Pengaruh Bahasa Melayu Pasar di Masa Lalu Terhadap Kesulitan Pelafalan Fonem [ê] di Pulau Timor

Penutur asli bahasa Indonesia sering melakukan kesalahan pelafalan beberapa fonem. Kesalahan pelafalan fonem dapat berpengaruh pada makna suatu kata dalam bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan beberapa kata dalam bahasa Indonesia memiliki kesamaan penulisan tetapi maknanya dibedakan lewat pelafalan,  contohnya,  pada kata “kecap”. Kata “kecap” memiliki dua makna berbeda yaitu kata “kecap” menggunakan lafal [ê] yang memiliki merasakan menggunakan lidah dan kata “kecap” menggunakan lafal [é] yang maknanya olahan saus untuk penyedap rasa. 

Oleh Yakhin Maufa

Pelafalan fonem [e] sendiri terdiri atas tiga yaitu [ê] yang nadanya rendah,  [é] untuk yang tinggi,  dan [Ꜫ] untuk yang sedang (Chaer, 2013). Semua pelafalan fonem [e] memiliki maknanya masing-masing.  Salah satu contoh kesalahan pelafalan fonem [e] biasanya terjadi pada penutur bahasa Indonesia yang menggunakan dialek Indonesia Timur di Pulau Timor Nusa Tenggara Timur yang mana pelafalan antara [e] dan [ê] tidak dibedakan. Penutur cenderung melafalkan lafal [é] untuk semua kata yang menggunakan lafal [e]. Hal ini tentu dapat menimbulkan salah persepsi saat berkomunikasi dan mungkin dapat berdampak buruk lagi.

Kesalahan pelafalan ini bisa terjadi karena bahasa Indonesia sebagai bahasa dipengaruhi oleh dialek daerah yang memengaruhi pelafalan dalam bahasa Indonesia. Jika dilihat dari sejarah, bahasa Indonesia sendiri memang berasal dari satu bahasa dan dialek yang sama yaitu Melayu. Namun penyebaran bahasa melayu ini dipengaruhi bahasa daerah maupun bahasa asing. Bahasa Melayu di daerah Indonesia timur khususnya di Pulau Timor, sudah dituturkan sejak Belanda pertama kali membangun pangkalan dagang di teluk Kupang pada tahun 1653 ( van Klinken & Berenschot, 2016). Bahasa melayu pada saat itu digunakan dalam perdagangan yang tentunya melibatkan masyarakat pribumi di pulau Timor dan sekitarnya. Hal ini memungkinkan adanya akulturasi antara bahasa Belanda, bahasa melayu, dan bahasa asli daerah setempat. Menurut van Klinken & Berenscot, bahasa Melayu di Kupang dituturkan selalu berhubungan dengan etnik daerah penutur. Etnik daerah yang dimaksudkan disini adalah aksen atau dialek dari penutur. Penutur dari Bahasa melayu kupang sendiri adalah suku-suku di pulau Timor dan disekitar pulau Timor yang  memiliki aksen yang agak tinggi. Menurut Sori Siregar seorang cerpenis dalam salah satu tulisannya yang dilansir Kompas edisi 9 Juli 2016, dialek yang tinggi ini disebabkan karena orang timur cenderung memberikan tekanan suara pada suku kata pertama, bukan pada suku kata kedua, seperti pada umumnya. Hal ini yang menyebabkan dialek suku-suku di Indonesia bagian timur khususnya di Timor menjadi tinggi. Faktor ini yang mungkin  menyebabkan pelafalan pada bahasa melayu yang seharusnya rendah menjadi tinggi. Kebiasaan ini yang terus terbawa sampai sekarang  dan memengaruhi pelafalan pada bahasa Indonesia khususnya untuk pelafalan [é].

Dari kajian diatas, bisa disimpulkan bahwa penyebab kesalahan pelafalan [é] bagi penutur Bahasa Indonesia di pulau Timor disebabkan oleh adanya akulturasi bahasa yang telah terjadi sangat lama. Kesulitan seperti ini juga bisa ditemukan di daerah-daerah lain di Indonesia. Kesalahan pelafalan seperti ini, sangat sulit untuk diubah karena untuk mengubah dialek seseorang sangat sulit. Menurut Sori Siregar, walaupun untuk menyamakan pelafalan, kamus telah menetapkan ejaan yang baku, namun selalu terjadi kesalahan pelafalan karena pelafalan selalu disesuaikan dengan dialek yang berlaku. 

Walaupun sulit, bukan berarti kesalahan atau kesulitan dalam pelafalan [é] tidak dapat diperbaiki. Kesulitan atau kesalahan dalam pelafalan dapat diperbaiki dengan membiasakan mengucapkan lafal yang benar. Melalui latihan terus menerus, lidah dapat terbiasa dengan pelafalan [é] dimana posisi yang berada agak tinggi menjadi lidah berada di tengah. Selain membiasakan lidah, tekanan suara saat melafalkan [é] harus dibiasakan lebih  rendah, karena tekanan suara orang timur cenderung tinggi. Jika kedua latihan ini terus dilakukan, maka kesulitan atau kesalahan pelafalan [é] dapat diatasi.

Baca Juga :   Saat Muzik Malaysia Berjaya di Indonesia pada era 1980-1990an

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, A. (2013). Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta

Van Klinken, G. & Berenschot, W. (2016). In Search of Middle indonesia: Kelas Menengah di Kota-Kota Menengah. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia 

Siregar, S. (2016). Rubrik Bahasa. [online] Rubrik Bahasa. Available at: https://rubrikbahasa.wordpress.com/ [Accessed 13 Feb. 2018].

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts