Riwayat Jejak Kerajaan Medang Periode Jawa Timur

Muradif dari Kerajaan Medang tak lain ialah Mataram. Istilah “Mataram” dipakai mengingat pusat awal kerajaan berada di Bhumi Mataram.

Oleh: Abi Mu’ammar Dzikri

Untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram yang bercorak Islam, maka dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid II menyebut Mataram pada periode ini dengan Mataram Hindu atau Mataram Kuno. Kata “kuno” menjadi sebutan khusus dikarenakan periode Hindu lebih dahulu berkuasa ketimbang Islam.

640px-Medang_Kingdom.svg

Ket: Peta persebaran wilayah kekuasaan Medang periode Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta lingkup mandala hingga Madura dan Bali

Sumber: wikipedia.org

Dalam Prasasti Canggal (732 M), penyebutan Bhumi Mataram untuk pertama kalinya didengungkan. Ditandai pula bahwa Sanjaya ialah wangsa yang pertama memerintah Mataram Kuno.

Beberapa riwayat seperti dalam Prasasti Mantyasih (907 M) dan Prasasti Siman atau Paradah (943 M) menyebut istilah Medang telah dipakai sedari lampau. Hal ini menjadikan fakta solid sinkronisme makna antara Mataram Kuno dan Medang. Sedangkan istilah Medang menjadi familier tatkala Mpu Sindok memindahkan pusat ibukota dari Bhumi Mataram ke Jawa Timur. 

Berangkat dari hal ini, publik memakai Medang sebagai istilah anyar untuk membedakan periode Mataram di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Perpindahan Pusat Ibukota dari Bhumi Mataram ke Jawa Timur

Dalam Serat Pararaton menginformasikan bahwa ada dua sebab utama perpindahan pusat ibukota.

Pertama, musibah Mahapralaya (928 M), yaitu meletusnya Gunung Merapi yang menghancurkan pusat kerajaan. Kedua, pertikaian dagang dengan Sriwijaya. Di momen yang sama, Rakai Dyah Wawa terbunuh akibat peristiwa tersebut.

Bukti penyerangan Sriwijaya ke Mataram dikuatkan dengan lakon Babad Tanah Jawa. Di sana diungkap bahwa serbuan musuh menjadikan Rakai Dyah Wawa terbunuh.

Senada dengan Nia Kurnia S.I. dalam Kerajaan Sriwijaya menjelaskan bahwa satu-satunya musuh Sriwijaya pada saat itu ialah Mataram Kuno. Hal tersebut dipicu konflik kekeluargaan antara wangsa Sanjaya dan Syailendra. Terungkap bahwa kedua wangsa ini mempunyai hubungan darah dengan Sriwijaya.

Kemudian, seorang pejabat tinggi kerajaan bernama Mpu Sindok mengampu kekuasaan Mataram Kuno selepas Rakai Dyah Wawa. Hal tersebut ia langsungkan dengan memindahkan pusat ibukota dari Bhumi Mataram menuju Jawa Timur.

Alasan pemilihan Jawa Timur sebagai pusat ibukota baru dapat diidentifikasi karena daerahnya subur dan minim bencana.

Dengan adanya Sungai Brantas yang membentang sepanjang Jawa Timur, diharap dapat menunjang sektor ekonomi dari pertanian dan perdagangan.

Dalam Prasasti Turyyan (929 M) menyebut Kerajaan Medang menempati daerah Tamwlang sebagai pusat ibukota baru.

IMG_20170311_134416
IMG_20170311_134452

Ket: Penampakan Prasasti Turyyan di Dukuh Watugodeg, Kelurahan Tanggung, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Sumber: situsbudaya.id

Nama Turyyan kemudian diadopsi menjadi Kecamatan Turen, merujuk pada wilayah ditemukannya prasasti. Adapun mengenai Tamwlang, sekarang tempat tersebut bertajuk Padukuhan Tembalangan. Keduanya berlokasi di Malang (sekarang).

Namun, Tamwlang tampaknya tidak menjadi wilayah ibukota permanen. Terbukti dengan disusulnya penemuan Prasasti Anjuk Ladang (937 M). Prasasti tersebut berbunyi bahwa Mpu Sindok memerintahkan para pejabatnya untuk membangun bangunan suci.

Bangunan tersebut bernama Srijayamerta, sebuah hadiah untuk rakyat Anjuk Ladang (sekarang Nganjuk) yang telah banyak membantu Medang.

Di samping itu, informasi lain dari Prasasti Anjuk Ladang ialah keberadaan pusat ibukota yang telah berpindah dari Tamwlang ke Watugaluh.

101202_Anjukladang_penggalan

Ket: Sebagian teks Prasasti Anjuk Ladang

Sumber: wikipedia.org

Satu-satunya daerah di muara Sungai Brantas yang memper dengan Watugaluh ialah Megaluh. Sebuah kecamatan di Jombang yang berseberangan dengan Kali Brantas.

Baca Juga :   Politik Uang Makin Marak dalam Pemilu: Perspektif Islam dan Demokrasi

Akhir Kerajaan Medang

Sesuai silsilah raja pada Prasasti Pucangan (1042 M) menyebut bahwa Airlangga merupakan raja terakhir dari Medang. Airlangga memperoleh takhta karena kejeliannya dalam melegitimasi bahwa dirinya merupakan keturunan Mpu Sindok. Kemudian, menyatakan bahwa ia merupakan raja sah dari Medang.

Naas, akhir masa Kerajaan Medang di Jawa Timur lagi-lagi disebabkan Mahapralaya. Dalam hal ini, Mahapralaya yang dimaksud ialah penyerangan dari Kerajaan Worawari yang berafiliasi dengan Sriwijaya.

Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti menjelaskan bahwa Airlangga memindahkan ibukota dari Watugaluh menuju Watan Mas. Pendapat tersebut didukung oleh fakta tempat ditemukannya Prasasti Pucangan, yaitu Watan di kaki Gunung Penanggungan.

Oleh Airlangga kemudian Kerajaan Medang diteruskan dengan istilah “baru” sebagai Kerajaan Kahuripan.

Sumber:

Poesponegoro, Marwati, dan Notosusanto, Nugroho. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.

Irfan, Nita K.S. 1983. Kerajaan Sriwijaya. Jakarta: Girimukti Pustaka.

Boechari. 2013. Melacak Sejarah Indonesia Kuno Lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Rahardjo, Supratikno. 2011. Peradaban Jawa: Dari Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir. Jakarta: Komunitas Bambu.

Adji, Krisna Bayu. 2014. Sejarah Raja-Raja Jawa: Dari Mataram Kuno hingga Mataram Islam. Yogyakarta: Arashka Publisher.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts