Perang Arab-Israel 1948-1949; Lahirnya Israel dan Malapetaka Palestina

Sebagian besar masyarakat dunia dewasa ini beranggapan bahwa konflik Palestina dan Israel merupakan konflik agama. Namun lebih daripada itu, konflik antara Palestina dan Israel sebenarnya merupakan sengketa atau perebutan wilayah atas tanah Palestina. Konflik ini didasari oleh keinginan bangsa Yahudi mendirikan national state-nya sendiri di Palestina yang dijanjikan oleh Tuhan berdasarkan doktrin agamanya. Dalam hal ini bangsa Yahudi yang selama ini tertindas memiliki keyakinan bahwa Yerusalem harus kembali menjadi ibu kota Bangsa Yahudi sebagai hak kepemilikan atas Palestina (Shihab, 1999).

Oleh Muhammad Farhan Fadil H.

 Semuanya dimulai ketika memasuki abad ke-20, Inggris yang saat itu menguasai Palestina pasca Perang Dunia I setelah mengalahkan Kesultanan Utsmaniyah mengeluarkan deklarasi Balfour pada tanggal 2 November 1917 yang secara garis besar menyatakan bahwa Inggris menjanjikan tanah air bagi bangsa Yahudi di Palestina (Nor & Roslan, 2010). Secara efektif sejak 1920 Palestina merupakan mandat Inggris sesuai kebijakan yang dikeluarkan oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Pasca berakhirnya Perang Dunia II Inggris berencana untuk menarik diri dari Palestina setelah terjadinya konflik antara bangsa Arab-Palestina dengan bangsa Yahudi yang sebenarnya telah terjadi sejak Inggris berkuasa. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ernest Bevin di depan House of Commons pada 18 Februari 1947 : “Kami telah memutuskan bahwa kami juga tidak dapat menerima  skema yang diajukan oleh orang-orang Arab atau oleh orang orang Yahudi, atau untuk memaksakan solusi kita sendiri. Satu-satunya jalan yang kini terbuka bagi kita adalah menyerahkan permasalahan tersebut ke Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa” (Morris, 2008).

Pada 15 Mei 1947 PBB membentuk suatu badan yang secara khusus akan mengurusi permasalahan Palestina yaitu United Nations Special Committee On Palestine (UNSCOP). UNSCOP menghasilkan sebuah proposal yang disahkan oleh Majelis Umum PBB melalui resolusi PBB No. 181 yang menyatakan bahwa wilayah Palestina dibagi menjadi dua bagian, yaitu 56 % kepada bangsa Yahudi, 33% kepada bangsa Palestina, dan Yerusalem akan ditetapkan sebagai zona internasional.  

Pada tanggal 29 November 1947 Resolusi Pemisahan pada akhirnya diadopsi oleh PBB dengan hasil pemungutan suara terdiri dari 33 suara setuju, 13 suara menentang, dan 10 suara abstain. Sementara bangsa Yahudi menerima keputusan ini, bangsa Arab secara keras menolaknya. Terjadi berbagai pemogokan kerja dan demonstrasi di berbagai wilayah termasuk Yerusalem yang akhirnya berubah menjadi kerusuhan.  Pada akhirnya persetujuan atas pemisahan wilayah Palestina menyebabkan konflik yang eskalasinya semakin tinggi daripada sebelumnya. Pada tanggal 14 Mei 1948, negara Israel dideklarasikan oleh bangsa Yahudi dan segara menyebabkan invasi negara-negara Arab Israel yang dikenal sebagai Perang Arab-Israel Pertama atau Perang Kemerdekaan Israel (Tucker, 2008).

Invasi negara-negara Arab terhadap Israel tidak dapat dihindarkan lagi pada 15 Mei 1948. Koalisi negara-negara Arab yang terdiri dari Mesir, Yordania, Suriah, Lebanon, Irak, dan beberapa negara Arab lainnya yang tidak terlibat secara langsung. Kondisi ini menyebabkan Israel dikepung dari berbagai arah oleh negara-negara Arab yang memiliki perbatasan langsung dengannya. 
1948_Arab_Israeli_War_-_May_15-June_10.svg

Gambar 1.1 Peta pada awal serangan

Menghadapi negara-negara Arab yang mengepungnya, Israel mencoba untuk mengorganisir organisasi-organisasi para militer yang sebelumnya menjadi wadah utama bangsa Yahudi dalam menghadapi bangsa Arab yaitu Irgun, Lehi, Palmah dan Heganah menjadi Israel Defense Forces (IDF) pada 26 Mei 1948. Pada awalnya jumlah tentara IDF hanya berkisar 30.000 prajurit, bertambah menjadi dua kali lipat pada bulan Juli dan pada akhir 1948 menjadi 100.000 prajurit. Mayoritas prajurit ini merupakan imigran yang selamat dari kamp konsentrasi atau yang sebelumnya pernah mendapatkan sedikit pelatihan militer atau tidak sama sekali saat Perang Dunia II (Springer dalam Tucker, 2008).

Baca Juga :   Kala Tradisi Sufi, Qawwali dan Modernitas Bercampur di Asia Selatan

Di sisi lain, kekuatan negara-negara Arab jauh lebih besar dari Israel dari kuantitas prajurit dan kualitas alutsistanya pada awal perang. Para pengamat dunia memperkirakan Israel yang kekurangan alutsista seperti kendaraan lapis baja, artileri, dan pesawat tempur akan mudah diserang. Pemerintah Israel dengan cepat bergerak untuk membeli senjata yang dimulai dengan pengiriman 25 pesawat dari Cekoslowakia yang tiba pada akhir Mei 1948. Tindakan ini sebenarnya ilegal karena PBB telah melarang kepada siapapun pihak untuk menjual senjata selama perang ini berlangsung (Springer dalam Tucker, 2008).

Pada tahap awal perang, tentara Arab dari Yordania dan Irak mulai bergerak menuju Yerusalem  dengan tujuan untuk mengusir seluruh Yahudi dari kota tersebut. Raja Abdullah memberikan perintah penyerangan pada 17 Mei 1948. Pada pertempuran ini tentara Yordania berhasil memukul mundur pasukan IDF, tetapi di sisi lain Irak tidak efektif dan segera berpindah posisi ke posisi bertahan di Jenin dan Nablus. 

Di front selatan, pasukan Arab berhasil merebut beberapa Kibbutzim tetapi mengalami kerugian besar dan kemajuan pasukannya terhenti di dekat Ashood. Tahap awal perang berakhir ketika PBB mengumumkan gencatan senjata pada 11 Juni 1948. Ketika masa ini, mediator PBB bernama Folke Bernadotte mengusulkan rencana pembagian baru wilayah Palestina yang segera ditolak oleh kedua belah pihak. Gencatan senjata berakhir ketika Mesir melancarkan kembali serangan pada 8 Juli 1948 (Springer dalam Robberts, 2014).

Pada fase kedua perang, IDF berinisiatif melakukan serangan. Tujuan utamanya adalah untuk memulihkan komando Israel atas koridor Tel Aviv-Yerusalem. Hal ini diamankan dengan serangan besar-besaran besar-besaran terhadap Lod, yang mencakup penggunaan pesawat pengebom Israel yang pertama. Kota ini, dipertahankan oleh pasukan Transyordania yang dibantu oleh laskar Palestina dan Tentara Pembebasan Arab (ALA), menyerah pada 11 Juli. Keesokan harinya, IDF merebut Ramla, juga di koridor vital tetapi IDF gagal merebut Latrun.

IDF yang meluncurkan Operasi Dekel sebagai serangan besar terhadap pasukan Suriah dan Lebanon di Galilea bagian bawah berhasil merebut Nazareth. Namun, di sektor selatan melawan pasukan Mesir, IDF tidak berhasil membuat kemajuan yang signifikan. Gencatan senjata yang ditengahi PBB mulai berlaku pada tanggal 18 Juli, dengan rencana pembagian wilayah yang diajukan oleh Bernadotte, termasuk Transyordania mencaplok wilayah Arab. Namun rencana tersebut ditolak oleh semua pihak yang berperang. Bernadotte kemudian dibunuh oleh anggota milisi Zionis Lehi setelah mempresentasikan solusinya (Springer dalam Roberts, 2014).

Pada fase ketiga perang, Israel melakukan serangan terhadap pasukan Mesir di Gurun Negev dan wilayah Galilea. Operasi Yoav berhasil mengisolasi pasukan Mesir di sepanjang pantai dan mengusir mereka dari Negev utara. Operasi HIRAM juga hampir menghancurkan pasukan Arab Liberation Army (ALA) dan mendorong mereka ke Lebanon. Israel kemudian menyerang posisi Mesir di Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai. Setelah gencatan senjata berlaku, pasukan Israel menarik diri dari Sinai dan Gaza. Namun, Resolusi 194 PBB yang dikeluarkan pada Desember 1948, yang menyatakan bahwa para pengungsi Palestina harus diberikan kesempatan untuk kembali ke rumah mereka, tidak pernah mencapai tujuannya. 

Pada tahun 1949, Israel melakukan gencatan senjata terpisah dengan masing-masing Arab kecuali Irak. Pada tanggal 24 Februari, Mesir dan Israel menandatangani gencatan senjata yang membuat pasukan Mesir tetap menduduki Jalur Gaza. Pada tanggal 23 Maret, Lebanon dan Israel menyimpulkan gencatan senjata, dan IDF menarik diri dari wilayah Lebanon. Gencatan senjata Transyordania-Israel yang ditandatangani pada tanggal 3 April membuat pasukan Transyordania tetap menguasai Tepi Barat. Pada tanggal 20 Juli, Suriah menyetujui gencatan senjata dan pembentukan zona demiliterisasi di sepanjang sepanjang perbatasan Israel-Suriah. 

Baca Juga :   Kolaborator Nazi Jerman di Tanah Arab Bernama Syaikh Amin al-Husayni 

_230515113049-244

Gambar 1.2 Para pengungsi Palestina

Setidaknya terdapat empat dampak utama yang disebabkan oleh Perang Arab-Israel 1948. Pertama, korban jiwa. Israel menderita korban jiwa sebanyak 6.373 jiwa yang terdiri dari 4.000 tentara dan sisanya adalah warga sipil (Garfinkle, 2000). Sedangkan untuk pihak Arab terdapat sekitar total 10.000 orang yang menjadi korban jiwa dari militer dan sipil. Kedua, masalah pengungsi Palestina. Pada akhir perang, PBB memperkirakan terdapat 940.000 orang pengungsi yang berasal dari 369 desa dan kota. Tetapi, jumlah pengungsi ini masih diperdebatkan yang disebabkan oleh masalah sumber (Schulze, 1999). Ketiga, Perubahan wilayah. Israel mendapatkan 21 % wilayah tambahan dari proposal UNSCOP, sedangkan wilayah Tepi Barat dan menyebabkan Palestina kehilangan kesempatan untuk mendirikan negaranya sendiri karena dianeksasi oleh Israel maupun negara-negara Arab (Schulze, 1999).  Akibat dari hal ini, orang-orang Palestina bertransformasi menjadi “masyarakat yang berpindah-pindah” (Freedsman, 1979). Terakhir, hubungan diplomatik dan geopolitik Timur Tengah. Hubungan Israel dengan negara-negara Arab disekitarnya bertambah buruk dengan mengambil sikap  bermusuhan. Sampai saat ini negara-negara Arab dan Israel masih bersitegang satu sama lain. Namun, di sisi lain justru sekarang beberapa negara Arab justru membuka hubungan diplomatik dengan Israel.Raising_the_Ink_Flag_at_Umm_Rashrash_(Eilat)

Gambar 1.3 Kapten Avraham “Bren” Adan mengibarkan bendera Israel di Umm Rashrash yang menandai akhir perang

Referensi 

Freedsman, R. O. (1979). World Politics and the Arab-Israeli Conflict. Oxford: Pergamon Press Inc.

Garfinkle, A. M. (2000). Politics and Society in Modern Israel: Myths and Realities. London: M. E. Sharp, Inc.

Morris, B. (2008). 1948: A History of the First Arab-Israeli War. Yale University Press. https://doi.org/10.2307/j.ctt1np9bm

Roberts, P. (2014). Arab-Israeli Conflict.  ABC-CLIO, California: LLC.

Schulze, K. E. (1999). The Arab-Israeli Conflict. Harlow: Pearson Education Ltd.

Shihab, A. (1999). Islam Inklusive: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Bandung: Mizan.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts