Raden Tumenggung Sosrokusumo Sang Bupati Berbek

Raden Tumenggung sosrokusumo oleh masyarakat dikenal sebagai sosok yang berjasa dalam membangun wilayah kabupaten Berbek. Ia digambarkan sebagai sosok pribadi yang tidak hanya piawai dalam kebijakan politik pemerintahan namun juga dianggap memiliki kelebihan dalam hal pengetahuan, keagamaan, dan spiritualitas.

Oleh Lailatul Badriah

Hendro Prayitno 35 tahun yang merupakan kerabat (Anggota keluarga) Raden Tumenggung Sosrokusumo yang sekaligus menjadi juru pelihara makam Kanjeng Jimat atau Raden Tumenggung sosrokusumo mengatakan bahwa Raden Tumenggung Sosro Kusumo merupakan Bupati Berbek yang pertama yang menjabat sebelum tahun 1818 hingga 1830 masehi sampai akhirnya Raden Tumenggung sosrokusumo meninggal pada tahun 1832 Masehi. Kemudian beliau digantikan oleh adiknya yang bernama Raden Tumenggung Sosrodirjo. Untuk tanggal lahirnya sendiri belum terdapat sumber yang menyebutkan dan menjadi bukti terkait tempat dan tanggal lahir dari Raden Sosrokusumo (Prayitno,2021).

Dari penuturan pak Hendro (35 tahun) Raden Tumenggung sosrokusumo merupakan keturunan dari Raja Bima yang berasal dari pulau Sulawesi yaitu Kareng Nobo atau oleh orang Jawa dikenal dengan nama Datuk Sulaiman. Pada saat itu itu pernah terjadi sebuah pemberontakan antara Trunojoyo melawan Kerajaan Mataram Islam yang dimenangkan oleh Mataram Islam. Bersamaan dengan peristiwa tersebut terdapat dua bersaudara yaitu Kareng Nobo  dan Kareng Galengsong yang datang ke Jawa membantu peperangan Trunojoyo. Kareng  Galengsong meninggal dan Kareng Nobo menetap di Jawa Tengah. Kareng Nobo menikah dengan anak Seorang Kepala Desa dan mempunyai dua anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki Kareng Nobo bernama Raden Tumenggung Sosronegoro kemudian menjadi panglima perang Mataram Islam. Raden Tumenggung Sosronegoro mempunyai anak bernama Raden Tumenggung Sosrokusumo atau kemudian disebut dengan Kanjeng Jimat. Bersamaan dengan itu pula terjadi sebuah perjanjian Giyanti antara Belanda dengan Kerajaan Mataram Islam pada tahun 1755 Masehi.

Setelah Raden Tumenggung Sosrokusumo atau disebut dengan Kanjeng Jimat itu dewasa beliau diangkat menjadi Bupati oleh keraton Yogyakarta di daerah Bang Wetan dibawah Kerajaan Yogyakarta lebih tepatnya di daerah Berbek. Namun sebelumnya sudah terdapat pemerintahan kecil yang dipimpin oleh Ronggo yang kemudian dikenal dengan nama pangeran Singosari. Raden Tumenggung sosrokusumo menikah dengan Raden Nganten Sosrowiguno dari anak Hamengkubuwono ke-1 dari istri garwa ampeyan bernama Bendoro Mas Ayu Retno Wati.

Raden Tumenggung sosrokusumo memiliki istri bernama Raden Nganten Tluki anak dari pangeran Singosari. Berdasarkan sumber yang ditemukan menyatakan bahwa dari para istrinya Raden Tumenggung sosrokusumo memiliki anak sebanyak 15 orang (Prodjowibowo,1978).

Setelah beliau menjabat sebagai bupati beliau menempati sebuah Pendopo Kabupaten di utara alun-alun yang berhimpitan dengan bangunan masjid Pangeran Singosari. Selama menjabat sebagai bupati pertama Kanjeng Jimat membangun sebuah masjid baru menggantikan masjid Pangeran Singosari Hal ini dikarenakan ukuran dari masjid terlalu kecil. Masjid baru yang kemudian diberi nama masjid Al Mubarok dibangun di selatan masjid Pangeran Singosari di atas tanah bekas peninggalan Kerajaan Majapahit yaitu bekas bangunan suci agama Hindu yang sudah tidak terpakai. Hal ini diperkirakan bahwa masjid al-mubarok dibangun sekitar tahun 1745 dengan tahun Jawa apabila dikonversi ke tahun masehi maka terbilang pada tahun 1818 masehi masjid ini didirikan Hal ini terbukti dengan adanya sebuah prasasti di kanan-kiri Mihrab masjid. Sedangkan masjid lama yaitu Masjid Pangeran Singosari dipindahkan ke Desa Bandungrejo yang mana masih menjadi wilayah kecamatan Berbek dan diberikan kepada Kyai Salimin atau dikenal dengan wali bendungan.

Selain itu Pak Aris Trio Efendi selaku tim penelusuran sejarah dan situs juga menjelaskan bahwa selang beberapa tahun kemudian meletus sebuah Perang Diponegoro melawan Belanda pada tahun 1825 hingga 1830 masehi titik Pangeran Diponegoro mengalami kekalahan dalam perang tersebut yang kemudian banyak prajuritnya yang melarikan diri ke daerah Bang Wetan yaitu di daerah dan juga sekitarnya. Raden Tumenggung sosrokusumo berhenti menjadi Bupati pada tahun 1760 di tahun Jawa atau dengan konversi tahun masehi terbilang pada tahun 1830 Masehi (Efendi,2021).

Perjanjian Sepreh : Pengangkatan Raden Tumenggung Sosrokusumo sebagai Bupati dan Penataan administrasi Pemerintahan

Raden Tumenggung sosrokusumo atau Kanjeng Jimat ini pada mulanya telah memerintah Kadipaten Berbek sejak tahun 1812 yang tentunya pada periode pemerintahan sebelumnya tersebut diangkat oleh pihak Sultan Yogyakarta. Namun setelah adanya perjanjian sepreh yang dilakukan pada tahun 1830 Raden Tumenggung sosrokusumo dipercaya kembali untuk menjadi Bupati di Kabupaten Brebes yang mana pemerintahan pada masa itu dikendalikan oleh Hindia-Belanda sehingga segala hal yang berurusan dengan pemerintahan mendapatkan pengaruh sepenuhnya dari pihak Hindia-Belanda. Raden Tumenggung Sosrokusumo menjabat sebagai bupati pada tahun 1830 hingga 1832 yaitu dengan pemerintahan yang dibawa kekuasaan Hindia-Belanda.Jadi dapat dikatakan bahwa Raden Tumenggung sosrokusumo menjabat sebagai bupati berbekal dengan 2 periode untuk periode pertama yaitu pada tahun 1812 hingga 1830 yang mana pada periode tersebut kota berada di bawah pihak Kesultanan Yogyakarta, dan setelah perjanjian sprei berlangsung maka Raden Tumenggung sosrokusumo memerintah pada periode ke-2 nya dengan pemerintahan di bawah kendali pihak Hindia Belanda.

Baca Juga :   M. Syafei Pendiri Sekolah Guru Bumiputera Pertama

Berdasarkan catatan silsilah Raden Tumenggung sosrokusumo merupakan asli keturunan dari pihak istana Yogyakarta yang berasal dari Grobogan Jawa Tengah. Pada dulunya ia ditempatkan di berbagai sebagai bupati oleh Kesultanan Yogyakarta sebelum ia diangkat lagi oleh pihak pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1830. Pada periode pemerintahan tersebut Raden Tumenggung Sosrokusumo membangun tata pemerintahan di kota Berbek dan juga sempat mendirikan sebuah masjid agung di berbagai wilayah. 

Perjanjian sepreh  (1830) sebagai bukti penunjukkan Raden Tumenggung Sosrokusumo sebagai Bupati Berbek

Setelah berakhirnya Perang Jawa pada tahun 1830 maka dapat ditandai sebagai titik balik bagi perkembangan sistem tata pemerintahan tradisional di Pulau Jawa khususnya pada wilayah Berbek yang mulanya menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta berganti menjadi wilayah kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda. Hal ini dikarenakan setelah berakhirnya Perang Jawa terdapat berbagai macam konsekuensi yang harus ditanggung oleh rakyat Jawa yang mana terdapat beberapa wilayah yang harus diserahkan kepada kolonial Belanda. Seperti halnya wilayah Berbek yang diserahkan kepada kolonial Belanda.  Sehingga dengan berakhirnya Perang Jawa juga yang berakhir pada 1830 menjadi tanda adanya perubahan kekuasaan pemerintahan yang pada mulanya Kadipaten berubah menjadi pemerintahan di bawah kekuasaan Kolonial Belanda. Hal ini ditandai dengan adanya Perjanjian Sepreh (1830).

Perjanjian Sepreh ini dilakukan di Pendopo Ngawi Jawa Timur pada tahun 1830 proses penandatanganan perjanjian Sepreh dilaksanakan pada tanggal 3-4 Juli 1830 yang merupakan kesepakatan bersama antara pihak Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta serta pihak Belanda sebagai bagian dari konsekuensi-konsekuensi Perang Jawa yang telah berlangsung selama tahun 1825 hingga 1830. Pada proses penandatanganan perjanjian sepreh Tahun 1830 di Pendopo Ngawi inilah dihadiri kurang lebih 23 orang sebagai perwakilan dari Indonesia atau rakyat Jawa dan juga perwakilan dari pihak Belanda. Sehingga setelah adanya proses penandatanganan perjanjian sprei maka secara mutlak Kadipaten yang ada di Nganjuk secara resmi masuk dalam birokrasi kekuasaan kolonial Hindia Belanda seperti contoh Berbek.

Akhir dari Perang Jawa ini Serta adanya perjanjian Sepreh ini menjadi bukti bahwa dalam peperangan tersebut pihak Belanda mendapatkan kemenangan dalam Perang Jawa tersebut. Dari kemenangan itulah maka Belanda dapat menjadi sebuah tanda bahwa Belanda dapat menguasai kembali secara mutlak seluruh wilayah dari Nganjuk. 

Setelah proses penandatanganan perjanjian Sepreh di tahun 1830 maka menandai terputusnya pemerintahan di bawah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta sehingga pada tahun 1830 dalam menjalankan roda pemerintahannya tanggung jawab pemerintahan dilakukan secara bertingkat ke atas yaitu kepada Gubernur Jenderal di Batavia atau Jakarta. Bahkan dalam proses pergantian pengangkatan dan pemberhentian para Adipati dilakukan langsung oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda melalui pertimbangan pejabat residen. Pada tanggal 16 juni 1831 terdapat sebuah keputusan yang telah ditandatangani oleh yang menyatakan bahwa ia menjabat sebagai bupati Berbek dipegang oleh Raden Tumenggung sosrokusumo (Arsip Sejarah Nganjuk). 

Penataan administrasi wilayah Berbek 

Setelah peresmian dan selesainya penandatanganan perjanjian Sepreh di tanggal 3 hingga 4 Juli 1830 maka diadakan sebuah pertemuan lanjutan yang dilakukan pada tanggal 31 Agustus 1830. Dalam pertemuan tersebut dibahas sebuah pelegalan atau kelanjutan keputusan-keputusan sebelumnya yang ada pada perjanjian Sepreh pada bulan Juli 1830. Dalam hal ini akan dilakukan sebuah penataan ulang terkait susunan sistem administrasi pemerintahan untuk mengatur wilayah di Berbek yang baru saja masuk dalam bagian pemerintahan kolonial Hindia Belanda 1 bulan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa akan adanya perpaduan birokrasi pemerintahan di wilayah Nganjuk yaitu antara birokrasi pola tradisional atau warisan Kerajaan masa lampau dengan birokrasi pola kolonial apa sistem Eropa-Belanda (Jarwanto,2021).

Baca Juga :   Asmara Hadi; Pemberi Nama Pancasila di Balik Layar

Beriringan dengan adanya perjanjian sepreh di tahun 1830 terdapat sebuah  peristiwa yang ada pada birokrasi pemerintahan kolonial hindia-belanda yaitu terjadinya suatu pergantian jabatan Gubernur Jenderal dan perubahan perubahan kebijakan politik yaitu dengan datangnya Gubernur Jenderal baru bernama Johannes Van den Bosch. Gubernur baru ini berencana menerapkan sebuah kebijakan politik ekonomi yang baru seperti halnya Cultuurstelsel atau sistem tanam paksa di seluruh wilayah Hindia-Belanda terputus di Pulau Jawa.

Kebijakan politik ekonomi baru ini ini menjadi sebuah tugas dan juga beban yang berat bagi Raden Tumenggung sosrokusumo. Cultuurstelsel ini merupakan sebuah seperangkat peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes Van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya sebesar 20% untuk ditanami komoditas ekspor khususnya kopi, tebu, teh, indigo dan tarum. Hasil tanaman ini akan di jual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan selanjutnya hasil panen diserahkan kepada pemerintahan hindia-belanda (Jarwanto,2021).

Keuntungan dari sistem tanam paksa inilah yang dapat memberikan sumbangan besar bagi modal di zaman keemasan kolonial Hindia Belanda pada tahun 1830 hingga 1870. Penerapan sistem tanam paksa atau Cultuurstelsel ini dilatarbelakangi oleh kondisi pemerintah Belanda sendiri yang mulai terkuras staf keuangan negaranya. Yang salah satunya disebabkan oleh banyaknya pengeluaran yang dilakukan untuk menghadapi perlawanan selama periode Perang Jawa atau Perang Diponegoro di tahun 1825 hingga 1830.

Peran Raden Tumenggung Sosrokusumo

Tokoh Raden Tumenggung sosrokusumo oleh masyarakat dikenal sebagai sosok yang berjasa dalam membangun wilayah kabupaten Berbek pada masa itu. Raden Tumenggung sosrokusumo dapat digambarkan sebagai sosok pribadi yang tidak hanya piawai dalam kebijakan politik pemerintahan namun juga dianggap memiliki kelebihan tertentu dalam hal pengetahuan, keagamaan, dan spiritualitas (Prayitno,2021). 

Akhir Hidup Raden Tumenggung Sosrokusumo

Raden Tumenggung Sosrokusumo meninggal pada tahun 1832 dan dimakamkan di belakang masjid Yoni Al Mubarok. Tahun meninggalnya ditandai dengan lambang candrasengkala yang berbunyi Leno sarosa pandito iku atau merujuk pada angka tahun Jawa  menunjukkan angka 1760. Jika dikonversi dengan tahun masehi maka dapat disebut dengan 1832 Masehi. Hal ini menunjukkan bahwa kurang dari 2 tahun setelah penunjukannya sebagai Bupati oleh pemerintah Hindia-Belanda Raden Tumenggung sosrokusumo meninggal dunia dan sebagai penggantinya dari kedudukannya tersebut sebagai bupati diberbagai selanjutnya ditunjuk Raden Tumenggung Sosrodirjo sebagai pengganti atau penerusnya (Jarwanto,2021).

Raden Tumenggung Sosrokusumo dimakamkan di belakang masjid Al-Mubarok sekarang makam Raden Tumenggung Suryo Kusumo menjadi wisata religi hampir setiap hari banyak dikunjungi wisatawan untuk berziarah maupun melihat atau belajar terkait sejarah dari Bupati pertama kota Berbek (Efendi,2021).

Bukti Peninggalan Raden Tumenggung Sosrokusumo

Masjid Agung yang didirikan oleh Raden Tumenggung sosrokusumo ini disebut sebagai masjid Yoni Al Mubarok yang mana masjid ini didirikan pada tahun 1818. Hal ini disesuaikan dengan candrasengkala yang ditemukan di dalam masjid dengan bunyi Adeging Masjid Ing Negeri Toya Mirah dengan sangkalan Toto Catur Pandito hamadani yang menunjukkan angka 1745 (tahun Jawa) sedangkan jika pada tahun masehi maka disebutkan bahwa candrasengkala tersebut menunjukkan pada tahun 1818 Masehi. Letak dari Masjid Agung ini sendiri ada pada sebelah barat dari pusat alun-alun Kota Brebek pada masa tersebut.

Masjid Yoni Al Mubarok ini memiliki ciri khas yang unik dikarenakan ragam arsitekturnya yang merupakan hasil dari akulturasi antara Kebudayaan lokal Jawa, Cina, serta klasik atau Hindu-Budha. Hal ini terlihat pada seluruh bagian dari Kompleks pembangunan masjid. Tidak hanya hal tersebut di depan masjid Yoni Al Mubarok terdapat sebuah peninggalan berupa artefak yang bercorak Hindu yaitu Yoni kuno yang kemudian dialihfungsikan sebagai jam matahari dan penunjuk waktu sholat (Jarwanto,2021).

DAFTAR PUSTAKA

______.Arsip Sejarah Nganjuk

Efendi,A.T.2021. Kisah Hidup Raden Tumenggung Sosrokusumo. Nganjuk

Jarwanto.2021. Nganjoek Dalam Lintasan Sejarah Nusantara.Lamongan: Pagan Press

Prayitno,Hendro.2021.Profil Raden Tumenggung Sosrokusumo.Nganjuk

Prodjowibowo.1978.Asal Usul R.T Sosronegoro Bupati Grobogan Sarto R.T Sosrodiningrat Bupati Nayoko Wedono Lebet Godong Tengen Rajakuasi.Ngayogyakarta : Kraton Ngayogyakarta

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts