Sejarah Gedung De Javasche Bank Surabaya

Kelahiran institusi perbankan pertama di Indonesia tidak terlepas dari adanya kolonial Hindia Belanda Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) di Indonesia. VOC merupakan perusahaan induk dari penghimpun perusahaan-perusahaan dagang Belanda. Mereka mengukuhkan kekuasaanya di Batavia pada tahun 1619. Untuk memperlancar dan mempermudah aktivitas perdagangan VOC di Nusantara, pada tanggal 20 Agustus 1746 didirikan  De Bank van Leening . Namun pada perjalanannya, De Bank van Leening tidak dapat beroperasi dengan baik. Bank ini kemudian dilebur ke dalam De Bankcourant yang didirikan pada tanggal 1 September 1752 dan namanya berubah menjadi De Bankcourant en Bank van Leening pada tanggal 5 September 1752 (Ginting, 2014, hlm. 19). Akan tetapi De Bankcourant en Bank Van Leening ini mengalami kebangkrutan akibat tidak bisa beroperasi dan pada akhirnya ditutup. Kemudian bank ini berubah menjadi De Bank Courant en Bank van Leening pada 1752. Pada akhir abad ke-18, VOC telah mengalami kemunduran, bahkan kebangkrutan. 

Oleh : Muhammad Galih 

De Javasche Bank yang didirikan pada tahun 1828, merupakan bank Belanda yang berhasil berkembang dan merupakan cikal bakal bank sentral Indonesia di kemudian hari. Bank Belanda lainnya seperti Nederlandsch Indische Escompto Maatschapij, Maatschapij, Nederlandsch Indische Handelsbank, dan Nederlandsche Handel Maatschapij mulai beroperasi berturut-turut pada tahun 1857, 1864, dan 1883. De Javasche Bank oleh pemerintah Hindia Belanda diberi hak untuk melakukan monopoli dalam mengeluarkan uang yang semula pengedarannya ditangani atau diatasi oleh pihak pemerintah Belanda sendiri. Sejak itu bank tersebut terkenal sebagai bank sirkulasi atau bank of issue.

De Javasche Bank (DJB) merupakan bank sirkulasi tertua di wilayah Asia. Didirikan tahun 1828 setelah mendapatkan oktroi dari raja Willem I. Bank ini berusaha menjalankan tugasnya sebagai bank yang mengatur peredaran uang Hindia-Belanda (Margiyanti, tanpa tahun, hlm. 2). Bank ini berusaha menjalankan tugasnya sebagai bank yang mengatur peredaran uang Hindia-Belanda. Pendirian De Javasche Bank juga dilakukan untuk menjalankan kegiatannya di Hindia Belanda. Empat tahun sebelum didirikannya De Javasche Bank, berdiri sebuah perusahaan dagang yang bernama Naderlandsche Handel Maatschappij (NHM). Perusahaan ini dibangun dengan modal yang sangat besar yaitu f37 juta. Modal sebesar itu digunakan untuk membiayai investasi di bidang perkebunan besar. 

De Javasche Bank Surabaya secara resmi dibuka pada tanggal 14 September 1829, tetapi pada tahun 1910 gedung ini dirobohkan dan diganti dengan gedung baru hasil rancangan arsitek terkemuka benama N.V. Architecten-ingenieursbureau Hulswit en Fermont te Weltevreden en Ed. Cuypers te Amsterdam yang didirikan pada tahun 1910 oleh Eduard Cuypers (1859-1927) dan Marius J. Hulswit, bersama A.A Fermont (Kwanda, 2013, hlm.  42). Meskipun De Javasche Bank didirikan sebagai perusahaan swasta, akan tetapi modal pendiriannya disediakan oleh pemerintah dan Nederlandsche Handel Maatschappij (N.H.M) sebuah perusahaan dagang besar yang pemegang saham utamanya adalah Raja Belanda (Ismail, 2010, hlm. 338). 

Pada awalnya, De Javasche Bank berfungsi sebagai bankir bagi pemerintah Hindia Belanda dan belum sepenuhnya menjadi bank sentral. Hal ini terjadi karena bank ini hanya menjalankan beberapa tugas yang biasanya dilakukan oleh Bank Sentral, seperti mengeluarkan uang dan mengedarkan uang kertas, mendiskonto wesel, surat hutang jangka pendek, dan obligasi negara, menjadi kasir pemerintah, menyimpan dan menguasai dana-dana devisa, serta bertindak sebagai pusat kliring sejak tahun 1909. Walaupun De Javasche Bank ini bertugas sebagai bank sirkulasi tetapi bank ini juga menjalankan tugas sebagai bank umum sehingga turut ikut bersaing dengan bank-bank lainnya. 

Pada awalnya, aspek utama kegiatan De Javasche Bank terdiri atas kegiatan diskonto surat berharga (promissory notes) yang dikeluarkan oleh pembeli barang impor sesuai dengan permintaan importer. Hingga tahun 1850-an, De Javasche Bank masih merupakan satu-satunya lembaga bank yang memberikan kredit kepada pedagang yang terkait kebijakan cultuurstelsel. Meskipun dengan kekuatan modalnya memungkinkan De Javasche Bank untuk mempunyai peranan penting dalam perkreditan dalam jumlah besar, ditambah dengan hak untuk mengedarkan uang kertasnya sendiri. Namun De Javasche Bank belum dapat dikatakan sebagai bank sentral untuk Hindia Belanda. Melihat peranannya pada periode ini, De Javasche Bank hanya sekedar mengurus administrasi transfer dari lembaga moneter Belanda ke Hindia Belanda dan tidak bertindak lebih dari sebagai perantara dalam arus uang (Margiyanti, tanpa tahun, hlm. 5).

Memasuki abad ke-20, De Javasche Bank masih bertahan sebagai bank sirkulasi untuk Hindia Belanda bahkan kantor cabangnya semakin bertambah luas dan menyebar ke beberapa wilayah Hindia Belanda. Tahun 1922, pemerintah mengganti landasan hukum De Javasche Bank yang sebelumnya berupa oktroi diganti dengan undang-undang. Perubahan ini ditandai dengan diberlakukannya De Javasche Bank Wet (DJB Wet) pada tanggal 31 Maret 1922. Sejak berlakunya DJB Wet, De Javasche Bank memperoleh wewenang dari pemerintah Hindia belanda yang hanya dapat dilakukan oleh suatu bank sentral. Meski demikian, undang-undang tidak jauh berbeda dengan oktroi yang berlaku sebelumnya yaitu masih menetapkan De Javasche Bank sebagai bank sirkulasi sekaligus bank komersial di Hindia Belanda (Grup Riset Kebanksentralan, 2014, hlm. 14-15). Adanya perubahan undang-undang De Javasche Bank ini, menandakan bahwa terdapat campur tangan pemerintah kolonial yang sangat kuat terhadap De Javasche Bank. Dalam undang-undang baru yang ditetapkan  yang pada tahun 1922 ini pemerintah kolonial berhak untuk memberikan supervisi kepada De Javasche Bank. Pemerintah juga mempunyai hak untuk menunjuk komisaris yang mewakili pemerintah pada Dewan Komisaris.

Baca Juga :   PKI dan Pendidikan: Manifestasi Merdeka dari Kebodohan

Selama paruh waktu pertama abad ke-20, De Javasche Bank di seluruh Hindia Belanda berusaha untuk menstabilkan perekonomian di Hindia Belanda. Namun sebelum perekonomian di Hindia Belanda tertata rapi pada tahun 1942, Hindia Belanda berhasil direbut oleh Jepang. Seetelah menguasai Hindia Belanda, pada 11 April 1942 pemerintah Jepang segera melikuidasi semua lembaga keuangan milik Eropa, termasuk De Javasche Bank. Pada masa pendudukan Jepang ini De Javasche Bank sempat ditutup. Kemudian De Javasche Bank baru dibuka kembali setelah Jepang sudah tidak berkuasa di Indonesia. Selama ditutup, tugas De Javasche Bank ini digantikan oleh Nanpo Kaihatsu Ginko yang bertugas mengatur keuangan Jepang pada tahun 1943. Tugas dari Nanpo Kaihatsu Ginko ini adalah sebagai bank sirkulasi menggantikan De Javasche Bank. Pasca kekalahan Jepang dalam Perang Dunia ke II dan Indonesia mulai melakukan pembenahan dari sektor ekonomi khususnya pada sektor perbankan. 

De Javasche Bank Pasca Kemerdekaan

Situasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, membawa angin segar bagi bangsa Indonesia untuk menggerakan roda perbankan dengan melakukan nasionalisasi terhadap perbankan-perbankan yang ada. Keberhasilan sekutu mengalahkan Jepang, mengembalikan kemunculan bank-bank Belanda dan bank-bank asing. Izin pembukaan bank Belanda di wilayah Indonesia dikeluarkan pada tanggal 2 Januari 1946 oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Bank-bank pun kembali beroperasi di beberapa wilayah Indonesia (Ginting, 2014, hlm. 21). 

Gedung De Javasche Bank Surabaya (Sumber : https://en.wikipedia.org/wiki/Museum_Bank_Indonesia,_Surabaya)

Jepang meninggalkan Indonesia dalam keadaan yang porak-poranda. Tercatat hingga maret 1946 jumlah uang beredar di Wilayah Hindia Belanda pada saat itu berjumlah sekitar 8 milyar Gulden. Hal tersebut menimbulkan hancurnya nilai mata uang dan memperberat beban ekonomi wilayah Hindia Belanda. Hancurnya nilai mata uang pasca kemerdekaan juga dipengaruhi dengan kebijakan sistem pembayaran masa revolusi sejak dikeluarkannya Maklumat Presiden republik Indonesia No. 1/10 tanggal 3 Oktober 1945 yang menetapkan beberapa jenis uang yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Indonesia pada masa itu (Alnoza dkk, 2017, hlm. 214-215). 

Dalam kurun waktu 1945-1949, De Javasche Bank secara bertahap melakukan pembukaan kembali kantor cabangnya di Indonesia. Pertama, De Javasche Bank membuka kantor pusatnya yang berada di Jakarta pada Maret 1946. Kemudian disusul dengan kantor cabang di beberapa daerah di Indonesia termasuk De Javasche Bank di Surabaya. Berbagai upaya pengkondisian terus dilakukan hingga dikeluarkannya Undang-undang No.17 tahun 1946 tanggal 1 Oktober 1946 tentang Oeang Republik Indonesia (ORI). Selanjutnya pengaturan pengeluaran ORI, termasuk mengenai nilai tukarnya terhadap uang yang beredar lainnya ditetapkan dalam Undang-Undang No.19 Tahun 1946 tanggal 25 Oktober 1946 (Unit Khusus Museum Bank Indonesia : DJB Masa Revolusi, 2007, hlm. 8). 

Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia

Kebijakan yang cukup berpengaruh dalam perkembangan di awal kemerdekaan ini yaitu nasionalisasi De Javasche Bank. De Javasche Bank setelah Indonesia merdeka beroperasi kembali bahkan selama beberapa tahun berfungsi lagi sebagai Bank Sentral meskipun berkedudukan sebagai badan usaha swasta dan sebagian sahamnya ada di tangan asing. Mengingat hal-hal demikian, maka dilakukanlah nasionalisasi De Javasche Bank melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank. Nasionalisasi  De Javasche Bank tidak hanya dimaksudkan sebagai pengembalian kepemilikan dan manajemen, tetapi untuk mengubah dan mengisinya dengan muatan tujuan dan misi yang sejalan terhadap aspirasi pembangunan nasional. 

Sejarah Bank Indonesia mencakup masa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Upaya pembentukan Bank Indonesia  bermula dari pembentukan Jajasan Poesat Bank Indonesia pada tahun 1946, nasionalisasi De Javasche Bank (DJB) pada tahun 1951, dan berakhir dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 11 tahun 1953 tentang Undang-undang Pokok Bank Indonesia (Bank Indonesia Pada Masa Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, 2005, hlm. 1-2). Setelah wacana mengenai nasionalisasi De Javasche Bank tersebut mampu direalisasikan kemudian terbitlah Undang-Undang Nasionalisasi DJB, yang dimuat dalam lembaran Negara RI No. 120 tahun 1951. Nasionalisasi De Javasche Bank semakin diperkuat sejak berlakunya UU No, 11 Tahun 1953. Nama Bank Indonesia secara resmi digunakan sebagai Bank Sentral NKRI (Nurbaity, Arif & Hidayat, 2019,  hlm. 602). 

Sejak saat itu Indonesia sudah memiliki sebuah lembaga bank sentral dengan nama Bank Indonesia. Berkat nasionalisasi tersebut, De Javasche Bank secara resmi berganti nama menjadi Bank Indonesia serta menjadi bank sirkulasi milik pemerintah Indonesia dan bukan lagi bank swasta milik Belanda (selanjutnya disebut menjadi Bank Indoensia) (Unit Khsus Museum Bank Indonesia, 2006, hlm. 29-32). Dengan demikian, Bank Indonesia juga diperkenankan membuka kantor di wilayah-wilayah yang dianggap membutuhkan perwakilan bank sentral. Kantor-kantor cabang warisan dari De Javasche Bank kemudian menjadi kantor cabang dari Bank Indonesia. De Javasche Bank Surabaya yang juga salah satu kantor cabang itu berubah nama menjadi nama kantor cabang Bank Indonesia Surabaya. 

Baca Juga :   Eksistensi BRICS: Blok Baru Kekuatan Politik dan Ekonomi Dunia

Bank Indonesia sendiri mempunyai tugas dan fungsi seperti De Javasche Bank yang merupakan bank sentral dan bank sirkulasi. Peran Bank Indonesia sangat penting bagi perekonomian Indonesia sehingga Bank Indonesia diperbolehkan untuk membuka kantor cabang diseluruh Indonesia. 

Perkembangan Gedung De Javasche Bank Surabaya

Gedung De Javasche Bank Surabaya dibangun oleh Belanda pada awal tahun 1900-an dengan gaya Empire Style, kemudian direnovasi hampir seabad kemudian. Renovasi ini menghasilkan sebuah gedung eklektis yang bergaya Neo Renaissance seperti yang bisa dilihat hingga saat ini. Bahkan, bila dilihat dengan lebih jeli, dapat ditemukan kombinasi arsitektur bergaya Mansart-Eropa dan Hindu-Jawa pada bagian eksterior. Dalam perjalannya, bangunan yang anggun ini berpindah tangan ke Jepang sebelum jatuh lagi ke tangan Belanda. Hampir satu dekade setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Gedung De Javasche Bank Surabaya digunakan sebagai Bank Indonesia selama 20 tahun kemudian (Saifulloh, 2018, hlm. 104). 

De Javasche Bank cabang Surabaya ini juga pernah dikuasai oleh pihak Jepang ketika berhasil menguasai Indonesia pada tahun 1942 dan sempat berhenti beroperasi. Kemudian setelah Jepang tidak lagi berkuasa pada tahun 1946, gedung ini kembali beroperasi sebagaimana awalnya sebelum dikuasai oleh Jepang. Pada 1 Juli 1953, De Javasche Bank sudah berubah menjadi Bank Indonesia dan secara otomatis gedung De Javasche Bank di Jalan Garuda ini telah beralih fungsi menjadi kantor Bank Indonesia cabang Surabaya. Namun pada tahun 1973, kantor tersebut tidak digunakan lagi karena kapasitas gedung yang sudah tidak cukup memadai untuk melakukan kegiatan operasional Bank Indonesia. Sehingga sebuah kantor baru didirikan di Jalan Pahlawan No. 105 dan hingga saat ini masih digunakan sebagai Kantor Bank Indonesia Surabaya.

Kini bangunan ini telah berusia satu abad lebih dan telah menjadi saksi dalam sejarah lahirnya perbankan di Indonesia serta perkembangan perbankan hingga saat ini. Gedung De Javasche Bank Surabaya ini sekarang telah berfungsi sebagai Museum. De Javasche Bank cabang Surabaya sendiri secara resmi dibuka sebagai museum dan bangunan cagar budaya pada tanggal 27 Januari 2012. Museum De Javasche Bank Surabaya sekarang memiliki tiga lantai yang mana menampilkan sejarah singkat sistem perbankan di Indonesia, beberapa foto – foto lama hingga memamerkan koleksi mata uang kuno. Secara garis besar Museum De Javasche Bank Surabaya terbagi menjadi beberapa ruangan yakni ruang koleksi mata uang lama, ruang koleksi dari konservasi dan ruang koleksi harta budaya yang didalamnya terdapat beberapa mesin bank lama dan peralatan-peralatan lainnya (Alnoza dkk, 2017, hlm. Diharapkan melalui gedung De Javasche Bank Surabaya ini bisa menjadi awal dari melihat lika-liku seajarah perbankan di Indonesia. 

Daftar Pustaka:

Alnoza, dkk. (2017). Kota Tua Punya Banyak Cerita Jilid 1. Sukabumi: Farha Pustaka.

Antaryama, I. & Savero, R, R. (2012). eatraktifan Galeri Seni di Kawasan Cagar Budaya Surabaya. JURNAL SAINS DAN SENI ITS Vol. 1, No. 1, 21-21.

Ginting, J. (2014). Hukum Perbankan dan Tindak Pidana Pencucian Uang. In: Pengertian dan Sejarah Perbankan di Indonesia. . Jakarta: Universitas Terbuka.

Bank Indonesia. (2006). Sejarah Bank Indonesia Periode III: 1966-1983 Bank Indonesia Pada masa Stabilisasi, rehabilitasi, dan Pembangunan Ekonomi. Unit Khusus Museum Bank Indonesia.

Unit Khusus Museum Bank Indonesia. (2007). Bagian Enam: DJB Masa Revolusi. Museum Bank Indonesia.

Ismail, M. (2010). Bank Indonesia dalam Tata Pemerintahan Indonesia. Jurnal Hukum No3. Vol. , 337-362.

Kartono, J, L. & Jaya, A, Y. (2015). Hotel Resor Kenjeran Surabaya. Jurnal eDimensi Arsitektur.Vol2. No.2.

Hamid, A, R. & Saleh, M, M. (2011). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Margiyanti. (t.thn.). DINAMIKA DE JAVASCHE BANK AGENTSCHAP SOERAKARTA 1950-1968. . Jurnal Prodi Ilmu Sejarah. Universitas Negeri Yogyakarta.

Nazir, M. (2013). Metodo Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.

Nurbaity. Hidayat, A. & Hidayat, F. (2019). Dinamika Nasionalisasi De Javasche Bank: Sebuah Perjuangan Menjadi Bank Indonesia (190-1953). . Padang: Seminar Nasional Sejarah ke 4 Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Padang.

Putra, R, D, W. (2016). Identifikasi Kelestarian Kawasan Kota Lama Melalui Proteksi Bangunan Cagar Budaya Oleh Pemerintah Kotas Surabaya. Jurnal Pengembangan Kota. Vol. 4. No. 2.

SAIFULLOH, Y. A. (2018). ARSITEKTUR KOLONIAL GAYA EMPIRE STYLE DI KOTA SURABAYA TAHUN 1900-1942. e-Journal Pendidikan Sejarah Vol. 6, N0. 3. , 98-107.

Grup Riset Kepustakaan Bank Sentral. (2014). Sejarah dan Heritage Kantor Perwakilan Bank Indonesia Solo. Jakarta: Pusat Riset dan Edukasi Bank Sentral.

Zeed, M. (2003 & 2004). Metodologi Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts