Pemberontakan Petani Desa Kaplongan 1944

Pendudukan Jepang pada tahun 1942-1945 meninggalkan bekas luka yang menyakitkan bagi rakyat Indonesia. Jepang yang dianggap sebagai saudara tua oleh Indonesia, justru dengan tega memanfaatkan simpati rakyat Indonesia untuk kepentingan perang Asia Pasifik melawan Amerika Serikat dan sekutunya.
Oleh Mohamad Kamil Firdaus

Pada tanggal 8 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Peristiwa itu berlangsung di kawasan pangkalan Angkatan Udara Kalijati, Subang. Hal ini menjadi akhir masa penjajahan Belanda di Indonesia yang digantikan pemerintah Jepang. Meski begitu, tidak jauh berbeda dengan kolonialisasi Belanda, Jepang juga menguasai hampir seluruh daerah-daerah yang ada di Indonesia. 

Sejak saat itu, Jepang mulai membangun garis pos terdepan mereka di Malaya, Jawa, Sumatra, Bali, Samba, dan Timor. Hal ini dilakukan oleh Jepang tidak hanya sebagai upaya membendung serangan musuh, tetapi juga sebagai upaya mempersiapkan serangan.  Salah satu daerah yang pernah diduduki Jepang di wilayah Jawa bagian barat adalah Indramayu. Bala tentara Jepang (Dai Nippon) mendarat di Eretan Wetan, Indramayu pada tanggal 1 Maret 1942. Akan tetapi, karena komunikasi Indramayu dan Eretan terputus, kabar berita kedatangannya Jepang baru sampai Indramayu pada tanggal 3 Maret 1942. 

Wilayah Indramayu sendiri dikenal sebagai daerah penghasil padi, sehingga masyarakatnya menggantungkan hidup pada hasil bumi ini. Itu sebabnya, sebagian besar rakyat Indramayu bermata pencaharian sebagai petani. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh tentara Jepang untuk keperluan perang. Jepang tidak hanya membutuhkan tenaga manusia yang dikerahkan secara paksa, tetapi juga membutuhkan suplai bahan makanan. 

Sumber: Idntimes.com.

Pada tahun 1944, salah satu peristiwa bersejarah pada masa pendudukan Jepang adalah perlawanan rakyat Desa Kaplongan, Karagampel. Bermula dari pemerintah Jepang yang memerintahkan rakyat untuk segala hasil panen harus diserahkan kepada pemerintah dan hanya memberikan 5 Kg padi untuk setiap orang.Petani harus mempertahankan hidupnya hingga musim panen berikutnya dengan 5 Kg beras. Selain itu, petani harus menanggung segala biaya penggarapan sawah. 

Warga Desa Kaplongan yang mayoritas petani merasa dirugikan kemudian melakukan protes terhadap kepala desa atau orang-orang yang dianggap lebih mengerti. Di samping itu, petani-petani mengadukan nasibnya kepada kiai-kiai dan haji-haji yang menjadi guru ngaji dan pemuka agama setempat. 

Pada Maret 1944, rombongan rakyat yang berjumlah belasan orang berangkat ke Cirebon untuk menuntut keadilan dan meminta pemerintah agar mencabut aturan penyerahan padi. Rombongan tersebut dipimpin oleh Hadji Iljas, seorang aktivis pergerakan nasional sejak tahun 1918 di Sarekat Islam. Statusnya sebagai aktivis nasional Sarekat Islam membuatnya mendapat kepercayaan menjadi penyambung lidah rakyat Kaplongan, Karangampel. 

Sesampainya di Cirebon, rombongan mengatakan dengan tegas bahwa rakyat di Kecamatan Karangampel, termasuk Desa Kaplongan bersedia membantu pemerintah, dengan catatan pemerintah juga memperhatikan nasib rakyatnya. Padi boleh diangkut (dibeli dengan harga resmi yang murah dibandingkan harga pasar) asal tidak menyisakan 5 Kg karena tidak cukup untuk kebutuhan produksi padi dan kelangsungan hidup mereka. Sementara itu yang menjadi tuntutan rakyat kemudian disetujui oleh Sitjokan atau Syuco Cirebon. Mereka pulang dengan gembira karena dirasa harapannya terkabul. 

Rapat dilaksanakan oleh pihak pemerintah di Kawedanan Karangampel untuk membahas tuntutan rakyat yang merasa dirugikan. Akan tetapi, pihak pemerintah Dai Nippon tetap tidak mau menerima tuntutan rakyat dan tetap meminta rakyat untuk mengikuti perintah (mengangkut semua hasil panen padi dan menyisakan 5 Kg untuk setiap orang). Sebagai upaya memperlancar pengumpulan padi, pemerintah Jepang mengirimkan seorang sonco atau camat dan polisi ke desa-desa untuk mengawasi pengangkutan padi. 

Baca Juga :   Kisah Kolonel Irfan, Perwira Bernasib sama dengan Ferdy Sambo

Sonco Karangampel dan polisi mendatangi Balai Desa Kaplongan mengangkut padi milik Haji Aksan yang menolak untuk diangkut, pada 3 April 1944. Haji Aksan yang terus-terusan menolak perintah penyerahan padi, sehingga sonco memerintahkan polisi yang datang bersamanya untuk menangkapnya. Peristiwa penangkapan itu disaksikan langsung oleh rakyat. 

Kerumunan rakyat tidak tinggal diam, mereka berusaha menghalangi polisi, tetapi usahanya dipatahkan karena polisi melepaskan tembakan peringatan yang membuat rakyat sejenak terdiam. Meski demikian, tidak berselang lama rakyat menunjukan kemarahannya dengan mengepung polisi. Merasa tersudut, dua polisi melarikan diri menjauh dari balai desa (yang letaknya di sebelah utara rumah Haji Aksan). Dalam situasi yang memanas, sonco justru mengeluarkan maki-makian kepada rakyat sebelum hendak meninggalkan kerumunan. Sebelum hendak meninggalkan balai desa, salah seorang rakyat melemparkan bongkahan bata dan mengenai kepala sonco. Alhasil kepalanya terluka, jatuh terguling dan terkapar pingsan. Begitu juga dua orang polisi yang hendak menangkap Haji Aksan pingsan karena pukulan dan lemparan bata oleh rakyat. 

Peristiwa perlawanan terhadap sonco, rupanya telah menggemparkan pemerintah Jepang bukan hanya Karangampel dan Indramayu, melainkan juga Cirebon. Pihak pemerintah kemudian mengerahkan dua truk yang berisikan tentara dengan persenjataan lengkap menuju ke Balai Desa Kaplongan. Di satu sisi, pihak rakyat sebenarnya menyadari bahwa adanya balasan dari Dai Nippon akibat penyerangan terhadap utusannya. Untuk mengantisipasi hal tersebut, rakyat menyusun siasat dengan menebang pohon-pohon besar kemudian diletakkan di tengah jalan untuk menghalangi truk. 

Kendaraan yang mengangkut tentara Dai Nippon bersenjata lengkap tidak bisa melanjutkan perjalan. Rakyat Kaplongan sudah bersiap menyambut kedatangan utusan pemerintah tersebut. Mereka bahkan bertekad mati melawan tentara Dai Nippon dengan persenjataan sederhana yang dimiliki seperti batu, bambu runcing, parang, dan golok. 

Karena perlengkapan persenjataan yang sangat sederhana, rakyat tidak langsung memukul mundur tentara Jepang, sehingga terjadi pertempuran yang melibatkan kedua bela pihak. Perlawanan rakyat Kaplongan berlangsung kurang lebih satu jam. Pertempuran tersebut telah memakan empat korban dari kalangan rakyat akibat tertembak peluru tentara Jepang. Adapun empat orang yang gugur di antaranya yaitu Abu Hasan, Tobur, Abdulkadir, dan Khozin. Sesaat ketika truk milik Jepang dihancurkan oleh rakyat. Tentara Jepang memutuskan untuk mundur menuju ke Karangampel menghindari perlawanan rakyat. 

Sebagian rakyat Kaplongan ikut terlibat dalam pertempuran dan melihat teman-temannya tertembak, kemudian mendatangi kiai-kiai dan orang-orang sakti untuk meminta ilmu kebal dan anti peluru. Rakyat desa Kaplongan beramai-ramai menuju ke Desa Srengseng (yang letaknya sebelah selatan) untuk menemui Kiai Sulaiman. Kiai Sulaiman dikenal di kalangan masyarakat sebagai orang sakti, maka tidak salah jika rakyat mendatanginya untuk meminta doa serta jimat kekebalan.

Suasana Desa Kaplongan hari-hari itu sangat tegang. Seluruh penduduk desa yang diperkirakan berjumlah 3.800 orang bersiap melakukan perlawanan. Bahkan, anak-anak dan orang yang sudah lanjut umur pun penuh dengan semangat perlawanan. Mereka bersama-sama bergantian menjaga desa dari serangan musuh. Keesokan harinya, ketika tentara Jepang memasuki desa, mereka melihat sekumpulan rakyat yang berjaga lari terbirit-birit meninggalkan truk yang ditumpanginya. Rakyat yang terbakar semangat melawan Jepang langsung merusak dan membakar truk tersebut.

Pemerintah Jepang tidak tinggal diam, hari berikutnya mereka mendatangi Kiai Abas dari Buntet dan Kiai Idris dari Karangampel. Adapun maksud kedatangan pihak Jepang adalah meminta berunding dengan rakyat Desa Kaplongan. Selanjutnya, mereka bergegas menuju Balai Desa Kaplongan dengan membawa bendera merah putih sebagai tanda damai. Rakyat menerima kedatangan dua tokoh ulama tersebut dengan rasa curiga tetapi tetap menerimanya dengan rasa hormat, kemudian mereka berkumpul di balai desa untuk membicarakan maksud pemerintah mengenai perundingan dengan rakyat. 

Baca Juga :   Soekarno dan Musik Ngak Ngik Ngok

Rakyat Kaplongan bersedia berunding dan bersedia mengirimkan wakilnya ke Karangampel tetapi dengan syarat kedua tokoh ulama yaitu Kiai Abas dan Kiai Idris menjadi sandera sampai pemimpin-pemimpin mereka kembali ke desa. Syarat tersebut kemudian diterima oleh Jepang. Namun persoalan tidak berhenti begitu saja, pihak pemerintah Jepang diam-diam mengirim intelijen ke Desa Kaplongan untuk menyelidiki lebih jauh siapa saja yang memimpin pemberontakan.

Pemerintah Dai Nippon sangat berhati-hati dan tidak terburu-buru dalam mencari pemimpin perlawanan rakyat. Mereka menunggu amarah rakyat mereda, barulah kemudian melakukan upaya penangkapan-penangkapan terhadap pemimpin rakyat Desa Kaplongan. Dalam pelaksanaannya Jepang tidak langsung menangkap semua tokoh penting di kalangan rakyat yang masuk dalam daftar hitam, melainkan satu demi satu mereka ditangkap, sehingga tidak mengundang perasaan curiga rakyat.

Kiai Sidik adalah orang pertama yang ditangkap oleh Jepang. Disusul kemudian Haji Ali, Haji Aksan, Haji Abdulgani, Haji Maksum, Haji Hanan, Haji Nuryaman, Haji Zakaria, Sutawijaya, Ki Pinah, Ki Karsa dan terakhir Kiai Sulaiman. Mereka dibawa ke Karangampel, lalu diteruskan ke Indramayu dan Cirebon.

“Kalau langit hendak menimpa bumi, tiada dapat ditahan dengan telunjuk”

Peribahasa ini menggambarkan penangkapan para pemimpin perlawanan rakyat Kaplongan, yangmer mana mereka tidak bisa lari dari hukuman Pemerintah Dai Nippon. 

Sebagai sejarah lokal, peristiwa pemberontakan petani di Kaplongan tahun 1944 adalah pengenalan sejarah bagi masyarakat Indramayu maupun bagi masyarakat Indonesia. Itu sebabnya, menurut A. B Lapian bahwa mengenal sejarah lokal dari sesama kita berarti mengenal latar belakang dari sesama bangsa dan memperluas pandangan kita tentang Indonesia.

Referensi 

Dasuki, H. A. 1977. Sejarah Indramayu. Indramayu: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu.

Iryana, Wahyu. 2016. Protes Sosial Petani Indramayu Masa Pendudukan Jepang (1942-1945). Patanjala, Vol. 8, No. 2. 

Isnaeni, F. Hendri dan Apid. 2008. Romusa: Sejarah yang Terlupakan (1942-1945). Yogyakarta: Ombak.

Lapian, A. B. 1980. Memperluas Cakrawala Melalui Sejarah Lokal, Prisma. Jakarta: LP3ES.

Rosidi, Ajip. 1964. Pemberontakan Desa Kaplongan Terhadap Djepang,. Jakarta: Yayasan Intisari.

Young, Peter. 1968. A Short History of World war II 1939-1945. New York: Apollo Editions.

Lapian, A. B. 1980. Memperluas Cakrawala Melalui Sejarah Lokal, Prisma. Jakarta: LP3ES.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts