politik etis

Politik Etis: Pendidikan yang Begitu Menyedihkan

Pada Awal abad ke-20 Belanda mengumumkan ‘Ethische Politiek (Politik Etis)’ baru untuk Indonesia. Kebijakan ini berkontribusi pada modernisasi masyarakat Indonesia dan pada akhirnya pembebasan dari kekuasaan kolonial. Tokoh Terpenting dari pada pendukung kebijakan ini biasa disebut ‘Ethici’ adalah Pengacara C.Th.Van Deventer. Van Deventer, menulis artikel yang berjudul “Hutang Budi”Pada 1899 yang berargumentasi bahwa Belanda memiliki ‘een eereschuld (utang kehormatan/ Budi)’kepada Indonesia untuk membalas semua kekayaan yang datang dari sana.

Oleh Tom Jones Malau

Nampaknya Pemerintah Belanda menanggapi Pandangan van Deventer tersebut dengan menyampaikan gagasan pembaharuan sebagaimana tercermin dalam pidato Ratu Wilhelmina yang berjudul “Ethische Richting” (Haluan Etis) atau “Nieuw Keurs” (Haluan Baru)  dimana salah satu pointnya adalah menerima usulan-usulan sebagaimana dikemukakan oleh van Deventer, Kielstra dan D.Fock untuk dapat memperbaiki tingkat kehidupan penduduk pribumi. Sudah terkenal bahwa politik etis menggunakan tiga sila dalam slogannya: Irigasi, Edukasi dan Imigrasi.

J.H Abendanon
geni.com

Semua pendukung politik Ethis menyetujui ditingkatkannya pendidikan bagi rakyat Indonesia, tetapi ada dua aliran pemikiran yang berbeda mengenai jenis pendidikan yang bagaimana dan untuk siapa. Snouck Hurgronje dan direktur pendidikan ‘Ethis’ yang pertama (1900-5), J.H. Abendanon, mendukung pendekatan yang sifatnya elite yang bergaya eropa dengan bahasa Belanda sebagai pengantarnya bagi kaum elite Indonesia yang dipengaruhi barat. hal ini membuat banyak pekerjaan yang tadinya ditangani pegawai pemerintah berkebangsaan Belanda diambil alih oleh orang- orang Indonesia.

A.W.F Idenburg
Wikipedia.org

Sementara aliran pemikiran yang lain yakni Idenburg (Menteri Urusan daerah jajahan) dan Gubernur Jenderal van Heutsz (1904-9) mendukung pendidikan yang lebih mendasar dan praktis dengan bahasa daerah sebagai bahasa pengantarnya bagi golongan-golongan bawah tersebut. Pendekatan yang sifatnya elite itu diharapkan akan menghasilkan pemimpin bagi zaman cerah Belanda-Indonesia yang baru, sedangkan pendekatan yang merakyat itu akan memberikan sumbangan secara langsung bagi kesejahteraan. Namun tak satupun dijalankan dengan dengan sumber-sumber yang cukup memadai, dan tak satupun menghasilkan apa yang diinginkan oleh para pendukungnya.

Gubernur Jenderal van Heutsz
Wikipedia.org

Reformasi Pendidikan pertama kalinya dilakukan pada tingkat tinggi. Tiga sekolah untuk putra kaum elit yang mengajarkan membaca, berhitung, dan keahlian praktis seperti melakukan survei pada 1900 diubah menjadi akademi pegawai negeri sipil yang disebut Opleidingscholen voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA, Sekolah Pendidikan untuk Pejabat Pribumi). Selama 1900-1902, Sekolah ‘Dokter Jawa’ di Batavia- yang mengajarkan vaksinasi dan keahlian medis lainnya, diubah menjadi  School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA, Sekolah Pendidikan Dokter Pribumi). Baik OSVIA maupun STOVIA menggunakan pengantar bahasa Belanda. 

Pemerintah kolonial membangun pendidikan tingkat Universitas di Indonesia tetapi hasilnya hanya sedikit. pendidikan tinggi dimulai dengan pembukaan institut teknologi di Bandung pada 1920. Akademi hukum kemudian dibuka di Batavia pada 1924 dan pada 1927 STOVIA diubah menjadi akademi kedokteran.

Sekolah-sekolah desa didirikan sejak 1907 dengan sedikit subsidi pemerintah. Sebagian besar biaya harus ditanggung sendiri oleh penduduk desa. Sekolah ini mengajarkan dasar-dasar membaca dan berhitung. Pada 1930-an terdapat 9600 sekolah semacam ini di seluruh Indonesia. Lebih dari 40% anak-anak Indonesia berusia enam sampai sembilan tahun bersekolah di dalamnya walaupun tidak semua sampai lulus. Pada kenyataanya banyak keluarga petani yang hanya melihat sedikit keuntungan dalam pendidikan ini dan banyak anak-anak yang hanya kadang-kadang saja bersekolah atau tidak sama sekali.

Begitu kecilnya dampak upaya pemerintah di bidang pendidikan terlihat jelas dalam sensus pada 1930. Pada saat itu, hanya 7.4% pribumi dewasa yang bisa membaca dan menulis. Literasi seringkali dicapai melalui saluran lain yang bukan sekolah pemerintah kolonial. sekitar seperenam hingga seperempat orang ‘melek huruf’ di berbagai daerah di Jawa mendapatkan kemampuannya di luar sekolah.

Baca Juga :   Politik Etis: Restitusi, Produksi, Demokrasi

Anggaran yang diberikan pemerintah bagi pendidikan pada 1905, termasuk di dalamnya tunjangan-tunjangan subsidi sekolah Swasta, hanyalah sebesar ƒ 2 juta, sehingga dihitung untuk 40 juta penduduk pada waktu itu hanyalah 5 sen per orang. Pada 1918 anggaran pendidikan baru rata-rata 20 sen per orang, suatu kepincangan besar besar bila dibandingkan dengan anggaran tentara yang sebesar ƒ 1.25 per orang. Penting untuk diketahui bahwa pembukaan sekolah-sekolah pun lebih didasarkan pada kepentingan pemerintah kolonial atau pengusaha daripada untuk kebutuhan penduduk.

Sumber

A. Daliman, Sejarah Indonesia Abad XIX-Awal Abad XX: Sistem Politik Kolonial Dan Administrasi Pemerintahan Hindia-Belanda. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012.

MC Ricklefs, Dkk, Sejarah Asia Tenggara Dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer. Depok: Komunitas Bambu, 2013.

M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts