Sang Sufi dari Aceh Bernama Hamzah Fansuri

Sampai saat ini belum diketahui secara pasti tahun kelahiran dan kematian Hamzah Fansuri.

Oleh Andri Subandri

Banyak sekali terjadi silang pendapat berkaitan dengan diskursus biografi Hamzah Fansuri. Mulai dari tahun dan tempat kelahiran, kematian, hingga rentang masa hidupnya. Namun menurut salah satu catatan sejarah dikatakan bahwa beliau lahir di kota Barus, sebuah kota pada masa itu dinamai Fansur oleh orang Arab. Nama inilah yang kemudian menjadi laqab yang menempel pada nama Hamzah, yaitu Hamzah al-Fansuri. Kota Fansur sendiri terletak di pantai barat provinsi Sumatera Utara, di antara Singkil dan Sibolga.

Sebelum munculnya kesultanan Aceh, pusat perniagaan antar bangsa terjadi di Fansur. Para pedagang dari berbagai penjuru seperti dari Arab, Persia, India, dan Tiongkok pada masa itu banyak melakukan bisnis. Kemudian pusat perdagangan akhirnya berpindah ke Aceh setelah Fansur menjadi bagian dari wilayah Aceh.

Sumber Gambar: www.kompas.com

Dalam sebuah syairnya, kita bisa melihat keterangan mengenai kelahiran Hamzah Fansuri.

Hamzah nin asalnya Fansuri

Mendapat wujud di tanah Shahru Nawi 

Beroleh khilafat ‘ilmu yang ‘ali Daripada ‘Abd Qadir Jailani”

Ada yang mengatakan bahwa Sharhrnawi dalam syair di atas merupakan nama lain dari tanah Aceh. Hal ini dimaksudkan sebagai peringatan bagi seorang pangeran Siam yang bernama Syahir Nuwi yang datang ke Aceh pada zaman dulu. Ia kemudian membangun Aceh sebelum datangnya agama Islam. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti tahun kelahiran dan kematian Hamzah Fansuri, tetapi masa hidupnya diperkiraan sebelum tahun 1960-an. Hamzah Fansuri berasal dari keluarga Al-Fansuri, keluarga yang telah turun temurun berdiam di Fansur (Barus). Ia diperkirakan telah menjadi penyair pada masa kesultanan Aceh yang diperintah oleh Sultan Alauddin Ri’yat Syah Sayyid Al-Mukammil (1589-1604). Menurut Ahmad Zakariya ia bukan hanya dilahirkan di Fansur, tetapi Hamzah Fansuri juga meninggal disana dan kuburannya masih ada disana.

Sebagai seorang ulama besar, Hamzah Fansuri pernah melakukan kunjungan ke beberapa pusat pengetahuan Islam di Timur Tengah, termasuk Makkah, Madinah, Yerusalem, dan Baghdad. Selain itu juga ia pernah melakukan perjalanan ke Pahang, Kedah, dan Jawa untuk  menyebarkan ajaran-ajarannya. Hamzah Fansuri yang menguasai bahasa Arab, Persia, dan Urdu adalah seorang penulis produktif yang menghasilkan banyak karya, diantaranya berupa risalah-risalah keagamaan dan prosa yang sarat dengan gagasan-gagasan mistis. Mengingat karya-karyanya, ia sering dianggap sebagai  salah seorang tokoh sufi awal paling penting di Nusantara.

Pandangan Tasawuf Hamzah Fansuri

Hamzah Fansuri mempunyai pandangan Tasawuf yang wujudiyah. Hal ini dikarenakan pemikiran Hamzah Fansuri sangat dipengaruhi oleh tokoh sufi terkemuka yaitu Ibnu ‘Arabi melalui karya-karyanya. Tasawuf yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri sangatlah berbeda dengan tasawuf yang dikembangkan ataupun dipraktikan oleh kaum sufi pada umumnya. Tasawuf  Hamzah Fansuri lebih menekankan pada sifat imanensi Tuhan dalam makhluk-Nya daripada sifat transendensi-Nya.

Adapun pemikiran tasawuf wujudiyah Hamzah Fansuri dapat diperinci sebagai berikut:

1. Dzat maupun wujud alam semesta pada hakikatnya sama dengan Tuhan. 

2. Manifestasi alam dari zat dan wujud Tuhan pada tingkatan awal ialah cahaya Muhammad yang pada hakikatnya adalah cahaya Tuhan. 

3. Cahaya Muhammad merupakan sumber segala khalq Allah (ciptaan Tuhan ), yang pada hakikatnya ciptaan Tuhan juga adalah zat dan wujud Allah. 

4. Sebagai bagian kecil dari alam semesta, manusia harus berikhtiar menuju persatuan dengan Tuhan dengan cara meninggalkan segala kecintaan terhadap dunia dan selalu mengingat mati.

Baca Juga :   Tan Malaka dan SI School: Sebuah Cahaya Kemajuan Pendidikan di Semarang Pada Tahun 1921

5. Diperlukan sang musyid yang memiliki keilmuan yang mendalam untuk membimbing usaha tersebut.

 6. Ciri dari manusia yang telah berhasil menuju persatuan  dengan Tuhan ialah mereka yang mencapai ma’rifat dengan sebenar-benarnya dan telah berhasil mencapai kefanaan diri.

Berdasarkan pemikiran inilah kemudian Hamzah Fansuri dan pengikutnya dituduh sebagai kaum Panteis, sehingga dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Ajaran sufistik bid’ah atau sesat seringkali disematkan pada tasawufnya Hamzah Fansuri yang berbeda pandangan dengan paham golongan sufi sunni.

Salah satu oposisi kuat dari praktik sufistik-filosofis wujudiyah Hamzah Fansuri adalah Nuruddin al-Raniri (w. 1058H/1658M). Al-Raniri memiliki pandangan bahwasannya Islam di kawasan ini sudah dicemari oleh ajarannya yang kemudian tidak jarang ia sering beradu argumen dengan pengikut ajaran Hamzah Fansuri di hadapan Sultan. Sultan yang terpengaruh oleh al-Raniri berkali-kali memerintahkan pengikutnya Hamzah Fansuri untuk bertaubat tetapi seringkali mengalami kegagalan.

Ada lima bukti yang diajukan al-Raniri untuk mencap Hamzah sesat ataupun menyimpang sebagai berikut:

1. Pemikiran Hamzah mengenai tiga hal yaitu Tuhan, manusia, dan alam hampir mirip dengan pemikiran para filsuf maupun pengikut Zarathustra.

2. Ajaran Hamzah adalah panteis dalam pengertian bahwa esensi Tuhan adalah imanen secara sempurna dalam alam, bahwa Tuhan melebur dalam sesuatu yang tampak. 

3. Sebagaimana para filsuf, Hamzah percaya bahwa adalah wujud (being) yang sederhana (simple

4. Hamzah Fansuri meyakini bahwasannya Al-Quran itu merupakan makhluk.

5. Hamzah berpandangan bahwa alam itu kekal. 

Bahkan sebagian besar dari karya penting al-Raniri membahas tentang masalah paham wujudiyah ini dan berisi penolakan terhadap paham tasawuf  Hamzah Fansuri.

Di samping kontroversi mengenai tasawufnya Hamzah Fansuri ini, ajarannya dari masa ke masa mengalami perkembangan sampai ke seluruh bumi Nusantara. Hal ini memberikan pengaruh yang sangat besar tidak hanya di Aceh namun juga di berbagai daerah seperti Jawa, Kalimantan, dan lain-lain.

Karya-Karya Hamzah Fansuri

Sebagai seorang sufi sekaligus penyair terkenal yang telah mengembara ke berbagai daerah bukan hanya di nusantara maupun mancanegara, Hamzah Fansuri tentunya memiliki banyak sekali pengalaman maupun pelajaran hidup yang ia tuangkan dalam beberapa karya-karyanya. Diantara sekian banyak karya Hamzah Fansuri ini juga memiliki berbagai jenis antara lain berbentuk syair, prosa, dan kitab. Adapun karya Hamzah Fansuri yang berbentuk prosa yaitu:

1. Ruba’i Hamzah Fansuri

2. Al-Muntari

3. Al-Muhtadi

4. Asrar al-‘Arifin fi bayan ‘ilmu al-Suluk wa al-Tawhid

Selain prosa, ada juga yang berupa syair, yaitu:

1. Syair Ikan Tongkol 

2. Syair Perahu 

3. Syair Burung Pungguk

4. Thair al-‘uryan

5. Syair Burung Pingai

6. Syair Dagang 

7. Syair Sidang Fakir

Sebagian besar isi dari syair Hamzah Fansuri banyak menggunakan metafora tentang alam, khususnya laut. Sebab hal ini bukan tanpa alasan, karena itu terjadi dikarenakan letak geografis tempat tinggal Hamzah merupakan daerah maritim.

Terakhir yaitu yang berbentuk sebuah kitab, antara lain:

1. Syarab al-‘Asyiqin

2. Kitab al-Muntari

Dua kitab di atas banyak sekali digunakan oleh para penempuh jalan tasawuf sebagai pedoman dalam proses mendekatkan diri kepada Tuhan.

Referensi

Fauziah, Mira. “PEMIKIRAN TASAWUF HAMZAH FANSURI”. Dalam Jurnal Substantia Vol. 15, No. 2, 2013.

Ni’am, Syamsun. “HAMZAH FANSURI: PELOPOR TASAWUF WUJUDIYAH DAN PENGARUHNYA HINGGA KINI DI NUSANTARA”. Dalam Jurnal Epistemé, Vol. 12, No. 1, 2017.

Baca Juga :   Dari Pesisir ke Pedalaman: Suksesi Kerajaan Islam dari Demak hingga Mataram

Sari, Yulia. “KONSEP WAHDATUL WUJUD DALAM PEMIKIRAN HAMZAH FANSURI” Dalam Skripsinya di Fakultas Ushuluddin UIN Raden Intan Lampung, 2017.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts