Poros Politis Masyarakat Taiwan Pasca 1945

Memasuki tahun 1949, diperkirakan 1,2 juta warga sipil dan tentara Republik Tiongkok pindah ke Taiwan. Orang-orang ini disebut Waishengren atau “orang provinsi asing”. Kebanyakan dari mereka adalah tuan tanah, elit pemerintah, militer maupun orang-orang biasa di Tiongkok yang membenci Partai Komunis Tiongkok (PKT). Sejak saat itu, Taiwan terkonsentrasi antara orang Han Waishengren dan Han Taiwan yang saling menaruh curiga antara satu dengan yang lain.

Oleh Haris Norfaizi

Fase kedua sejarah Taiwan dimulai pada 1945 ketika sebelumnya pulau Formosa ini telah lama dalam naungan negeri matahari terbit. Selama akhir Perang Dunia II, Amerika Serikat membom Taiwan dan menghancurkan industri-industri besar di Taiwan untuk mengalahkan Jepang, dan ini adalah satu-satunya perang yang terjadi di Taiwan selama abad ke-20. Kemudian Jepang menyerah dalam Perang Dunia II dan harus menyerahkan Taiwan ke Republik Tiongkok. Pada waktu itu, meskipun dibom oleh Amerika Serikat, Taiwan masih jauh lebih berkembang daripada bagian daratan Tiongkok.

Setelah 1945, Republik Tiongkok masih sibuk melawan komunis di daratan dan belum terlalu peduli tentang Taiwan. Sayangnya, pada tahun 1947 insiden 228 terjadi di Taiwan. Orang-orang Han Taiwan setempat melakukan kerusuhan dan membunuh banyak orang yang tidak bersalah. Presiden Republik Tiongkok, Chiang Kai Shek mengira insiden ini diorganisir oleh komunis karena ada banyak kerusuhan serupa yang terjadi di bagian lain Tiongkok. Kerusuhan dengan cepat ditekan dengan kekerasan.

Namun, memasuki tahun 1949, diperkirakan 1,2 juta warga sipil dan tentara Republik Tiongkok pindah ke Taiwan. Orang-orang ini sekarang disebut Waishengren atau “orang provinsi asing”. Kebanyakan dari mereka adalah tuan tanah, elit pemerintah, militer maupun orang-orang biasa di Tiongkok yang membenci Partai Komunis Tiongkok (PKT). Sejak inilah, Taiwan terkonsentrasi antara orang Han Waishengren dan Han Taiwan yang saling menaruh curiga antara satu dengan yang lain. Waishengren masih khawatir orang Han Taiwan berorganisir dengan kelompok komunis untuk menekan mereka, dan vice versa, orang Han Taiwan curiga bahwa Waishengren akan terus memikirkan nasib mereka sendiri dan menyingkirkan hajat bagi orang Han Taiwan setelah Insiden 228 tersebut.

Namun, setelah runtuhnya Uni Soviet, Amerika Serikat memenangkan perang dingin dan menyerukan universalisasi demokrasi liberal barat di antara banyak negara atau wilayah di seluruh dunia. Taiwan adalah salah satunya. Chiang Ching-Kuo terpaksa menyerahkan kekuasaannya dan mencabut hukum darurat perang. Pada tahun 1996, Taiwan mengadakan pemilihan bebas pertama dan Lee Teng-hui menjadi presiden. Dia awalnya loyal kepada Republik Tiongkok tetapi kemudian berubah menjadi separatis kemerdekaan Taiwan yang ekstrem. Setelahnya, Taiwan jatuh dalam perbedaan antara faksi pro-nasionalis di antara Waishengren (sayap biru) dan faksi pro-kemerdekaan di antara keturunan Tionghoa yang berpendidikan Jepang (sayap hijau) atau Benshengren.

Benshengren masih berorientasi dengan kemewahan Taiwan pada masa pendudukan Jepang dan sebagai dampak dari Jepangisasi yang begitu lama sejak nenek moyangnya dahulu terus tertanam hingga saat ini. Orang Han Taiwan yang nenek moyangnya berasal dari Fujian selatan (khususnya, wilayah Minnan di Quanzhou, Xiamen, dan Zhangzhou) dan telah tinggal di Taiwan sejak sebelum pendudukan Jepang pada tahun 1895 akan secara universal dianggap sebagai benshengren di Taiwan. Seorang Taiwan keturunan Minnan yang telah tinggal di Taiwan selama beberapa ratus tahun tidak akan pernah mengidentifikasi dirinya sebagai orang Minna, tetapi hanya sebagai seorang benshengren. Kontroversinya adalah bahwa tidak semua orang yang telah tinggal di Taiwan selama beberapa ratus tahun adalah keturunan Minnan (walaupun mereka adalah mayoritas).

Baca Juga :   Historiografi Islam Modern

Ada juga suku Hakka dan suku asli (setidaknya 14 suku atau lebih. Mereka memperbarui jumlah suku setiap beberapa tahun, jadi sulit untuk melacaknya). Suku Hakka berasal dari Fujian Dalam atau Provinsi Guangdong Timur Laut. Dalam hal politik, Hakka terpecah atas kemerdekaan Taiwan: orang-orang di Kabupaten Hsinchu dan Miaoli menentangnya, sementara Hakka di Taiwan selatan (bagian dalam Kaohsiung dan Pingtung) mendukungnya. Poros masyarakat Hakka ini ditentukan oleh seberapa besar pengaruh Waishengren atau Benshengren dari wilayah tersebut. 

Memasuki abad ke-21, segregasi antara Waishengren dan Benshengren tidak lagi menekankan sebagai seseorang yang berasal dari wilayah daratan Tiongkok atau Taiwan, menjadi orientasi politis antara kubu biru (KMT) dan kubu hijau (DPP). Namun sikap tersebut tercermin dalam intrik politisnya yang turut masuk dalam keseharian. Kubu hijau atau yang mewakili Benshengren, sejak memasuki pemerintahan pada masa Presiden Chen Shui-Bian menekankan Bahasa Minnan atau Hokkien Taiwan di samping Bahasa Mandarin, hingga romantisasi Jepang begitu terlihat dari televisi maupun toko-toko yang berdiri mengunggulkan nama Jepang dalam produknya sebagai daya tarik yang bagus.

Pada akhirnya, meskipun poros biru dan hijau masih menduduki yang terbesar di masyarakat Taiwan, namun di tengah hangatnya perseteruan dengan Tiongkok daratan, orang-orang mencari alternatif untuk mempertahankan status-quo dari pulau Formosa ini alih-alih mendorong segregasi politik kedua kubu dengan salah satunya berdiri Taiwan’s People Party (TPP) yang cenderung menjadi jalur tengah dan menitikberatkan kepada mempertahankan status-quo yang berlaku yang juga menandakan berakhirnya kesenjangan politik biru-hijau yang sudah lama terjadi di Taiwan dengan mengusung warna putih melambangkan kelompok yang mendukung pemerintahan yang terbuka dan transparan. 

Namun, di abad ke-21, hal itu tidak lagi menjadi masalah, karena keturunan Benshengren dan Waishengren semuanya memiliki pola asuh yang sama, karena Waishengren selalu merupakan minoritas kecil, sebagian besar Waishengren saat ini secara teknis bercampur. Di Taiwan saat ini, baik Waishengren maupun Benshengren hampir pasti pergi ke sekolah yang sama saat tumbuh dewasa, menggunakan bahasa Mandarin sebagai bahasa pengantar utama mereka, mendengarkan musik yang sama, menonton film yang sama, serta mengidentifikasi Taiwan sebagai rumah mereka dan ROC sebagai sebuah negara yang menaungi mereka.

Daftar Pustaka

Chang, M. K. (2010). Guo Jia Yu Ren Tong: Yi Xie Wai Sheng Ren De Guan Dian [Nation and Identity: Perspectives of Some “Waishengren”]. Taipei: Chunxue Chubanshe.

Corcuff, S., & Edmondson, R. (2002). Memories of the future: National identity issues and the search for a new Taiwan. ME Sharpe.

Shih, C. F., & Chen, M. (2010). Taiwanese identity and the memories of 2–28: A case for political reconciliation. Asian Perspective, 34(4), 85-113.

Shih, F. L. (2021). Taiwan’s culture wars from “re-China-ization” 1 to “Taiwan-ization” and beyond: President Tsai Ing-wen’s cultural policy in the long-term perspective. In Taiwan in the Era of Tsai Ing-wen. Routledge.

Yang, M. H. (2012). The great exodus: sojourn, nostalgia, return, and identity formation of Chinese mainlanders in Taiwan, 1940s-2000s (Doctoral dissertation, University of British Columbia).

Yang, M. H., & Chang, M. K. (2010). Understanding the Nuances of ‘Waishengren’: History and Agency. China Perspectives, (83), 108-122.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts