Pergelutan Para Raksasa Dalam Sejarah Kupang 1600-1816

Sejak kejatuhan Malaka ke tangan Portugis pada 1511, wilayah Timor (Kupang) telah disinggahi secara rutin oleh para pedagang Portugis antara 1518-1550-an. Sekitar tahun 1556, seorang Ordinis Praedicatorum (Pastor Dominikan) bernama Pater Taveira telah membaptis kurang lebih lima ribu orang di Timor. Proses ini berlangsung sejak tahun 1522 yang diawali dengan kedatangan armada Ferdinand Magellan di wilayah Alor dan Timor. 

Oleh: Bambang W. Akbar

Kiprah bangsa Portugis yang menonjol di Kupang tercatat pada era 1640-an saat Pater Antonio de Sau Jacinto mengemban misinya di daerah ini. Jacinto berhasil menjalin kerja sama yang baik dengan Nai Kopan (Raja Kerajaan Helong) yang akhirnya dibaptis dengan nama Don Duarte. Jalinan kerja sama ini lalu melahirkan kontrak tertanggal 29 Desember 1645 yang berisi izin pendirian gereja dan benteng oleh Jacinto serta larangan bagi kapal-kapal dari bangsa lain untuk memasuki Pelabuhan Kupang. Melalui perjanjian ini, Portugis pun memanfaatkan Pelabuhan Kupang sebagai pusat penyebaran agama Kristen Katolik sekaligus menjadikannya sebagai basis pertahanan. Walaupun basis pertahanan Portugis sebenarnya lebih berpusat di Pulau Solor, tepatnya di Benteng Lohayong, Portugis juga membangun benteng Fort Concordia yang berlokasi di ujung muara Pelabuhan Kupang untuk meningkatkan pertahanan. 

Persaingan 

Posisi strategis Pelabuhan Kupang menarik minat VOC  untuk menguasainya. Pelabuhan Kupang dapat menjadi alat VOC untuk menguasai perdagangan secara ekonomi dan menduduki pusat pertahanan secara politik sehingga jalan VOC untuk menguasai Nusa Tenggara Timur lebih mudah. 

Kedatangan Belanda di wilayah ini sebenarnya telah tercatat sejak tahun 1599, saat Laksamana Madya Jacob van Heemskerk berlabuh di Kepulauan Banda Naira bersama dua ratus orang yang terdiri dari pedagang, serdadu, dan pelaut. Mereka tiba dengan kapal Gelderland (Geldria)  di lepas pantai Orantatta, sebuah kota di Banda Besar, pada 15 Maret 1599. disusul dengan kedatangan kapal Zeeland yang tiba sehari kemudian. Orang yang pertama turun adalah Roens Peterszoon yang diutus oleh Heemskerk pada 16 Maret untuk menyampaikan kedatangan misinya.

Kedua kapal yang dipimpin oleh Heemskerk ini sendiri merupakan bagian dari ekspedisi delapan kapal di bawah komando Laksamana Jacob van Neck, yang melakukan ekspedisi kedua ke Hindia Timur [1598-1599] dengan biaya dari Compagnie van Verre [perusahaan pendahulu VOC]. 

Jacob Van Heemskerk (Sumber: Wikipedia.org)

Sejak awal, para pendatang Belanda ini telah memperkenalkan diri sebagai musuh Portugis. Saat pendatang kompeni ini memenuhi syarat yang diminta, seperti memberikan hadiah kepada orang kaya [kepala desa atau orang terkemuka lainnya] dan membayar upeti kepada syahbandar, maka saat itulah perdagangan barter antara barang-barang milik Belanda dan rempah-rempah dimulai. Saat hubungan perdagangan berjalan lancar, van Heemskerk lalu mendirikan dua pos dagang yang disebut dengan loge [loji] di wilayah ini.  

Kesuksesan Belanda di Banda Naira membuat gusar kubu Portugis. Diceritakan mereka lalu meminta bantuan Bupati Tuban untuk melakukan ekspedisi dalam rangka menyerang dan mengusir Belanda dengan kekuatan 13 perahu dan 1.500 anggota. Namun, pada tahun 1602 usaha ini gagal setelah Belanda mengeluarkan Morgenster dan Maan, dua kapal ekspedisi terbarunya yang membuat keder pasukan dari tanah Jawa tersebut. Mereka semua akhirnya terpaksa mundur dan kembali ke Jawa. 

Alhasil, pada tahun 1613, VOC tiba di Timor dan menduduki Kupang pada tahun 1653 dan menjadikannya sebagai pangkalan perdagangan dan pusat pemerintahan. Akan tetapi, dalam usahanya menguasai kayu cendana, VOC menghadapi persaingan berat dari ‘orang-orang Portugis hitam’ atau ‘masyarakat Topas’, yakni suatu kelompok Kristen berdarah campuran yang mampu berbahasa Portugis dan berpusat di Flores. Orang-orang Topas ini sempat memberikan perlawanan kepada VOC sampai tahun 1749 saat serangan mereka akhirnya digagalkan secara total. Menghadapi situasi ini, Portugis lalu memutuskan untuk mengundurkan diri ke Timor Timur, sehingga membuat VOC dan sekutu-sekutu lokalnya menjadi kekuatan utama di Timor Barat.

Baca Juga :   Fotografi di Hindia Belanda

Sejarah Selanjutnya

Setelahnya, dari tahun 1653-1756, VOC banyak menaklukkan kerajaan-kerajaan di sekitar Kupang, seperti Kerajaan Helong, Kerajaan Ambai, Kerajaan Sonbai Kecil, dan Kerajaan Amarasi serta kerap melakukan pemerasan dan perbudakan terhadap masyarakat Kupang. Mereka melakukannya untuk memenuhi kepentingan komoditi perdagangan pada masa itu, yakni perdagangan budak, kuda, serta hasil bumi rakyat yang diperdagangkan melalui Pelabuhan Kupang. 

Masa ini berlanjut hingga tahun 1799 saat VOC akhirnya dibubarkan dan kekuasaanya diambil alih oleh Pemerintah Belanda secara langsung. Peralihan ini tidak membawa perubahan signifikan karena saat itu Belanda juga sedang berperang dengan negara kolonialis lainnya seperti Inggris dan Portugis. 

Kupang sendiri sempat dikuasai oleh Inggris pada tahun 1811. Namun, setelah disepakatinya Konvensi London [1814], pemerintah kolonial Belanda di Kupang dipulihkan kembali di tahun 1816.

Dengan kembalinya Kupang ke tangan pemerintah Belanda, penataan kembali pun dilakukan. Yang utama adalah penataan Benteng Fort Concordia dan penempatan para penduduk pribumi sebagai tulang punggung pertahanan. Semua warga pribumi beserta rajanya ditempatkan disekitar banteng. Tak lupa, perkampungan Cina bahkan dibangun di sepanjang pantai kaki benteng. Benteng Fort Concordia pun akhirnya dikelilingi oleh pemukiman pribumi beserta para penguasanya yang merupakan ‘benteng hidup’.

Selain memperkuat pertahanan, pemerintah Belanda juga melakukan penataan terhadap kebijakan ekonomi dengan menghapus sistem monopoli dan menggantinya dengan sistem sewa [pachter] yang bertujuan untuk memungut pajak ekspor dan impor di Pelabuhan Kupang. Memasuki abad ke-19, urusan perdagangan kolonial di Kupang diawasi oleh seorang komisaris urusan Timor bernama H.A. Lofsteh.

Dimasa inilah, penataan Pelabuhan Kupang oleh pemerintah Belanda membuat pelabuhan tersebut mulai berkembang pesat dan dalam periode selanjutnya menjadi salah satu pelabuhan besar di wilayah Nusa Tenggara.[]

Sumber:

Des Alwi, “Sejarah Maluku: Banda Naira, Ternate, Tidore dan Ambon”, Penerbit Dian Rakyat. 2005

I Putu Kamasan Sanjaya, “Pelabuhan Kupang Dalam Perdagangan Abad Ke-19”, Penerbit Ombak, 2014

M.C. Ricklefs, “Sejarah Indonesia Modern”, UGM Press, Cet. X, 2011

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts