Pengaruh Islam dalam Tradisi Sadranan

Jawa terkenal dengan keanekaragaman tradisi dan budaya.  Keberadaan tradisi dan budaya itu telah ada dari nenek moyang mereka sejak dahulu. Tradisi dan budaya tersebut diturunkan  secara lisan (dari mulut ke mulut), sehingga membentuk suatu kebiasaan yang wajib dilaksanakan. Arus perkembangan zaman pun memberikan sejumlah pengaruh yang kemudian disaring dan diterima oleh masyarakat Jawa.

Oleh Tamya Purnama

Tradisi atau upacara tradisional yang dilaksanakan masyarakat Jawa biasanya bersifat mistisisme. Mereka menganut kepercayaan animisme dan dinamisme yang dipengaruhi agama Hindu-Buddha. Semenjak kedatangan Islam di Indonesia, banyak tradisi dan budaya yang mulai berakulturasi. Proses islamisasi ini dibawa oleh para Walisongo dengan memadukan budaya Kejawen dan budaya Islam. Tanpa menghilangkan tradisi yang telah mengakar pada tubuh masyarakat, membuat agama Islam pun mudah diterima.

Tradisi Sadranan bentuk Akulturasi Islam-Jawa

Menurut pandangan masyarakat Jawa, tradisi mistisisme adalah sebuah kepercayaan antara Sang Hyang (Tuhan), manusia, dan alam yang memiliki keterkaitan yang erat (Wardhani, 2021: 94). Ketiganya saling memberikan pengaruh satu sama lain yang tidak dapat terpisahkan. Oleh karena itu, manusia perlu mensyukuri dan menghormati  segala yang diterimanya. Manusia mengaplikasikannya dalam bentuk sebuah ritual seperti menyediakan sesaji, dupa/kemenyan, kembang setaman, dan lain sebagainya yang mereka berikan kepada alam serta makhluk lain (roh-roh halus).

Kata Sadranan berasal dari Sansekerta yang diambil dari kata “sraddha” yang memiliki arti sesaji, Sedangkan menurut bahasa Arab, berasal dari kata “sadrur” dan “sya’ban”. Sehingga, pengertian dari Sadranan sendiri adalah sebuah tradisi yang dilakukan pada saat bulan Sya’ban (bulan Islam) dengan tujuan mengirim doa kepada leluhur atau tetua yang telah meninggal dengan menggunakan sesaji/sesajen sebagai suatu penghormatan.

Dalam sejarahnya, Tradisi Sadranan dilakukan berawal dari Kerajaan Majapahit yang bertujuan untuk pemujaan roh nenek moyang dengan menyediakan berbagai sesajen (Wajdi, 2017: 990). Namun, setelah Islam masuk tujuan tersebut telah ditujukan untuk berdoa kepada Allah SWT dan mendoakan para leluhur. Pada pelaksanaannya, masing-masing daerah memiliki waktu berbeda-beda. Waktu tersebut adalah pada bulan Sura (tanggalan Jawa) atau Muharam (tanggalan Islam), bulan Dzulhijah, bulan Ruwah atau Sya’ban, musim panen, dan sebelum melakukan pernikahan. Namun, pada umumnya tradisi ini selalu dilakukan sebelum menjelang puasa atau bulan Ramadhan.

Tujuan dilaksanakannya Tradisi Sadranan adalah buah ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT, menghormati para leluhur/orang tua yang telah meninggal, dan menjalin silaturahmi yang erat antar sesama. Selain itu, dalam pelaksanaan setiap daerah mengekspresikan dengan wujud yang berbeda-beda seperti ungkapan syukur hasil panen, memenuhi hajat, dan pernikahan.

Sadranan memang tidak pernah lepas dengan kegiatan seperti bersih desa, ziarah ke makam para leluhur, dan acara kenduri/slametan. Acara yang dijalankan dari waktu pagi hari sampai malam hari. Seminggu sebelum hari pelaksanaan, para warga akan melakukan bersih-bersih desa. Sepanjang jalan desa, fasilitas-fasilitas desa, pekarangan rumah, maupun kebun semua dibersihkan dan dirapikan. Tujuannya adalah sebagai ungkapan rasa syukur serta kepercayaan masyarakat setempat untuk menyambut para leluhur terdahulu yang akan datang menjenguk ke desa (Utami, 2013: 35).

Dalam persiapan kenduri atau selametan biasanya akan disediakan berbagai macam makanan seperti ayam ingkung, tumpengan, jajanan pasar, apem, ketan, pisang, kembang setaman, lauk pauk dan lain sebagainya, yang mana makanan-makanan ini mengandung makna simbol tertentu (Soniatin, n.d : 195-196). Makanan-makanan ini di bawa ke pemakaman sebagai wujud persembahan yang kemudian akan dimakan bersama di makam leluhur tersebut. Tidak lupa saat berziarah yang wajib dilakukan adalah menyiram air, menabur bunga, kemenyan, wewangian, dan mengirim doa. Sedangkan malam harinya, acara akan diisi kegiatan tahlilan, tirakatan, dan ceramah dengan pemuka agama.

Nilai-Nilai Ajaran Islam dalam Tradisi Sadranan

Setiap pelaksanaan kegiatan dilakukan berdasarkan adat Jawa, namun tidak melampaui/menyimpang syariat Islam yang diajarkan. Banyak nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, sehingga membuat tradisi ini terus ada sampai sekarang. Nilai-nilai ini meliputi Nilai Syukur, Nilai Kerukunan, Nilai Gotong Royong, Nilai Kecintaan Alam dan Lingkungan, dan Nilai Religius. Oleh karena itu, tidak mungkin suatu masyarakat melakukan suatu tindakan tertentu yang tidak memiliki manfaat dan juga pengaruh baiknya

  1. Nilai syukur
Baca Juga :   Kultur Pernikahan Jawa dalam Hitungan Weton dan Pandangan Generasi Z

Nilai syukur yang dapat dilihat dari Tradisi Sadranan adalah ketika para warga melakukan kenduri atau slametan. Seperti yang sudah dipaparkan pada sebelumnya, pelaksanaan Sadranan biasanya juga diadakan saat musim panen dan terpenuhinya suatu hajat. Mereka membawa makanan-makanan ini merupakan ungkapan rasa syukur dan keberkahan yang telah diberikan oleh Allah SWT. 

  1. Nilai Kerukunan

Nilai kerukunan ini dapat dilihat dari kekompakan dan antusias para warga dalam melaksanakan Tradisi Sadranan. Kerukunan ini terjalin dari awal sampai akhir acara seperti bersih desa, persiapan kenduri, ziarah makam, tirakatan, tahlilan, dan penghujung acara yang saling bersilaturahmi. Bahkan nilai kerukunan ini sangat terlihat ketika serangkaian acara diikuti oleh semua orang baik kaum tua, kaum muda, anak-anak, orang luar desa, bahkan yang memiliki keyakinan lain. Tentu saja ini menjadi nilai positif dalam pelaksanaan Tradisi Sadranan

  1. Nilai Gotong Royong

Nilai gotong royong sangat terlihat jelas ketika para warga melakukan bersih-bersih desa, persiapan kenduri, tahlilan, tirakatan. Masyarakat akan menyiapkannya bersama-sama dari awal hingga akhir acara. Sehingga, apabila terdapat hambatan atau kesuliatan, maka para warganya akan siap saling membantu satu sama lain. 

  1. Nilai Kecintaan Alam dan Lingkungan

Nilai kecintaan alam ini dapat ditilik ketika para warga melakukan bersih desa. Mereka membersihkan kotoran-kotoran dan najis yang menempel, membersihkan rumah, pekarangan rumah, kebun, halaman, jalan raya, dan fasilitas-fasilitas dalam desa. Ini menjadi sebuah aksi nyata kepedulian masyarakat dalam menjaga lingkungan dan alam sekitarnya.

  1. Nilai Religius

Nilai religius terlihat ketika para warga melakukan ziarah makam. Di samping kegiatan kenduri, mereka juga mendoakan para leluhur yang telah berjasa atas desa. Dan begitupun acara tahlilan yang dilakukan pada malam harinya. Kedua kegiatan ini menjadi sebuah renungan dan pengingat bagi para warga bahwa akan ada masanya mereka akan meninggalkan kehidupan duniawi dan kembali kepada sang pencipta.

Kemudian, dalam nilai-nilai Islam lain yang terkandung dalam tradisi Sadranan pun meliputi Nilai Tahlilan, Nilai Aqidah, Nilai Akhlak, dan Nilai Ibadah.

  1. Nilai Tahlilan

Tahlilan merupakan sebuah aktivitas berdoa dan berzikir dengan niat tertentu yang dilakukan secara bersama-sama (berkelompok). Zikir-zikir ini meliputi bacaan tasbih (pensucian), tahmid (puji-pujian), takbir, tahlil, istighfar (memohon ampunan), dan yassin serta ayat kursi yang menjadi bacaan paling utama (Warisno, 2017: 71). Tahlilan ternyata tidak hanya mengalirkan pahala bagi yang didoakan saja, tetapi yang mendoakannya pun akan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Pada hakikatnya, bacaan tahlil diucapkan laailaaha ilallah yang dapat menghubungkan jiwa manusia dengan kehadiran Allah SWT. Dengan tahlilan pun dapat mengajak orang-orang berkumpul bersama, menjalin kekompakn, dan sebagai wujud penguat tali silaturahmi antar sesama.

  1. Nilai Aqidah

Aqidah memiliki sifat keyakinan dan kepastian. Ini artinya bahwa masyarakat telah yakin dan tidak ada keraguan dalam menjalankan Tradisi Sadranan sesuai dengan syariat islam. Dalam aqidah memiliki sendi-sendi yakni rukun iman. Rukun iman terdiri dari (1) iman kepada Allah, (2) iman kepada malaikat, (3) iman kepada kitab suci, (4) iman kepada rasul, (5) iman kepada hari akhir/kiamat, dan (6) iman kepada qada dan qadar. Dengan begitu, masyarakat yang menjalani tradisi ini secara tidak langsung telah menjalankan rukun iman tersebut.

  1. Nilai Akhlak

Nilai Akhlak merupakan salah satu bagian nilai-nilai Islam yang dijalankan dalam pengalaman hidup sehari-hari baik jasmani maupun rohani. Dalam tradisi Sadranan yang dilakukan, nilai akhlak yang dilihat adalah sifat mulia yang mau mendoakan para leluhur dan percaya akan keberadaan Allah SWT. Selain itu, acara terakhir yang melakukan silaturahmi juga mencerminkan nilai akhlak. Dengan begitu, sifat seperti ini perlu diajarkan kepada generasi-generasi berikutnya, yang menumbuhkan rasa hormat dan menghargai atas para leluhur terdahulu yang telah memberi jasanya, serta memiliki rasa kasih sayang sesama saudara muslim melalui jalinan silaturahmi. Sehingga, Tradisi Sadranan ini pun tidak akan lenyap termakan zaman.

  1. Nilai Ibadah
Baca Juga :   Kesultanan Islam Jawa: Sebuah Upaya Mencari Legitimasi

Ibadah merupakan sebuah sarana manusia dalam mendekatkan diri kepada sang pencipta. Kesibukan dan kegiatan yang dilakukan manusia, semata-mata hanya ditujukan kepada Allah SWT. Perbuatan yang harus dilakukan adalah dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Islam yang telah mempengaruhi bentuk Tradisi Sadranan, membuat unsur-unsur di dalamnya dihilangkan karena tidak sesuai dengan hukum agama Islam. Contohnya seperti pemaknaan sesaji. Jika pada sebelumnya sesaji dijadikan sebagai syarat dalam pemujaan arwah leluhur, maka Islam mengganti makna sesaji sebagai hidangan yang akan disantap bersama oleh masyarakat setelah acara doa bersama telah dilaksanakan. Selain itu, kegiatan tahlilan yang dilakukan malam hari pada Tradisi Sadranan, hal ini juga merupakan salah satu bentuk ibadah.

Tradisi Sadranan merupakan tradisi turun temurun yang selalu dilaksanakan oleh masyarakat Jawa. Kegiatan dalam tradisi ini meliputi bersih-bersih desa, ziarah ke makam, kenduri, tirakatan, tahlilan, dan serangkaian acara lainnya seperti pementasan kesenian yang setiap daerahnya berbeda-beda. Pada umumnya, tradisi ini dilaksanakan pada bulan ruwah (bulan Jawa) atau sya’ban (bulan Islam) sebelum menjelang puasa. Setiap daerah memiliki maksud pelaksanaan yang berbeda-beda seperti pada musim panen, hajat yang telah terpenuhi, dan pernikahan. Kendati demikian, tradisi ini tetap memiliki tujuan yang sama yakni sebagai bentuk ungkapan rasa syukur atas rezeki melimpah yang telah diberikan oleh Allah SWT dan ziarah makam untuk mengirim doa kepada para leluhur yang semasa hidupnya sudah berjasa pada desa tersebut. Tradisi ini melibatkan banyak orang yang menjadikan sebagai media untuk bersilaturahmi dan menjalin kerukunan/kekompakan bersama.

Referensi

Anita, Dewi Evi. (Oktober 2014). Walisongo: Mengislamkan Tanah Jawa. Wahana Akademika, 1(2), 243-266.

Solihah,Maratus dkk. (2016). Kearifan Lokal dalam Tradisi Nyadran Masyarakat sekitar Situs Liangan. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB).

Harisinudin, MN. (2007). Tradisi Lokal sebagai Urf Progresif. ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman, 2(1), 95-108.

Hayati, Umi. (2017). Nilai-Nilai Dakwah; Aktivitas Ibadah dan Perilaku Sosial. INJECT (Interdisciplinary Journal of Communication), 2(2), 175-192.

Ilahi, Mohammad Takdir. (januari 2021). Ziarah dan Cita Rasa Islam Nusantara: Wisata Religius dalam Bingkai Kearifan Lokal (Local Wisdom). AKADEMIKA, 21(10), 118-132.

Ismail. (Januari 2021). Implementasi Nilai Pendidikan Islam dalam Budaya Nyadran Mbah Sutonggo Desa Ngreco Kabupaten Pacitan. Jurnal Ilmiah Kreatif, 19(1), 71-81.

Kasman. (Februari 2018). Peran Walisongo dalam Mentransfer Tasawuf. EL_FURQANIA, 4(1), 49-66.

Kurniawati, Etik. (Agustus 2017). Penanaman Nilai-Nilai Akhlak pada Anak Tunagrahita dalam Pendidikan Vokasional: Studi Deskriptif Kualitatif di Balai Rehabilitasi Sosial Disgranda “Raharjo” Sragen. Jurnal Penelitian, 11(2), 263-280.

Sholihah, Maratus dkk. (2019). Aksiologi Pendidikan Islam (Penerapan Nilai-Nilai Aqidah dalam Pembelajaran Anak di MI). Auladuna: Jurnal Prodi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, 1(2), 63-82.

Wardhani, Novia Wahyu dkk. (01 Juni 2021). Merawat Mistisisme dalam Tradisi Ngalap Berkah Upaya Menjaga Tatanan Sosial Masyarakat di Surakarta. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 23(1), 93-100.

Arinda,R, Ichmi Yani. (2014). Sedekah Bumi (Nyadran) sebagai Konvensi Tradisi Jawa dan Islam Masyarakat Sraturejo Bojonegoro. el Harakah, 16(1), 100-110.

Rahman, Arif. (2018). Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Pelaksanaan Tahlilan. Skripsi.

Soniatin, Yessi. (n.d.). Makna dan Fungsi Budaya Tradisi Nyadran dalam Kearifan Lokal Masyarakat Dusun Sawen, Desa Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang, Kabupaten Lamongan. Humanis, 13(2), 193-199.

Utami, Yussi. (2013). Tradisi Ngalap Berkah dalam Upacara Adat Sadranan di Kelurahan Pundungsari, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi.

Wajdi, Muh Barid Nizarudin. (2017). Nyadran, Bentuk Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa. Proceedings Ancoms, 989-997.

Warisno, Andi. (2017). Tradisi Tahlilan Upaya Menyambung Silaturahmi. RI’AYAH, 2(2), 70-79.

Wijayanti, Lina Edmy. (2018). Tradisi Nyadran sebelum Akad Nikah Perspektif Al-Urf. Skripsi.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts