Rona Sejarah dan Budaya Masyarakat Pesisir; Jejak Maritim di Lasem

Indonesia atau Nusantara pada masa lampau merupakan salah satu wilayah yang memiliki pengaruh besar pada wilayah Asia Tenggara. Pada masa kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit, Nusantara menjelma sebagai wilayah maritim terkuat pada masa itu. Bukti sejarah mencatat bahwa para nenek moyang bangsa Indonesia sangat menguasai lautan Nusantara bahkan sukses mengarungi samudera luas hingga ke pesisir Madagaskar, Afrika Selatan. Namun setelah nenek moyang Nusantara mengalami kesuksesan pada sektor maritim, bangsa Indonesia yang pada saat itu sudah mulai disinggahi bangsa asing terus mengalami kemunduran pada sektor kemaritiman (Prasetya 2017).

Oleh Cahya Adhitya Pratama & Gery Erlangga

Sejarah mencatat, sejak Indonesia dikenal sebagai Nusantara hingga saat ini, pertumbuhan wilayah-wilayah yang berada di Indonesia diawali dari sekitar pantai dan sungai. Sungai merupakan salah satu tempat berkembangnya pola kebudayaan karena sungai menjadi salah satu sumber hidup manusia. Namun dalam perjalanannya, sungai mulai  terabaikan, tercemar, dan tidak lagi menjadi tempat yang ideal bagi manusia untuk menggantungkan hidup. Fungsi sungai yang saat ini mulai berubah menjadi pembuangan sampah atau limbah rumah tangga disebabkan oleh beberapa faktor seperti peningkatan pertambahan kependudukan yang disertai oleh kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat terkait dengan fungsi dan manfaat sungai yang sebenarnya. Banyak daerah-daerah di Indonesia yang memiliki sejarah kemaritiman yang cukup baik di masa lampau, salah satunya yakni Lasem di Kabupaten Rembang. 

Sejarah Lasem

Sebutan Lasem pertama kali hadir dalam sejarah Nusantara pada kesusastraan era Majapahit yang ditulis pada abad ke-14 Masehi. Kehidupan di wilayah Lasem sudah ada sejak zaman prasejarah Indonesia dibuktikan dengan adanya situs-situs yang lebih tua di daerah Plawangan, Leran, Binangun dan Terjan. Bukti tersebut menandakan bahwa kehidupan di Lasem sudah ada sejak zaman prasejarah di pesisir laut Jawa Tengah dan Jawa Timur. Wilayah Lasem strategis untuk dijadikan pelabuhan karena terlindung dari angin dan gelombang laut. Diperkirakan penghuni pertama di wilayah Lasem  adalah para penutur Austronesia yang datang melalui jalur laut (Noerwidi 2017). Penjelasan sejarah Lasem ini dapat diketahui dari kekuasaan kerajaan Hindu-Budha, kekuasaan kerajaan Islam dan kekuasaan kolonialisme. 

Lasem mulai berkembang sekitar abad ke-13. Lasem pada saat itu adalah wilayah kecil yang menjadi  bagian dari Kerajaan Majapahit. Berdasarkan Serat Badra Santi, Lasem menjadi wilayah Negara Agung yang menjadi bagian dari kerajaan dan dikelola oleh Bhre (kerabat dekat raja). Wilayah Lasem di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit dipimpin oleh seorang perempuan yang bernama Dewi Indu yang merupakan putri dari Wijayarajasa (Bhre Wengker) dan Rajadewi (Bhre Daha). Dewi Indu sebagai pemimpin wilayah Lasem memiliki paras yang cantik dan dikenal oleh pemimpin dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Kemudian, Dewi Indu meninggal dunia sehingga tonggak kepemimpinan diserahkan kepada putrinya yaitu Nagarawardhani. Setelah Hayam Wuruk meninggal dunia, kepemimpinan diserahkan kepada keponakannya yaitu Wikramawardhana. Pemimpin Kerajaan Majapahit tersebut menunjuk Kusumawardhani untuk menjadi Bhre Lasem. Sehingga terjadi dualisme kepemimpinan di wilayah Lasem dan terjadi perang dingin sampai akhirnya Nagarawardhani dan Kusumawardhani sama-sama meninggal pada tahun 1400. Kemudian, Wikramawardhana mengangkat istri Bhre Tumapel untuk menjadi Bhre Lasem yang pada akhirnya terjadi perselisihan. Dengan demikian, kekuasaan Kerajaan Majapahit di wilayah Lasem semakin melemah sehingga menyebabkan peralihan kekuasaan kepada kerajaan-kerajaan Islam yang berkembang di wilayah tersebut.

Pada zaman kolonialisme terjadi monopoli perdagangan yang dilakukan oleh VOC terhadap pedagang pribumi dan pedagang Tionghoa di Lasem. Pedagang Tionghoa memiliki keterampilan dalam perdagangan sehingga terjadi kecemburuan dan sikap tidak senang oleh pihak VOC kepada pedagang Tionghoa. VOC menerapkan kebijakan yang membatasi gerak etnis Tionghoa seperti bertempat tinggal di daerah tertentu dan mewajibkan untuk membawa surat khusus apabila melakukan perjalanan. Etnis Tionghoa mengalami diskriminasi yang tinggi dalam pengelompokkan sosial tersebut. Tahun 1740 terjadi tragedi pembantaian yang ditujukan kepada etnis Tionghoa di Batavia. Masyarakat Tionghoa yang lolos dari pembantaian di Batavia melarikan diri ke luar benteng pertahanan Batavia, salah satunya ke daerah yang dituju adalah Lasem. Etnis Tionghoa tersebut melebur dan menjadi orang Jawa serta masuk Islam untuk terhindar dari sikap rasial penjajah. Pada tahun 1811-1816 pemerintah kolonial membangun Jalan Raya Pos yang membentang di wilayah pesisir Utara Jawa yang membelah Pecinan Lasem menjadi dua yaitu Desa Babagan, Soditan dan Karang Turi (Ratna 2015).

Baca Juga :   Dukun dan Perdukunan dalam Sejarah Indonesia

Perkembangan Kemaritiman Wilayah Lasem 

Lasem menjadi daerah penopang pusat perdagangan Kerajaan Majapahit dan kekuatan maritim. Raja Kerajaan Majapahit yaitu Wikramawardhana pada awal abad 15 menerima kedatangan rombongan Laksamana Cheng Ho dari Tiongkok (Unjiya 2014). Pelayaran yang dilakukan Laksamana Cheng Ho dilakukan selama tujuh kali dari tahun 1405-1433 Masehi. Setiap pelayarannya melibatkan 300 kapal dan kurang lebih 28.000 awak kapal untuk membawa misi wilayah yang dikunjungi mengakui kekuasaan Dinasti Ming bukan upaya monopoli perdagangan (Riyanto et al. 2020). Setelah menerima kedatangan rombongan dari Tiongkok tersebut, Kerajaan Majapahit mengeluarkan kebijakan bebas pajak terhadap rombongan Laksamana Cheng Ho di beberapa wilayah pelabuhan seperti Gresik, Surabaya, Tuban dan Lasem. Kebijakan tersebut mengakibatkan gelombang pedagang dari Tiongkok yang berdatangan ke Lasem untuk berdagang dan menetap di Lasem.  Lasem memiliki Sungai Lasem dan Sungai Kiringan sebagai penopang kehidupan masyarakat pesisir sebagai penghubung dengan wilayah lainnya dan tempat mendarat kapal-kapal. Sungai Kiringan terletak di sisi barat laut Lasem dan Sungai Lasem berada di bagian tengah Kota Lasem. Sungai tersebut bermuara di Pelabuhan Lasem yang dahulu menjadi pusat pendaratan kapal-kapal perdagangan. Lasem menjadi pelabuhan yang terlindung dari gelombang dan angin seperti Bandar Muara Sungai Kiringan dan Teluk Bonang-Binangun untuk berlabuhnya kapal, perbaikan kapal, serta pengisian bahan bakar (Ratna 2015). Setelah Kerajaan Majapahit runtuh, kerajaan Islam seperti Demak, Mataram Islam dan Pajang memengaruhi eksistensi Lasem sebagai wilayah maritim. Sejak kekuasaan kerajaan Islam, kota-kota pelabuhan mulai berkembang pesat. Kerajaan Demak hadir sebagai kerajaan maritim menjalin hubungan dengan wilayah-wilayah yang dulunya sudah menjadi kota maritim seperti Lasem, Tuban, Gresik dan Surabaya (Utomo 2017). 

https://visitjawatengah.jatengprov.go.id/assets/images/de3419e2-d6d4-494a-a8bc-28472b06d4ea.jpg
 Perahu Kuno Punjulharjo (Sumber visitjawatengah.jatengprov.go.id)

Wujud Akulturasi Budaya di Pesisir Lasem

Kedekatan antara masyarakat pribumi dan masyarakat Tionghoa dapat dilihat dari sejarahnya kota Lasem. Saat itu, masyarakat pribumi dan Tionghoa menjadi masyarakat yang tertindas akibat dari kebijakan kolonial. Sehingga, terjadi rasa persamaan nasib dan sepenanggungan yang perlu diperjuangkan bersama-sama untuk keluar dari belenggu kolonialisme. Saat perang kuning melawan kolonialisme, tokoh pribumi muslim yang diwakili oleh Kiai Ali Badhawi sangat terbuka atas bantuan dari Tionghoa yang diwakili oleh R.P Margana dan Tumenggung Widyaningrat (Oei Ing Kiat) yang menjadi bagian dari pemerintahan Lasem dan elit Tionghoa (Aziz et al. 2022). Oleh karena itu, sampai saat ini Lasem disebut sebagai kota “Tiongkok Kecil” yang faktanya masyarakat pribumi dan Tionghoa hidup saling berdampingan tanpa ada sifat etnosentrisme dan sentimen agama. Akulturasi yang terjadi ada di beberapa sektor kehidupan masyarakat Lasem seperti arsitektur bangunan, rumah tinggal dan budaya batik, tradisi, gaya hidup, dan bahasa.

Pertama, akulturasi bahasa yang menjadi alat komunikasi yang penting dalam kehidupan. Kedatangan masyarakat Tionghoa ke Lasem pastinya harus menyesuaikan budaya dan kondisi setempat. Kondisi di Lasem berbeda dengan keberadaan masyarakat Tionghoa yang berada di Sumatra maupun Kalimantan yang masih dekat dengan perbatasan Malaysia yang menggunakan bahasa mandarin. Di Lasem, masyarakat Tionghoa fasih menggunakan Bahasa Jawa untuk berinteraksi antara berbeda etnis maupun sesame etnis. Berdasarkan beberapa sumber, di Lasem hampir sudah tidak ditemukan lagi interaksi antara masyarakat berbeda etnis dan sesama etnis yang menggunakan bahasa Tionghoa (Ratna 2015). Bahasa Tionghoa yang sering digunakan di Indonesia yaitu Hokkian namun seiring waktu, bahasa tersebut sudah tidak digunakan lagi. Bahasa Hokkian hanya dipergunakan oleh pemeluk Konghucu saat beribadah di klenteng. 

 Rumah Cina-Geladak (Sumber Balai Arkeologi Prov.DIY, 2011)

Kedua, segi arsitektur juga terjadi akulturasi antara masyarakat pribumi dan Tionghoa. Menurut Darmawan, pada mulanya masyarakat pribumi Lasem menggunakan arsitektur pribumi seperti rumah Joglo. Datangnya etnis Tionghoa ke Lasem dan membentuk pemukiman Tionghoa turut memengaruhi arsitektur rumah tinggal dan bangunan lainnya (Darmawan 2012). Arsitektur bangunan bagi masyarakat pesisir dapat dipandang sebagai bentuk relasi antara fungsi, bentuk dan makna dari setiap bagian bangunan rumah tinggal. Desa Karang Turi merupakan daerah pemukiman masyarakat pribumi dan Tionghoa yang memiliki arsitektur rumah tinggal dengan corak akulturasi dari budaya yang pernah ada di Lasem. Rumah Cina-Geladak yang dibangun sebagai bentuk campuran antara gaya arsitektur Tionghoa dan rumah lokal. Akulturasi yang terbentuk yaitu bagian depan terdapat daun pintu yang bertulisan huruf Kanji dan atap menggunakan arsitektur Jawa (Riyanto et al. 2020). Akulturasi seperti pintu yang bertuliskan Kanji dan ventilasi berupa mandala yang dikelilingi dengan panah memiliki makna tersendiri. Ventilasi berupa mandala mengartikan kemudahan rezeki yang didapatkan dari manapun serta Dharmacakra yang melambangka metafora dunia, penciptaan dan roda keabadian (Pratiwo 2010).

Baca Juga :   Sujatin Kartowijono : Perempuan Dibalik Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) 1928-1938

Ketiga, Batik Lasem merupakan salah satu batik pesisir yang memiliki ciri khas yang unik dan tersendiri. Ciri khas tersebut terlihat dari motif batik yang memiliki pengaruh dari budaya Tionghoa. Dalam sejarahnya, batik Lasem ditekuni oleh masyarakat Tionghoa pada abad 18 dan 19. Karena batik memiliki peluang perdagangan yang menggiurkan dan menguntungkan sehingga banyak masyarakat Tionghoa terjun untuk membuka usaha batik dan masyarakat pribumi saat itu menjadi pegawai dari usaha masyarakat Tionghoa tersebut. Corak warna yang terdapat pada batik Lasem juga menghambarkan  percampuran budaya antara Jawa dan Tionghoa. Warna coklat tua dan biru tua merupakan sogan Majapahit (Rahayu 2014). Akulturasi batik Lasem lainnya seperti motif naga, motif swastika, motif awan Tiongkok yang mudah dikenali dengan warna gradasi serta silang budaya yang terjadi pada motif batik lasem seperti motif latohan dan motif watu wadas (Utomo 2017).

Datar Pustaka

Abbas. 2010. “Perahu Kuna Punjulharjo: Sebuah Hasil Penelitian.” Jurnal Penelitian Arkeologi 6.

Aziz. 2014. Lasem Kota Tiongkok Kecil: Interaksi Cina, Arab, Dan Jawa Dalam Silang Bu- Daya Pesisiran. Yogyakarta: Ombak.

Aziz, Abdul, Muhammad Wildan, U I N Sunan Kalijaga, and U I N Sunan Kalijaga. 2022. “Persekutuan Muslim Jawa-Tionghoa Melawan Belanda dalam Perang Sabil Lasem (1750 M).” Tsaqofah dan Tarikh 7(1750 M).

Daliman. 2012. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Darmawan. 2012. “Pengaruh Mazhab Yin Yang Pada Arsitektur Rumah Tinggal Kuno Cina Lasem.” Jurnal Tesa Arsitektur 10.

Hidayat, M. Anwar. 2009. “Kajian Pola Struktur Ruang Kota Lasem Ditinjau Dari Sejarahnya Sebagai Kota Pantai.” Universitas Diponegoro.

Lapian, Adrian B. 2009. Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut. Depok: Komunitas Bambu.

Maryam. 2016. “Transformasi Islam Kultural ke Struktural (Studi Atas Kerajaan Demak) Maryam.” Jurnal Tsaqofah dan tarikh 1(1).

Noerwidi. 2017. Globalisasi, Pelayaran-Perdagangan, Dan Diversitas Populasi: Studi Sisa Manusia Situs Leran, Rembang, Jawa Tengah. Berkala Arkeologi.

Prasetya, Muhammad Novan. 2017. “Membangun Kembali Budaya Maritim Indonesia: Melalui Romantisme Negara (Pemerintah) Dan Civil Society.” Jurnal PIR: Power in International Relations 1(2): 176–87.

Pratiwo. 2010. Arsitektur Tradisional Cina Dan Perkembangan Kota. Yogyakarta: Ombak.

Purnawibawa, R Ahmad Ginanjar. 2021. “Perahu Tradisional Dalam Dinamika Sejarah Maritim Rembang Setelah Abad Ke-10.” Widya Citra 2(2): 44–54.

Rahayu. 2014. “Perkembangan Motif Batik Lasem Cina Peranakan Tahun 1900-1960-An.” Jurnal Pendidikan Sejarah 2.

Ratna, Dwi. 2015. Akulturasi Lintas Zaman Di Lasem: Perspektif Sejarah Dan Budaya. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB).

Riyanto, Sugeng et al. 2020. Lasem Dalam Rona Sejarah Nusantara. Yogyakarta: Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Setianegara. 2014. Strategi Maritim Pada Perang Laut Nusantara Dan Poros Maritim Dunia. Yogyakarta: Leutika Prio.

Suropati. 2016. Arungi Samudra Bersama Sang Naga Sinergi Poros Maritim Dunia Dan Jalur Sutra Maritim Abad Ke-21. Jakarta: Kompas Gramedia.

Syahrin, M Najeri Al. 2018. “Kebijakan Poros Maritim Jokowi Dan Sinergitas Strategi Ekonomi Dan Keamanan Laut Indonesia.” Indonesian Perspective 3(1): 1–17.

Unjiya. 2014. Lasem Negeri Dampoawang. Yogyakarta: Salma Idea.

Utomo, Avif Arfianto Purwoko. 2017. “Potensi Bahari Lasem Sebagai Sejarah Maritim Lokal.” Sejarah dan Budaya : Jurnal Sejarah, Budaya, dan Pengajarannya 11(2): 141–50.

Zuhdi, Susanto. 2014. Nasionalisme Laut Dan Sejarah. Depok: Komunitas Bambu.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts