Realita Dalam Realisasi Politik Etis

Di sekitar awal abad ke-20 telah terjadi sebuah perkembangan baru yang muncul dalam sistem perpolitikan pemerintah kolonial di Hindia Belanda. Konsep politik baru tersebut mengarah pada peningkatan dan juga kemajuan yang diharapkan muncul dalam setiap element rakyat yang ada di Hindia Belanda. Sistem politik tersebut dinamai dengan istilah Ethische Politic atau yang lebih dikenal saat ini dengan nama Politik Etis (Mulyono, 1968). 

Oleh: Ivanka Angelina Dheyanita

Bukan tanpa alasan, politik etis muncul dan berkembang di Hindia Belanda. Pada saat itu, berbagai macam kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial yang dirasa terlalu merugikan masyarakat Hindia Belanda dan pihak kolonial selalu menjadi posisi yang diuntungkan.

Salah satu kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial yang banyak memberikan kerugian terutama bagi masyarakat bumiputra Hindia Belanda adalah kebijakan Tanam Paksa yang diterapkan oleh Johannes van den Bosch selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Adanya kebijakan Tanam Paksa tersebut bukan hanya banyak mendapat protes dari golongan bumiputra tetapi juga dari orang-orang Belanda yang tidak setuju dengan kebijakan tersebut. 

Walaupun pada akhirnya kebijakan Tanam Paksa berhenti diterapkan, hal ini tidak menutup kenyataan bahwa kebijakan tersebut telah banyak menimbulkan kerugian bagi masyarakat Hindia Belanda ditambah lagi dengan kebijakan-kebijakan lainnya yang selalu mengarahkan keuntungan yang jauh lebih banyak bagi pemerintah kolonia. 

Beranjak dari realita-realita tersebut, aktivis-aktivis Belanda seperti C. Th. Van Deventer dan Pieter Brooshooft menjadi beberapa pihak yang berdiri sebagai pelopor adanya gagasan Politik Etis sebagai bentuk balas budi kepada rakyat Indonesia (Hindia Belanda pada saat itu). Fachrurozi (2019: 18-19) melalui artikelnya memaparkan tindakan yang dilakukan oleh Pieter Brooshoft selaku redaktur surat kabar De Locomotief adalah menuliskan gagasan terkait perlunya diadakan otonomi lokal untuk meningkatkan kondisi golongan bumiputra yang ada di Hindia Belanda. Sementara Van Deventer menuliskan artikel dengan judul “Een Eereschuld” yang berarti “Hutang Budi” dalam jurnal De Gids. Artikel yang dituliskan dalam jurnal De Gids tersebut berisi tuntutan pada pihak kolonial untuk melaksanakan penyelidikan serta kesadaran terkait kewajiban untuk membalas budi bagi kaum bumiputra di Hindia Belanda akibat dari eksploitasi ekonomi dan sumber daya manusia yang telah dilakukan.  

Gambar. Pieter Brooshooft (Sumber: https://duniapendidikan.co.id/pencetus-politik-etis/)

Dengan berbagai artikel yang telah dituliskan dan dukungan yang didapatkan, perlahan kelompok pro terhadap keinginan untuk terwujudnya realisasi Politik Etis semakin bertambah. Hingga kemudian suksesi dalam strata pemerintahan yang terjadi di Kerajaan Belanda pada saat itu juga semakin menjadi salah satu faktor yang semakin mempercepat direalisasikannya Politik Etis. Pada saat itu tepatnya di tanggal 6 September 1898, Ratu Wilhelmina memegang tampuk kekuasaan yang baru (Fachrurozi, 2019:19). Ratu Wilhelmina juga mendukung adanya realisasi Politik Etis di Hindia Belanda hingga pada September 1901 ia menyampaikan persetujuannya terhadap pembaharuan kebijakan di Hindia Belanda tersebut dalam pidato kerajaan. Hal ini sejalan dengan pemaparan Ratu Wilhelmina yang menyatakan bahwa Hindia Belanda bukan lagi sebagai daerah wingewest (daerah yang memberikan keuntungan), tetapi menjadi daerah yang perlu dikembangkan sehingga dapat dipenuhi keperluannya (Hestiliani, 2019:211). 

Melalui persetujuan terhadap diterapkannya gagasan Politik Etis melalui pidato Ratu Wilhelmina tersebut, akhirnya penerapan Politik Etis pun resmi dilakukan di Hindia Belanda. Tiga program utama yang dirancang untuk keberhasilan terlaksananya Politik Etis adalah Edukasi, Irigasi, dan Migrasi. Edukasi ditujukan untuk memberikan hak-hak mengenyam pendidikan bagi rakyat Hindia Belanda, Irigasi untuk memberikan pengairan serta perawatan terhadap sawah-sawah, dan Migrasi dengan tujuan untuk memindahkan penduduk dari wilayah yang sudah sangat padat penduduknya (Pulau Jawa) ke wilayah yang masih memiliki ruang spasial untuk dihuni. 

Baca Juga :   Perkembangan Bedah Plastik di Hindia Belanda

Meski ketiga program utama yang ingin direalisasikan oleh pihak kolonial di Hindia Belanda seolah memberi harapan baru bagi masyarakat Hindia Belanda untuk mendapatkan kesempatan menjadi lebih baik lagi dalam berbagai faktor, realita yang tidak dapat dipungkiri adalah pada akhirnya ketiga program yang dijalankan seluruhnya memiliki tujuan tersembunyi untuk memberi keuntungan bagi pihak kolonial Belanda. 

Dalam merealisasikan program-program Edukasi, upaya yang pada saat itu dilakukan oleh pemerintah kolonial adalah seperti membuka Opleidingscholen voor Inlandsche Ambtenaren yang pada saat itu merupakan sekolah bagi para pejabat bumiputra serta School tot Opleiding van Inlandsche Artsen yang merupakan sekolah kedokteran. Kedua sekolah tersebut menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran. Realita yang terjadi adalah tidak semua lapisan masyarakat di Hindia Belanda, khususnya bumiputra, pada saat itu mampu mengenyam pendidikan. Pendidikan lebih mengarah pada masyarakat-masyarakat kalangan menengah ke atas yang memang memiliki ‘kemampuan’ untuk bersekolah. Luaran dari adanya program Edukasi ini pun untuk mendapatkan sumber daya manusia terbaik yang nantinya dapat bekerja dalam struktur pemerintahan kolonial dan tentunya diharapkan juga memiliki kemampuan yang dapat menguntungkan pihak kolonial. 

Lalu dalam program Irigasi upaya yang dilakukan oleh pemerintah kolonial tentunya dengan melakukan pengairan terhadap sawah dan perkebunan dengan membuat waduk, pembuatan jalur transportasi untuk mempermudah mengangkut hasil pertanian, dan perbaikan terhadap sanitasi. Kendati memang melaksanakan perbaikan dalam hal-hal tersebut, tetapi realita dalam pelaksanaannya, sistem irigasi yang diberikan lebih dipermudah bagi perkebunan-perkebunan milik Belanda (Prinada, 2021). 

Serta pada program Migrasi, tindakan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial pada saat itu memang bertujuan untuk menekan laju kepadatan penduduk di Hindia Belanda khususnya di Pulau Jawa. Upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan perpindahan penduduk ke daerah yang tidak terlalu pada penduduknya pada saat itu seperti di Pulau Sumatera. Tetapi nyatanya perpindahan penduduk ini dilakukan oleh pihak kolonial untuk memenuhi kebutuhan mereka akan tenaga kerja di perkebunan-perkebunan pada saat itu. Masyarakat yang dipindahkan pun diberi pekerjaan di perkebunan Belanda dengan ikatan sebagai buruh kontrak. 

Sama seperti dua sisi koin yang berbeda, dalam segala pelaksanaan kebijakan pun tentunya memiliki berbagai macam dampak ataupun konsekuensi baik dalam sisi positif maupun sisi negatif. Meskipun Politik Etis yang diterapkan pihak kolonial masih memiliki berbagai macam sisi negatif tetapi pada akhirnya, Politik Etis menjadi salah satu batu loncatan lahirnya kaum-kaum terpelajar, pers, dan bertambahnya pengetahuan masyarakat bumiputra di Hindia Belanda pada saat itu terkait edukasi, irigasi, dan migrasi sehingga pada akhirnya melahirkan tokoh-tokoh yang berjuang dalam pergerakan nasional untuk lepas dalam belenggu penjajahan. 

Referensi 

Fachrurozi, Miftahul Habib. 2019. Politik Etis dan Bangkitnya Kesadaran Baru Pers Bumiputra: Bihari: Pendidikan Sejarah dan Ilmu Sejarah, 2 (1), 2019. Tasikmalaya: Universitas Siliwangi.

Hestiliani, Teti. 2019. Secentralisatie Wet Van Nederland Indies 1903: ISTORIA, September 2019, Vol. 15, No. 2. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Mulyono. 1968. Nasionalisme Sebagai Modal Perjuangan Bangsa Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka.Prinada, Yuda. 2021. Sejarah Politik Etis: Tujuan, Tokoh, Isi, & Dampak Balas Budi. Diakses dari: https://tirto.id/sejarah-politik-etis-tujuan-tokoh-isi-dampak-balas-budi-gao6 pada 21 Februari 2022.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts