Perkembangan Kesenian Tayub: Citra Perempuan Penari Tayub

Salah satu kesenian langka asli Indonesia adalah Kesenian Tayub. Penari dari kesenian ini keseluruhannya adalah perempuan. Kesenian ini masih menjadi mata pencaharian pokok bagi segelintir masyarakat daerah, khususnya Jawa timur. Masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah bagaimana pandangan masyarakat saat ini terhadap para penari perempuan. Terlepas dari hal tersebut, tayub sendiri merupakan kesenian yang pelestariannya turun temurun dari keluarga yang menggeluti tayub. Fungsi sebenarnya dari tari tayub adalah sebgai sarana pemujaan dan syukuran panen raya.  Tetapi banyak orang menggangap bahawa kedudukan para penari ini sebagai ledhek digunakan sebagai sarana penghibur dan pemuas para lelaki yang kebanyakan mereka lelah setelah bekerja. Saat ini banyak upaya yang dilakukan masyarakat untuk mengembalikan citra penari tayub. Dengan adanya pembatasan jam pentas, penonton dilarang menggunakan minum minuman keras dan bertindak sopan saat pementasan berlangsung. Tidak hanya masyarakat, penari juga harus menjaga diri mereka sendiri dengan cara membentengi dirinya agar tidak terjadi hal negatif dan memakai kostum yang pantas saat pementasan berlangsung. 

Oleh Dannete Christ

Indonesia lahir dengan keragaman budaya yang beraneka ragam. Dari adanya budaya yang tumbuh di Indonesia menghasilkan kesenian yang berbeda setiap daerahnya. Ini menjadikan ciri khas dari setiap daerah. Kesenian banyak macamnya, mulai dari seni drama, seni musik, seni tari dan jenis kesenian lainya. Berbicara mengenai seni tari tradisional merupakan bagian dari seni yang tidak akan terpisahkan dari kehidupan manusia. Corak ragam budaya seperti tarian tradisional dapat menjadi daya tarik tiap daerah untuk warga setempat. Tarian tradisional yang dimiliki setiap daerah mempunyai perbedaan baik nama maupun gerakannya yang di dalamnya mengandung makna tertentu. 

Keberadaan seni tari dengan lingkungannya merupakan masalah sosial yang cukup menarik. Beberapa tarian tradisional tertentu saja yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Hal tersebut dikarenakan tarian tradisional masih eksis di lingkungannya. Artinya masyarakat masih menerima dan melestarikan keberadaan tarian tradisional tersebut.  Tayub merupakan salah satu contoh tarian yang sampai saat ini masih ada dan masih disajikan di berbagai acara, khususnya pada rangkaian acara bersih desa dan panen raya penduduk setempat. Selain itu, tayub juga dipentaskan pada perhelatan perkawinan masyarakat desa. Penari perempuan disebut dengan ledhek dan penonton laki laki disebut dengan pengibing. Biasanya mempelai laki laki diberi kesempatan pertama untuk menari dengan ledhek terlebih dahulu dengan harapan dan doa mendapat kesuburan untuk kedua mempelai. Hal itu tidak hanya terjadi di acara besar saja tetapi saat kesenian tayub sendiri mengadakan pementasan penari wanita juga menggandeng penonton untuk menari bersamanya. Dalam pementasan tari tayub, muncul berbagai interaksi baik antara ledhek dengan pengibing, ledhek dengan tokoh masyarakat, ledhek dengan penonton dan berbagai interaksi lainnya yang terjadi dalam pentas tari tayub. Sayangnya pertunjukan tayub ini disalahgunakan oknum  tertentu dengan cara memberi saweran terhadap penari wanita. Dan ada lagi yang membawa minuman keras dan beralkohol. Penyimpangan sosial ketika pentas tari tayub ini mengakibatkan munculnya labeling masyarakat terhadap profesi ledhek ke arah yang negatif. Labeling sendiri adalah cara pandang atau penilaian terhadap sesuatu yang diberikan oleh masyarakat. Biasanya labeling digunakan untuk mengontrol suatu pelanggaran yang terjadi di masyarakat. Tetapi tidak dengan labeling yang diberikan kepada penari tayub. para pelaku tayub ini mendapat cap yang negatif dari masyarakat. Mereka menganggap bahwa penari tayub sama dengan pelacur atau wanita penggoda yang dianggap dapat menjadi perusak rumah tangga seseorang dengan menjadi istri simpanan. Itu disebabkan karena untuk menjadi seorang ledhek tidak memerlukan pelatihan khusus. Mereka cukup belajar dari ledhek senior mereka secara turun temurun. Citra negatif yang diberikan masyarakat untuk para penari tidak membuat mereka beralih profesi, tetapi mereka justru makin eksis di dunia hiburan masyarakat desa. 

Baca Juga :   Volksgezhondeid: Wabah dan Kematian di Jawa Timur Awal Abad 20

Seni tayub masih digemari oleh beberapa kelompok masyarakat terutama mereka yang bertempat tinggal di pelosok atau pedesaan. Sejak munculnya tayub, banyak orang beranggapan bahwa kesenian ini selalu diwarnai dengan pola tingkah laku seks bebas, mabuk mabukan, dan perbuatan tercela lainya. Bahkan pelaku tayub khususnya mereka yang wanita ada yang mengatakan mereka harus melayani tuan rumah yang mengundang mereka sesuai permintaan. Tidak hanya menari pada acara, banyak tuan rumah yang meminta para wanita penari ini untuk dibawa dan mereka membayar para wanita ini. 

Banyak orang ketika mendengar kata kata Tayub sudah berfikir kepada hal hal yang negatif. Masyarakat sudah terlanjur akrab dengan gambaran tayub yang seperti itu. Banyak orang yang datang ke pertunjukan tayub tidak melihat keindahan keseniannya, tetapi mereka tertarik dengan kemolekan dan kemontokan tubuh sang penari wanita. Mulai dari pinggul, betis, dada, kedipan mata, hingga senyum manis sang penari. Itu dijadikan tolok ukur masyarakat saat menonton pertunjukan Tayub. Anggapan masyarakat saat ini adalah ketika kesenian tayub sedang dipentaskan tidak lengkap  rasanya bila tanpa bau alkohol dan hal negatif lainnya. Seperti sayur tanpa garam yang hambar rasanya. Dan itu sudah menjadi kebiasaan para masyarakat ketika ada pementasan. 

Masuknya hal hal negatif seperti miras, seks bebas, saweran menjadikan titik awal kemunduran kesenian tayub di masyarakat umum. Seolah seolah sudah menjadi pelengkap saat pementasan tayub berlangsung. Kebiasaan mabuk mabukan di tengah pementasan tayub menjadikan para pengibing menjadi hilang kesadaran dan melakukan tindakan diluar moral yang ditujukan kepada para penari ledhek, misalnya mencolek pipi atau bagian tubuh tertentu, mendudukan penari di pangkuannya tanpa rasa sungkan dengan penonton lainya. Dalam pementasan juga sering terjadi perkelahian antar kelompok tamu dengan penonton umum. Hal ini terjadi karena mereka sama sama merebutkan untuk menari bersama sang ledhek untuk mendapat giliran. Apalagi jika mereka dalam keadaan mabuk perkelahian sangatlah membahayakan keamanan dan kenyamanan penonton lainnya. Peristiwa ini masih sering terjadi di daerah pelosok dan pedesaan dimana mereka masih memelihara kental kesenian Tayub. 

Tari Tayub di Sragen (Suara.surakarta.com)

Masyarakat setempat percaya bahwa kedudukan penari wanita yang joged dalam pertunjukan tayub memiliki daya tarik yang sangat kuat. Karena bagi mereka seorang penjoged wanita dianggap sebagai objek hiburan dan penghibur. Dimata penonton sebagai seorang penari atau ledhe harus berparas cantik, pandai berdandan, pandai berhias dan yang terpenting adalah pandai menari. Setiap penampilannya mereka menjadi sorotan dan mereka harus dituntut ramah dan sopan kepada semua penonton yang melihat mereka. Pesona ini juga tak lepas dari senyum dari bibir para penari ledhek ini. Mereka pun hanya bisa pasrah saja ketika tubuhnya dicolek, diraba, dirangkul, dipeluk bahkan dicium oleh penggibing yang terlalu berani dan dalam keadaan mabuk. Bagaimanapun keadaanya para penari tayub ini harus melewati hal-hal tersebut ketika pementasan berlangsung. Karena mereka hanya berpikir bahwa dengan menari sebaik baiknya dapat menghibur dan memuaskan mata banyak orang. Mereka tidak sadar bahwa mereka sedang diperdaya dan dilecehkan serta diinjak harga dirinya sebagai pemuas laki laki dan hanya dibayar sewajarnya. Memang sebagai kaum wanita yang melihat dan sadar terhadap kenyataan yang harus dijalani para penari tersebut sangatlah miris merasakannya. Bagi ledhek tujuan utama mereka menjadi seorang penari tayub adalah semata mata untuk menghidupi dan mencari nafkah bagi keluarga mereka. Mereka rela menari dan mengikuti jalannya pementasan semalaman atau bahkan seharian demi mendapatkan upah yang cukup untuk memenuhi kehidupan mereka sehari hari. 

Pada awalnya tarian Tayub ini sebagian dari prosesi ritual yang diutamakan dengan gerak tariannya. Proses upacara ritual ini biasa diawali dengan penampilan tetua desa yang menari berpasangan dengan ledhek biasanya dikenal sebagai bedhah bumi. Tarian ini biasanya digunakan untuk ritual bersih desa biasanya masyarakat desa menyebutnya dengan nyandran. Bersih desa yang dilakukan oleh suatu desa tertentu biasanya diawali dengan mengunjungi dan menata pusara para leluhur desa dan dilanjutkan dengan Nyekar  atau menabur bunga di makam leluhur desa. Setelah prosesi itu berlangsung masyarakat sekitar biasanya mengadakan bancakan atau selamatan dengan tujuan sedekah yang dilakukan di punden atau sebuah makam yang dikeramatkan. Selamatan ini tidak hanya dilakukan di punden namun juga dilakukan di makam leluhur desa dan rumah kepala desa atau Kamituwo. Setelah proses semua terlaksana bagian yang paling dinanti dilaksanakan yaitu pementasan Seni Tarian Tayub. Acara penyelenggaraan penampilan Tayub ini merupakan acara puncak yang dilakukan selama proses bersih desa. Menurut pendapat warga desa yang masih menjalankan ritual ini Tari Tayub memegang pernanan penting yaitu sebagai sarana untuk hiburan para dayang atau arway yang menunggu sumur gedhe. Masyarakat desa setempat percaya bahwa dengan adanya penunggu punden tersebut sangat menyukai seni pertunjukan Tayub dan apabila pelaksanaan ritual bersih desa tidak diselenggarakan dan tidak berjalan seperti semestinya mereka akan marah dan akan mendatangkan malapetaka bagi desa tersebut. 

Baca Juga :   Raja Airlangga: Putra Udayana Sang Pencetus Kerajaan Di Tanah Jawa Timur

Upacara yang menggunakan kesenian Tayub tentunya tidak hanya upacara bersih desa. Tayub untuk ritual perkawinan dilakukan dengan penataan yang khas menurut tradisi yang berkembang di desa setempat. Biasanya kesenian Tayub ditampilkan pada saat sesi acara panggih manten antara mempelai pria dan wanita. Dalam penampilan tayub mempelai pria mendapatkan kesempatan pertama untuk menari bersama ledhek. Tidak ada syarat khusus untuk mempelai pria diharuskan bisa menari tetapi mereka cukup berdiri dan mengalungkan selendang atau sampur pada lehernya dan mengajak menari mengikuti irama gamelan. 

Tayub yang berkembang di masyarakat tentunya tidak lepas dari pengaruh keadaan politik juga yang terjadi di wilayah berkembangnya seni pertunjukan ini. Di tahun 1950an sudah banyak diketahui bahwa kondisi politik Indonesia pada saat itu kacau balau dengan seiring banyaknya partai partai yang bermunculan untuk memperebutkan kekuasaan politik. Tentunya hal tersebut mempengaruhi dalam segala aspek kehidupan masyarakat tak terkecuali perkembangan seni Tayub yang pada saat itu juga terpengaruh oleh situasi dan kondisi politik pada saat itu. Banyak yang menyebutkan bahwa Partai Komunis Indonesia banyak menggunakan tarian Tayub sebagai alat propaganda dalam kampanye kampanye yang berlangsung. Anggota PKI ini beralasan bahwa Tayub merupakan salah satu kesenian yang sangat dekat dengan rakyat dan banyak orang dengan mudah bergaul menggunakan mediator kesenian Tayub ini. Tayub sering digadang gadang bahwa jika melalui Tayub bisa mendapatkan masa yang banyak maka mereka diarahkan untuk menampilkan kedekatan kepada rakyat dan menentang feodalisme. Namun dengan seiring berjalannya waktu kehancuran PKI juga sangat berpengaruh dalam kesenian Tayub. Pada tahun 1966 keadaan seni tayub benar benar mengalami kehancuran dan kesenian Tayub tidak boleh ditampilkan atau dipentaskan lagi dengan alasan jika menampilkan kesenian tayub dalam masyarakat akan menumbuhkan semangat komunis kembali dan akan berakibat hancurnya tatanan NKRI. 

Daftar Pustaka :

Benekdiktus, Suharto. 1999. Tayub: Tayub dan Ritus Kesuburan Masyarakat. Seni Pertunjukan Indonesia. Bandung

Sedyatwati, Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.

Catur Wati, Endang. 2006. Perempuan dan Ronggeng: Tatar Sunda Telahan Sejarah Budaya. Bandung: Kajian Lintas Budaya dan Pembangunan Berkelanjutan. 

Mustika Sari, Ayu. 2016.  Peran Masyarakat Terhadap Kesenian Tayub Di Desa Bedingin Kecamatan Todanan Blora. Skripsi. Fakultas Bahasa dan Seni: Universitas Negeri Semarang

Cahyono, Agus. 2006. Pola Pewarisan Nila Nilai Kesenian Tayub. Humaniora Jurnal: Pengetahuan dan Pemikiran Seni. Vol VII, No 1. Fakultas Bahasa dan Seni: Universitas Negeri Semarang

Ratih, Endang, dkk. 2005.  Citra Wanita dalam Pertunjukan Kesenian Tayub. Humaniora Jurnal: Pengetahun dan Pemikiran Seni. Vol VI, No. 2. Fakultas Bahasa dan Seni: Universitas Negeri Semarang

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts