Relasi Arab Dan Persia Dalam Masyarakat Islam Masa Dinasti Abbasiyah

Pada tahun 637 M, Kekaisaran Sassania di Persia ditaklukkan bangsa Arab (Islam) yang kemudian menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Islam. Interaksi antara kebudayaan Persia dan Arab-Islam terlihat pada periode pertama Dinasti Abbasiyah 132 H/750 M sampai 232 H/847 M atau yang disebut dengan periode pengaruh Persia pertama. Khalifah Abu Ja’far al-Manshur memindahkan ibukota negara dari Damaskus, Syiria ke Hasyimiyah kemudian ke kota yang baru dibangunnya yaitu, Baghdad. Kota ini berdekatan dengan bekas ibukota Dinasti Sassania, Persia, Ctesiphon pada 762 M. Dengan demikian pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah berada di tengah bangsa Persia.

Oleh Ahmad Zainuri

C:\Users\Administrator\Downloads\Kemajuan Bidang Sosial, Ekonomi dan Budaya Dinasty Abbasiyah.jpg

Sumber gambar:www.bacaanmadani.com

Kondisi ini berbeda  ketika peradaban Islam dikuasai oleh imperium pertama Islam yakni Umayyah. Misalnya strata sosial yang pernah dirajut pada era Dinasti Umayyah cenderung diskriminatif, yakni elit keturunan Arab sangat dominan dalam trah kekuasaan Islam saat itu. Sedangkan ketika masa Abbasiyah konsep kesukuan Arab digantikan dengan konsep Islamisasi yang tidak melihat pada etnik dan kesukuan. Struktur pemerintahan tidak hanya diisi oleh orang-orang Arab, melainkan juga oleh bangsa non-Arab, bahkan dari golongan non-Muslim (Yahudi, Nasrani), terutama pada pos keuangan dan administrasi negara. Namun kemudian, perlu dilihat ketika masa dari beberapa khalifah Umayyah, seperti Marwan, Umar bin Abdul Aziz, mereka telah menciptakan kebijakan dalam sosial ekonomi bahkan administrasi negara. Hingga masa kudeta para keluarga Abbasiyah oleh al-Khurasani dengan gerakan politik bawah tanah dengan menumpas habis keluarga Umayyah.

Pelonggaran sistem kelas yang terdapat di masyarakat Arab umumnya terjadi di era Abbasiyah, meski sesungguhnya Abbasiyah didirikan oleh Bangsa Arab asli. Akan tetapi sesungguhnya loyalis Abbasiyah merupakan kaum non-Arab sehingga sistem tersebut diperlunak dan cenderung dihapuskan di masa mendatang. Di era Abbasiyah terjadi perubahan yang mana khalifah dipegang orang Arab dan menteri diisi orang Persia. Sebagian besar pangeran diisi orang Arab dan bangsa Persia yang mulia di eranya. Pembangunan perkotaan di era Abbasiyah lebih terarah pada aktivitas komersial dan aktivitas perdagangan, sehingga muncul kelas menengah sebagai tren dari ekonomi. Seperti halnya di Baghdad muncul demikian sebab kota tersebut sudah dirancang secara komprehensif dan lingkungan Karkh merupakan pusat perdagangan dan menjadi bagian yang aktif di Baghdad. Selain itu, kemajuan Baghdad juga didorong dengan pertukaran mata uang di masanya. Selain di Baghdad pusat pertukaran uang juga terdapat di Kufah. Setidaknya di era ini terdapat 4 jenis keuntungan yang terbesar yakni; leasing (sewa guna usaha),  perdagangan, industri, dan pertanian.

Kehidupan sosial masyarakat kebanyakan pada masa itu berada pada tingkat pergaulan yang sama. Tidak ada perbedaan antara darah Arab dan non-Arab, klan merdeka, para budak, serta kaum bangsawan dan rakyat jelata. Begitupun antara kaum pria dan wanita sama-sama mendapat posisi di tengah-tengah masyarakat. Lembaran dawai sejarah melukiskan betapa hampir seluruh khalifah yang memimpin ini terlahir dari rahim perempuan non-Arab dan kandungan budak perempuan. Misalnya ibu al-Mansur tidak lain adalah seorang budak Berber. Ibunda al-Ma’mun merupakan budak perempuan Persia, ibu al-Wasiq dan al-Muqtadi berasal dari budak Yunani, al-Muntansir lahir dari rahim seorang budak Yunani-Abissinia, ibu al-Musta’in seorang budak dari Slavia, dan ibu Muktaf dan al-Muqtadir merupakan budak dari Turki. Harun al-Rasyid, peletak dasar kejayaan dinasti Abbasiyah, juga beribukan seorang budak yang dikenal dengan nama al-Khaizuran; perempuan pertama yang memiliki pengaruh penting dalam urusan administrasi kenegaraan dinasti ini.

Baca Juga :    Pertahanan Kaum Muslimin Kuomintang pada Perang Saudara Tiongkok

Perlu dicatat pula, pada era kekuasaan Abbasiyah, perkembangan pendidikan dan pengajaran sangat pesat dan merata di seluruh pelosok negeri taklukannya. Madrasah dibangun tidak hanya di kota-kota besar, tetapi juga di desa-desa terpencil. Anak-anak dan orang dewasa berlomba-lomba menuntut ilmu pengetahuan dan melawat ke pusat-pusat pendidikan dengan meninggalkan kampung halamannya. Perkembangan dunia pendidikan yang cukup signifikan ini mengantarkan umat Islam kepada fase kejayaan peradaban. Levy menambahkan kekuatan politik orang Persia yang berbondong-bondong ke ibukota pada masa pemerintahan Khalifah Ma’mun tampaknya telah menjadi sarana nyata untuk mendirikan posisi non-Arab di bidang kesetaraan dengan sesama Muslim Arabnya.

Di sisi lain, pada masa Abbasiyah juga terdapat beberapa kelompok gerakan yang tidak setuju akan pemerintahan Abbasiyah atau disebut gerakan Zindiq/Syu’ubiyyah. Gerakan Syu’ubiyyah ini merupakan gerakan yang diinisiasi oleh orang-orang Persia atas ketidaksukaannya terhadap pemerintahan Abbasiyah, terutama karena budaya Arab yang dibawa dan membumi di Persia. Gerakan ini memakai baju Islam sebagai bentuk perlawanan. Kekuasaan Arab yang berada di Persia ini telah memunculkan banyak perspektif, bahwa setelah penaklukan Umar bin Khattab (Qaddisiyah dan Nahwand) kemudian berlanjut masa Umayyah hingga Abbasiyah. Iran tidak mau terus ada penekanan bahwa adanya bentuk Arabisasi di Iran, meskipun Islam sudah dipeluk oleh masyarakat Iran pada umumnya. Sehingga masa Ali bin Abi Thalib, sebagai kekuatan pendukung kekhalifahannya yakni kelompok Islam Syiah yang membuat gerakan dan kelompok Islam semakin bercabang dan mereka menempati sebagian wilayah kota di Iran yakni di Qum. Sehingga Iran menciptakan kebudayaannya sendiri dan mencoba untuk meninggalkan bentuk-bentuk Arab. 

Jadi, pertemuan antara unsur Arab dan Persia dalam masyarakat Islam terjadi sejak runtuhnya kekaisaran Sassania dan masuknya Islam di Persia. Namun, kepemimpinan setelah Khulafaur Rasyidun berdiri Umayyah tidak melibatkan sama sekali unsur-unsur kesukuan di luar Arab. Namun, ketika peradaban Islam dibawa oleh al-Manshur ke Baghdad, memang kala itu negeri tersebut juga menjadi wilayah kekuasaan Persia, sehingga dimulai dari Abbasiyah unsur non-Arab masuk dan menjadi bagian dalam dinasti Abbasiyah. Bahkan tidak hanya dalam sistem kerajaan, melainkan di kehidupan bersosial masyarakat dan kebudayaan, Arab dan Persia dipertemukan. Misalnya jabatan-jabatan wazir pada masa dinasti Abbasiyah mayoritas orang-orang Persia. 

Ketika penaklukkan Sassania sebagai kekaisaran Persia akhir, integrasi antara Muslim Arab dan Persia mulai menunjukkan kekompakkannya, terutama ketika Abbasiyah berdiri sebagai imperium besar di tanah bekas kekuasaan Persia kuno. Pada tahun 762 M, Baghdad didirikan untuk menjadi ibu kota Khalifah Abbasiyah, dinasti setengah Persia yang menggantikan dinasti Umayyah. Pertumbuhan kota-kota membawa serta pembagian penduduk yang pasti menjadi penduduk kota. Hal ini semakin  memantapkan diri mereka di rumah-rumah dan telah menetap di rumah-rumah, dan orang-orang yang berpegang teguh pada cara hidup nomaden. Salah satu konsekuensi besar adalah dengan peningkatan populasi perkotaan dan pembentukan pusat pemerintahan di kota-kota seperti Damaskus atau Baghdad, kekuasaan politik di Khilafah menjadi lebih. Biasanya dipegang oleh penduduk kota daripada oleh suku nomaden.

Dampak daripada adanya sebuah perubahan sosial dan pertemuan akan unsur Arab dan Persia terciptanya dan terbangunya unsur perkotaan yang maju. Bahkan isi dari kota tersebut terdapat beragam unsur masyarakat  Arab Muslim, Arab non-Muslim, dan Muslim non-Arab. Terbitnya penerbitan, berdirinya pusat perdagangan, banyaknya kegiatan keterampilan dan pertanian tidak lepas dari peran penting  dampak perubahan sosial dalam sektor ekonomi, yang kemudian mereka menciptakan peradaban dan membentuk sebuah kehidupan hingga berdirilah sebuah perkampungan bahkan perkotaan. Misalnya Fustat, Qairawan, Kufah dan Basrah.

Baca Juga :   Kisah Mbah Bungkul yang diturunkan dari Generasi ke Generasi

Mobilitas vertikal dan horizontal yang pasti di setiap tempat membuat perubahan. Proses perubahan dari masyarakat Arab ke daerah-daerah jajahannya; pertama, perubahan sistem kabilah ke umat, kabilah raja kecil menjadi satu sistem administrasi yang terusan. Kedua, masyarakat arab awal itu adalah masyarakat yang mempunyai pikiran jihad dan perluasan wilayah. Pendorong utamanya adalah ghanimah. Kota-kota tertentu dibangun untuk tujuan jihad dan keperluan lain dan berkembang menjadi pusat kemodernan. Kota-kota yang dikembangkan ada berhasil dan ada yang tidak. Dari kamp militer kemudian menjadi kota. Ketiga, berdirinya kota-kota yang dibangun oleh orang Islam menjadi pusat sosial politik, administrasi, dan pusat ekonomi.

Referensi

Abdul Aziz Al-Douri’, Muqaddimatu fii Taarikh Shodri al-Islam, (Beirut: Markaz Dirosat al-Wakhidah al-‘Arabiyah, edisi 2, 2007.

Al-Husaini M. Daud, Sejarah Sosial Arab-Islam Pada Abad VIII dan IX M (Studi tentang Pranata Sosial Era Abbasiah), (Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 11, No. 2, 2011).

M. Yakub, Interaksi Kebudayaan antara Persia dan Arab-Islam, (Buletin Al-Turas, Vol. 15, No. 3, 2009).

Machasin. “Sejarah Sosial Islam Masa Klasik” dalam Perkuliahan Mata Kuliah Sejarah Sosial Islam, Magister Sejarah Peradaban Islam, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 23 Februari 2022.

Philip K. Hitti, History of the Arabs: From the Erliest Times to the Present, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010).

Reuben Levy, The Social Structure of Islam (Second Edition of the Sociology of Islam) (Cambridge: Cambridge University Press, 1957).

Sukon Saragih. Peranan Mawali Dalam Pemerintahan Dinasti Umayyah (Studi Tentang Sejarah Sosial Hukum Islam), (laporan penelitian, Medan: IAIN SU, 2000).

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts