa pasukan RMS di pulau Seram dan sekitarnya. Sasaran utama dalam operasi tersebut mencari tempat persembunyian Dr. Somokil beserta pengikutnya. Adanya disiplin yang kuat dan strategi yang baik, maka pada tanggal 15 Agustus 1963 pasukan TNI mendapat informasi mengenai jejak Somokil dan keluarganya. Dari informasi ini pasukan dibentuk menjadi Batalyon Cadangan Pemburu Khusus dibawa komando Pelda Rochijat dari Batalyon 320 Siliwangi. Tanpa mengenal lelah pengejaran terus dilakukan, melewati hutan yang lebat, sungai, pasukan tetap disiplin. Akhirnya pada tanggal 2 Desember 1963 otak dari Gerakan Separatis RMS, Dr. Soumokil tertangkap beserta keluarganya dalam sebuah gubuk di Waitoto, 14 jam perjalanan dari pantai Sawai Pulau Seram. 

Baca Juga :   Pencak Silat dalam Perjalanan Sejarah Indonesia 

Setelah Dr. Soumokil Menyerah, ia mengeluarkan statement yang ditujukan kepada para pengikutnya untuk menghentikan segala tindakan dan pengejaran yang bersifat anti Republik Indonesia. Dengan tertangkapnya Dr. Soumokil, maka riwayat hidup RMS telah selesai. Hal itu sesuai dengan statement yang dikeluarkan oleh Soumokil yang menyatakan bahwa “sejak tanggal 2 Desember 1963 hapuslah riwayat hidup dari RMS seperti sebuah fatamorgana, Segala keputusan-keputusan dari Ir. Manusama yang berdiam di Belanda dibatalkan”. Perjalanan Dr. Soumokil, tokoh utama gerakan separatis RMS berakhir dengan dijatuhkannya hukuman mati oleh Mahkamah Militer Luar Biasa di Jakarta pada tanggal 4 April 1964 (Suparwato, 2013, hlm. 605)

Dampak Pemberontakan RMS

Pemberontakan RMS ini menjadi beban psikologis bagi pemerintah Belanda, karena mereka pada akhirnya harus menerima bekas-bekas KNIL untuk dibawa ke negeri Belanda dan menetap di sana. Dengan itu, maka tampak pula dukungan pemerintah kolonial Belanda terhadap geraka n Pem bero ntakan RMS. Di dalam perkembangannya kemudian, walaupun Soumokil baru tertangkap pada tahun 1962, namun pemberontakan RMS tidak pemah mampu meluaskan ide gerakannya secara lebih luas di Provinsi Maluku. Namun demikian, “gangguan” terus datang dari RMS yang setelah ditumpas di Ambon-Maluku Selatan, memudahkan kegiatan politiknya di Den Haag dan kota-kota lain di Negeri Belanda. 

Dalam konteks global gerakan ini mulai mencari dukungan masyarakat internasional melalui jaringan internasional di internet. Tema yang selalu diusung oleh kelompok RMS adalah perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), menjadi kelompok yang selalunya tertindas dan penentuan nasib sendiri. Kelompok RMS saat ini diibaratkan sebagai kelompok separatis yang posisi dan kedudukannya tidak lagi mendapat dukungan oleh dunia internasional, namun secara idiologi, RMS masih terus hidup dan berkembang khususnya di negeri Belanda (Hartati, 2010). 

Daftar Pustaka

Agung, I. (1985). Dari Negara Indonesia Timur ke RIS. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Alwi. (2005). Sejarah Maluku Banda Neira,Ternate, Tidore, Ambon. Jakarta: Dian Rakyat.

Aman. (2015). Sejarah Indonesia Masa Kemerdekaan 1945-1998. Yogyakarta: Ombak.

Fuar, J. A. (1956). Peristiwa Republik Maluku Selatan. Jakarta: Bulan Bintang.

Gonggong, A. (2006). Sejarah Pemberontakan Bersenjata di Indonesia: Sketsa Pergumulan di Dalam Era Kemerdekaan Tahun 1948-2006. Jurnal Hukum Humaniter Vol. 2(3), 456-479.

Hartati, A. Y. (2010). Separatisme Dalam Konteks Global (Studi Tentang Eksistensi Republik Maluku Selatan (RMS) Sebagai Gerakan Separatis Indonesia). SPEKTRUM Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Vol. 7(2), 1-10.

Ismaun. (2005). Sejarah sebagai ilmu. Bandung: Historia Utama Press.

Kuntowijoyo. (1995). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Lerissa, R. Z. dkk. (1993). Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan Negara dan Kesatuan RI: Kasus Republik Maluku Selatan. Jakarta: Depdikbud.

Poesponegoro, M. D. & Notosusanto, N. (1984). Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.

Suparwarto. (2013). Upaya Pemerintah Indonesia Dalam Menyelesaikan Gerakan Separatis Reoublik Maluku Selatan. AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Vol. 1(3), 598-606.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts