Perjanjian Breda 1667: Pertukaran Pulau Run dengan Pulau Manhattan New York

Dulu, Maluku merupakan penghasil rempah-rempah terbesar, seperti pala dan cengkeh, yang paling banyak dicari oleh negara-negara Eropa. Karena pala dan cengkeh awalnya hanya ditemukan di Maluku, pulau ini dijuluki Pulau Rempah-rempah. Pedagang dan penjajah Eropa berjuang untuk itu.

Oleh : Arlina Dwi Oktafiah

Rempah-rempah dianggap sangat berharga, bukan hanya karena manfaatnya sebagai penambah cita rasa makanan, tetapi juga karena perannya sebagai obat. Pala kemudian menjadi komoditas rempah-rempah, dan karena sulit ditemukan, maka sangat dihargai. Saat itu segenggam pala dianggap lebih berharga daripada segenggam emas. Saat itu, pala digunakan sebagai obat untuk mengobati Black Death yang melanda Eropa. Alhasil, nilai pala langsung naik 10 kali lipat.

Rempah-rempah dari Kepulauan Banda dikuasai oleh Benda. Kepulauan Banda sendiri terdiri dari 10 pulau vulkanik yang tersebar di Laut Banda. Pemerintahan Ratu Elisabeth I mengirim ekspedisi untuk mendapatkan pala di Pulau Run, salah satu pulau di Banda, yang kemudian menjajahnya.  Namun Belanda tak gentar demi memonopoli perdagangan pala. Pulau Run pun menjadi penyebab Perang Inggris-Belanda pada tahun 1652-1654.

Perjanjian Breda (1667) - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Perjanjian Breda 1667. Sumber gambar: id.wikipedia.org

Secara administratif, Run berstatus desa di Kecamatan Banda di Kabupaten Maluku Tengah. Berjarak sekitar 114 mil laut (211 kilometer) dari Ambon, ibu kota Provinsi Maluku. Mulai dari Ambon, perjalanan menuju Run harus melewati pulau Naira, ibu kota Kabupaten Banda, sekitar 17 mil laut (31 kilometer) dari Run.

Tidak banyak yang tahu bahwa Pulau Run, sebuah pulau kecil di Banda, digunakan sebagai pengganti Pulau Manhattan di New York dalam Perjanjian Breda antara Inggris dan Belanda. Perjanjian itu ditandatangani pada 1667, ketika Rhun sebagai kunci dunia. Saat itu pala memiliki nilai yang sama dengan emas, sehingga harga emas dan harga pala sama persis.

Sejarah mengungkapkan bahwa perjanjian breda adalah salah satu perjanjian termahal di dunia dimulai dengan komoditas buah yang disebut pala. Jauh sebelum kalender Gregorian dikutip, pala telah menjadi komoditas yang menguntungkan yang mendorong pertukaran komersial di semua benua. Di era industri, perdagangan pala bisa melampaui minyak atau karet.

Sebelum biji pala diselundupkan dan berhasil ditanam di banyak tempat, buah  ini hanya tumbuh di pulau-pulau di Kepulauan Banda, salah satunya Pulau Run. Dari Banda, pala diangkut oleh orang Melayu, Cina, dan India menggunakan perahu layar yang berlayar dengan tiupan angin. Mereka pergi ke kota-kota besar seperti Malaka dan Kalikut.

Setelah itu, para saudagar Arab mengangkutnya ke Teluk Persia dan Laut Merah, dan membawanya ke semenanjung dan Aleksandria dengan karavan, melintasi perairan Mediterania, hingga akhirnya ia mencapai meja para bangsawan Eropa. Di Eropa, harga pala bisa melambung hingga 60.000 kali lipat dari harga panennya. Catatan Jerman pada abad ke-14 menyebutkan bahwa harga 0,5 kg pala setara dengan “tujuh sapi gemuk”. Pala dicari karena mitosnya sebagai bahan ramuan obat dan vitalitas. Tanpa pala, bangsawan dan borjuis Eropa hanya akan makan bangkai dan makanan basi.

Ketika Kekaisaran Bizantium runtuh, pala menghilang dari peredaran di Eropa karena para pedagang sulit melewati Alexandria. Kekaisaran Ottoman menutup gerbang selatan Eropa. Pelaut Eropa dan mitra dagangnya akhirnya mulai mencari asal usul pala dan menemukannya di pulau-pulau Kepulauan Banda.

Pada tahun 1603, Belanda pergi ke Pulau Run di Kepulauan Banda di tengah Maluku untuk membeli rempah-rempah. Saat itu, nilai rempah-rempah membuat orang Eropa termasuk Inggris berlayar ke timur untuk mendapatkan rempah-rempah.

Baca Juga :   Game di Masa Lalu; Permainan Tradisional di Seluruh Dunia

Baru pada tahun 1616 Inggris tiba di Pulau Run dan menandatangani kontrak dengan penduduk setempat. Awalnya, perjanjian ini hanya perjanjian ekonomi, yang menetapkan bahwa Inggris membeli rempah-rempah di pulau itu, terutama pala. Pada awal abad ke-17, mitra dagang Belanda Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) tiba di Kepulauan Banda dan mulai menguasai pulau-pulau utama satu per satu.

VOC berhasil menguasai Banda dengan melakukan genosida terhadap penduduk asli Banda. Jumlah penduduk asli Banda yang tadinya ada 15.000 jiwa menjadi tersisa 600 orang saja. Bahkan, banyak penduduk asli yang tersisa memilih untuk hengkang dari Banda. Untuk menggarap perkebunan pala di Banda, VOC mengimpor buruh kebun dari daerah-daerah lain di Nusantara.

Pada tahun 1616, dengan kekuasaan VOC di Pulau Besar Banda, Inggris mulai mendirikan koloni di pulau-pulau terpencil Run dan Ay. VOC mengetahui hal ini dan merasa terancam, percaya bahwa Inggris berusaha memonopoli perdagangan pala dan melepaskan VOC.

Belanda dan Inggris kemudian berperang selama 50 tahun karena Belanda menginginkan penguasaan penuh atas Kepulauan Banda, tetapi masih ada Inggris di Pulau Lang. Sejak 1621, Belanda telah menguasai 10 dari 11 pulau Banda, kecuali Pulau Run.

Akhirnya, untuk mendapatkan pulau yang hanya seluas 6 kilometer persegi atau 600 hektar, Belanda menyerahkan koloni Amerika mereka, New Amsterdam, kepada Inggris. Meski luas wilayah New Amsterdam adalah 18 kali ukuran run, kesepakatan itu sangat menguntungkan bagi Belanda. Penguasaan Run memungkinkan Belanda akhirnya menguasai seluruh Kepulauan Banda yang merupakan satu-satunya daerah penghasil pala di dunia saat itu.

Peta Poulo Ron, Poulo Ay, Banda yang dibuat sekitar 1660. Peta ini menunjukkan bagan navigasi di dalam area piagam VOC. British Library membeli atlas dari perpustakaan kolektor Haarlem Van der Willigen pada 1875. Atlas terdiri atas 49 bagan dan pemandangan yang digambar tangan, semuanya dalam warna.
Peta Poulo Ron, Poulo Ay, Banda yang dibuat sekitar 1660. Sumber: regional.kompas.com

Setelah dipuja pada abad ke-17, ternyata keadaan Pulau Run saat ini cukup berbeda. Tak ada lagi kontroversi, tak lagi menjadi pusat perekonomian dunia, pala tak lagi menjadi buah incaran. Pala, yang sebelumnya dianggap lebih berharga daripada emas, ditinggalkan. Ini memburuk dari waktu ke waktu dan manajemen yang buruk.

Adanya teknologi refrigerasi memperlambat masa kejayaan pala. Saat ini, para petani pala harus bekerja keras hari demi hari untuk menjual pala dengan harga yang sepadan dengan kerja keras mereka.

Berlari sepertinya tidak jauh dari abad ke-17. Pulau ini telah dilupakan sejak perdagangan pala menurun dan harga jatuh pada abad ke-18. Nasibnya masih jauh dari lokasinya.

Kondisi operasi sangat kontras dengan Manhattan. Jika kekacauan lalu lintas di Manhattan tidak ada habisnya, maka Run bahkan tidak punya mobil. Jaringan jalan di pulau itu hanya berlapis semen dengan lebar 2 meter.

Selain sebagai tempat asal pala, Kepulauan Banda juga berperan penting dalam lahirnya Indonesia. Di Banda, kolonialisme dimulai. Namun ide kebangsaan juga lahir di Banda. Pada waktu yang hampir bersamaan, empat founding fathers Indonesia yaitu Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Dr Tjipto Mangunkusumo dan Iwa Kusuma Sumantri diasingkan ke Banda Neira.

Kisah pengusiran penduduk lokal dan kedatangan negara yang kemudian menjadi Banda dalam berbagai interaksi sosial dan budaya menjadikan Sutan Sjahrir salah satu gagasan yang membuat UUD.

Saat ini, Banda masih bertahan dengan wisata memancing dan wisata bawah lautnya. Pala Banda, yang pernah menjadi koordinat penting dalam sejarah penjelajahan dan penaklukan manusia, kini dihadapkan pada kenyataan bahwa pala bukan lagi produk sampingan karena kurangnya inovasi dan kebaruan. Banda bisa bertahan meski dengan denyut nadi yang lemah.

REFERENSI

Abdillah M Marzuqi. 2017. https://mediaindonesia.com/weekend/127252/mengenang-perjanjian-breda. Diakses pada 25 Juli 2021.

Baca Juga :   Mengingat kembali Penjelajahan Alfred Russel Wallace

Yahrul, M. and Kurniawan, Aris and Fadhila M, Esty. 2018. Mengenalkan Sejarah Rempah di Banda Naira Melalui E-Book Jurnal Fotografi. Jurnal Rekamakna Institut Teknologi Nasional.

Rizal Sofyan Gueci. 2016. PENGUATAN KEDUDUKAN PRANATA HAK SERVITUT DAN HUKUM BERTETANGGA DALAM YURISPRUDENSI. Jurnal Surya Kencana Dua.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts