Politik Etis: Restitusi, Produksi, Demokrasi

Pada tahun 1901 Ratu Wilhelmina (1890-1948) mengumumkan suatu penyelidikan tentang kesejahteraan di Jawa, dan dengan demikian politik Ethis secara resmi disahkan.

Oleh Tom Jones Malau

Politik Ethis berakar baik pada masalah kemanusiaan maupun pada keuntungan ekonomi. Kecaman-kecaman terhadap pemerintah bangsa Belanda yang dilontarkan dalam Novel Max Havelaar (1860) dan pengungkapan lainnya mulai membuahkan hasil. Semakin banyak suara Belanda yang mendukung pemikiran untuk mengurangi penderitaan rakyat Jawa yang tertindas, dan akhir abad XIX para pegawai kolonial baru berangkat dari Indonesia dengan membawa Max Havelaar dalam koper mereka dan amanatnya di kepala mereka.

Pada tahun 1899 C.Th. van Deventer, seorang ahli hukum yang pernah tinggal di Indonesia selama tahun 1880-97, menerbitkan sebuah artikel yang berjudul ‘Een eereschuld’ (‘Suatu hutang kehormatan’) di dalam majalah berkala Belanda de Gids. Dia menyatakan bahwa negeri Belanda berhutang kepada bangsa Indonesia terhadap semua kekayaan yang telah diperas dari negeri mereka.

C.Th. van Deventer
Sumber: Wikipedia

Restitusi

Van Deventer penulis artikel yang berjudul “Hutang Budi”. Ia menuntut restitusi berjuta-juta uang yang diperoleh negeri Belanda. Daya tarik dari ide restitusi ini diperkuat oleh tumbuhnya kesadaran akan makin berkurangnya kesejahteraan penduduk peribumi. Ia juga mengecam politik keuangan Belanda yang tidak memisahkan keuangan negeri induk dari negeri jajahan. Pemisahan itu dapat dilakukan sejak tahun 1867, dan dinyatakan bahwa selama periode antara tahun 1867 sampai tahun 1878 telah diambil 187 juta gulden, dinamakannya politik ini politik Batig Slot – yang tidak menambah tapi mengeksploitasinya. Uang sejak tahun 1878 perlu dikembalikan sebab itu merupakan “utang Kehormatan”

Dalam politik “kewajiban moril” yang telah didukung oleh semua golongan, dinyatakan bahwa negeri Belanda harus memperhatikan kepentingan pribumi dan membantu Indonesia dalam masa kesulitan. Politik Etis mulai dilaksanakan dengan pemberian sebesar 40 juta gulden, suatu pemberian yang telah bertahun-tahun diperjuangkan oleh kaum etis yang semuanya menuntut pengembalian jutaan yang telah diambil oleh Nederland.

Produksi

Industri Belanda mulai melihat Indonesia sebagai pasar yang potensial yang standar hidupnya perlu ditingkatkan. Modal Belanda maupun Internasional mencari peluang-peluang baru bagi investasi dan eksploitasi bahan-bahan mentah, khususnya di daerah-daerah pulau Jawa, terasa adanya kebutuhan akan tenaga kerja Indonesia akan perusahaan-perusahaan modern. Oleh karena itulah maka kepentingan-kepentingan perusahaan mendukung keterlibatan penjajah yang semakin intensif untuk mencapai ketentraman, keadilan, modernitas, dan kesejahteraan.

Di tangan perusahaan-perusahaan swasta produksi komoditi daerah tropis meningkat dengan cepat. Dari tahun 1900 sampai 1930 produksi gula meningkat hampir empat kali lipat, dan produksi teh meningkat hampir sebelas kali lipat. Pada tahun 1890 A.J. Zijkler mendirikan Koninklijke Nederlandsche Maatschappij tot Exploitatie van Petroleum-bronnen in Nederlandsch-Indie (Perusahaan Kerajaan belanda bagi Eksploitasi Sumber-sumber Minyak Bumi di Hindia Belanda), yang lazim dikenal dengan sebutan ‘de Koninklijke’ saja. Pada tahun 1892 produksi dimulai. Pada tahun 1900 ‘de Koninklijke’ mengekspor minyak bumi ke kawasan-kawasan Asia lainnya.

Perusahaan-perusahaan lain segera tertarik pada kandungan minyak bumi Indonesia, dan pada tahun 1920-an ada kira-kira lima puluh perusahaan yang beroperasi di Sumatera (sepanjang pesisir timur dari Aceh sampai palembang), Jawa (di Semarang, Rembang, dan Surabaya), serta kalimantan (di pesisir timur). Pada tahun 1907 Shell dan ‘de koninkljke’ bergabung dan berganti nama menjadi Royal Dutch Shell. Pada tahun 1930 Royal Dutch Shell berhasil memproduksi sekitar 85 persen dari keseluruhan produksi minyak di Indonesia. (Sejarah Indonesia Modern hal 230)

Baca Juga :   Buruh di Perkebunan Sumatera Timur

Produksi Baru Lainnya adalah karet, yang juga berhubungan erat dengan produksi Industri Mobil. yang pada awalnya dicoba untuk menanam bibit pohon karet impor yang bernama Hevea brasiliensis, dan pemerintah kolonial terus mendorong penyebaran jenis komoditi ini. Bukan hanya pengusaha Belanda saja yang aktif id Indonesia. Di Sumatera Timur lebih dari 40 persen investasi pertanian pada tahun 1929 adalah non-Belanda, lebih dari 18 persen adalah modal Inggris. Industri minyak bumi juga semakin bersifat internasional. Pada tahun 1931 para pengusaha kecil Indonesia berhasil memproduksi 35 persen dari hasil karet, 79 persen dari hasil tembakau, 57 persen dari produksi kopi, 19 persen dari produksi teh, dan hampir seluruh produksi kelapa, lada dan kapas.

Buruh di Sebuah Pabrik Gula
Sumber: John Ingelson, Perkotaan, Masalah Sosial dan Perburuhan Di Jawa Masa Kolonial. Depok: Komunitas Bambu, 2013

Demokrasi

Para Pembaharu Ethis (Ethical Reformers)  bertujuan memperkuat desa dan menggunakannya sebagai pendongkrak, bukan saja untuk meningkatkan produksi materiil, melainkan juga untuk mempertinggi kesejahteraan sosial dan untuk mendorong pemerintahan sendiri yang demokratis. Pandangan ini mereka ekspresikan dalam undang-undang Pemerintahan Desa pada 1906 dimana undang-undang ini bertujuan untuk memberikan suatu ukuran atau norma untuk penduduk desa dalam mengawasi dan mengadministrasi urusan-urusan desa, kekayaan, tanah, pendapatan dan pengeluaran desa untuk kepentingan rakyat dan bekerjanya di bawah kontrol suatu lembaga masyarakat desa. Hal Ini dipandang perlu untuk memberikan latihan demokrasi politik bagi penduduk desa dan pada saat yang sama akan melengkapi pejabat-pejabat eropa dengan aparat praktis.

Sumber 

M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007.

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho NotosusantoSejarah, Nasional Indonesia Jilid V. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.

Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Jakarta: PT GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA, 1999.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts