Pangeran Sambernyowo, Perjanjian Salatiga 1757, dan Berdirinya Kadipaten Mangkunegaran

Dalam riwayatnya, Pangeran Sambernyowo pernah melancarkan perlawanan menghadapi tiga kubu sekaligus, yakni Surakarta, Yogyakarta, dan VOC. Hingga akhirnya tercetus Perjanjian Salatiga yang membuat Pangeran Sambernyowo memperoleh jatah seluas 4.000 cacah atau sekitar 2.800 hektar.

Oleh Muhammad Sadam Khadafi

Raden Mas Said merupakan nama asli dari Pangeran Sambernyawa, beliau dilahirkan di lingkungan keraton Kartasura pada hari minggu tanggal 7 April 1725. Ayahnya bernama Kanjeng Pangeran Arya Mangkunegara yang merupakan anak dari Sunan Amangkurat III dan ibunya bernama Mas Ayu Senowati. Ayahnya diyakini mewarisi takhta kerajaan Mataram, namun karena beliau terang-terangan anti kepada VOC, kemudian disingkirkan dengan berbagai cara. 

Pengasingan ayahandanya yaitu Pangeran Mangkunegara atas perintah Sunan Pakubuwono II ke Tanjung Harapan telah membuat Raden Mas Said tetap tumbuh remaja hingga dewasa namun tanpa peran dan kasih sayang dari orang tuanya. Suasana kehidupannya dalam kemelaratan, meski beliau hidup di lingkungan keraton. Tidak jarang beliau tidur di kandang kuda, karena memang situasi dibuat demikian oleh patih Danurejo yang selalu khawatir, Raden Mas Said akan membalas dendam kepadanya (Eko Punto, 2017:42). 

Kisah Pangeran Sambernyawa, Saat Kecil Hidupnya Terlunta-lunta -  Solopos.com | Panduan Informasi dan Inspirasi
Gambar 1.1Kondisi Keraton Surakarta(Sumber: Solopos.com)

Ketika beranjak dewasa sekitar umur 15 tahun, di Batavia sedang terjadi pemberontakan Cina terhadap Belanda, hal ini disebabkan banyaknya pembunuhan terhadap etnis Tionghoa oleh kompeni, terkenal dengan tragedi Muara Angke (Geger pecinan). Pada Agustus 1741, Sunan Paku Buwana II memberi bantuan kepada orang-orang Cina untuk menggempur Benteng Kompeni di Kartasura. Pada waktu itu. Benteng Kompeni berhasil dirusak dan Komandan Van Velsen dieksekusi. Pasukan gabungan Jawa dan Cina ini terus melanjutkan penyerangan ke pos-pos kompeni di wilayah pantai utara Jawa, seperti Semarang. Kompeni merasa kewalahan dalam menghadapi penyerangan, kemudian membujuk Sunan Paku Buwana II untuk bergabung dengan Kompeni.

Setelah tumbuh menjadi anak dewasa, sekitar tahun 1742 – 1752 Raden Mas Said memutuskan untuk bergabung dengan Kanjeng Pangeran Mangkubumi. Sebelum bergabung dengan Raden Mas Said, Pangeran Mangkubumi berjuang di daerah pesisir, ia mohon kepada Kompeni agar dirinya di-Raja-kan, tetapi ditolak oleh Kompeni (Eko Punto, 2017:44). Rentang tahun ini sebetulnya banyak kekacauan di kerajaan Mataram. Pada saat yang sama, perlawanan Raden Mas Said memuncak ketika Pakubuwono II berjanji kepada Pangeran Mangkubumi untuk memberikan hadiah daerah Sukowati apabila dia berhasil mengalahkan Raden Mas Said. 

Ketika Pangeran Mangkubumi menumpas pemberontakan Raden Mas Said, Patih Pringgoloyo menjadi cemburu. Karena Raden Mas belum ditangkap, berarti perjuangan belum selesai, sehingga Pangeran Mangkubumi tidak berhak menerima hadiah Sukowati. Pakubuwono II juga menjadi korban retorika hasutan Patih Pringgoloyo. Dia tidak menepati janjinya untuk menyerahkan tanah di Sukowati. Muncul rasa kecewa dibenak Pangeran Mangkubumi mengetahui siapa dalang dibalik ini semua, sehingga akhirnya ia meninggalkan keraton, malah bergabung dengan Raden Mas Said untuk bersama-sama melawan Belanda dan Sunan Pakubuwono II untuk membujuk Raden Mas Said agar bersatu, Pangeran Mangkubumi menikahkan Raden Mas Said dengan salah satu putrinya, namanya Raden Ayu Inten. Sejak saat itu Raden Mas Said bergelar Pangeran Adipati Mangkunegara Senopati Panoto Baris Lelono Adikareng Noto. Nama Mangkunegara diambil dari nama ayahnya, Pangeran Arya Mangkunegara di Keraton Kartasura.

Ramai-ramai Mengeroyok Pangeran Sambernyawa
Gambar 1.2. Ilustrasi Raden Mas Said (Sumber: Tirto.id)

Ketika Raden Mas Said berjuang bersama-sama dengan Pangeran Mangkubumi melawan Mataram dan Belanda, dengan cara bergerilya di daerah pedalaman Yogyakarta, Raden Mas Said mendengar berita bahwa Sunan Pakubuwono II wafat. Beliau kemudian meminta Pangeran Mangkubumi agar bersedia naik tahta menjadi Raja Mataram. 

Baca Juga :   Kultur Pernikahan Jawa dalam Hitungan Weton dan Pandangan Generasi Z

Meskipun demikian, Belanda tidak mengakui pemerintahan Mataram yang berpusat di Kotagede, justru Belanda mengangkat Pangeran Anom (putra dari Sunan Pakubuwono II) sebagai Sunan Pakubuwono III, karena sebelum ayahnya meninggal, Sunan Pakubuwono II menyerahkan keraton kepada Belanda. Sehingga perselisihan antara Mangkubumi dan Raden Mas Said terjadi pada tahun 1752. Sejak saat itu Pangeran Mangkubumi dibujuk oleh Sunan Paku Buwana III dan Belanda untuk menghentikan perang. 

Akhirnya pada tanggal 13 Februari 1755 ada suatu perjanjian di desa Giyanti yang melibatkan Sunan Pakubuwono III, Belanda dan Pangeran Mangkubumi. Perjanjian Giyanti yang secara de facto sekaligus de jure menegaskan berakhirnya riwayat Kesultanan Mataram, perjanjian tersebut yang pada pokoknya membelah Mataram menjadi dua bagian (Atmakusumah, Takhta untuk Rakyat, 2011:126 dalam Artikel Tirto.id “Perjanjian Salatiga dan Musnahnya Cita-cita menyatukan Jawa”).

Usai Perjanjian Giyanti, Raden Mas Said terus melancarkan perlawanan menghadapi tiga kubu sekaligus, yakni Surakarta, Yogyakarta, dan VOC. Ujung-ujungnya, Raden Mas Said meminta bagian dari wilayah Mataram yang telah dibagi dua dan dari sinilah Perjanjian Salatiga dimunculkan atas prakarsa VOC yang tidak ingin kehilangan pengaruh di Jawa.  Hasilnya, Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyowo memperoleh jatah seluas 4.000 cacah atau sekitar 2.800 hektar (Wasino, Kapitalisme Bumiputra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, 2008:12 dalam Artikel Tirto.id “Perjanjian Salatiga dan Musnahnya Cita-cita menyatukan Jawa”). Dengan demikian, bekas wilayah kekuasaan Mataram kini menjadi milik tiga kubu pewarisnya, di bawah pengaruh VOC. 

Perjanjian Salatiga 1757 boleh dibilang menjadi solusi paling mudah untuk mengatasi polemik di tanah Mataram. Ibarat bagi-bagi warisan, semuanya untung. Pakubuwono III, Hamengkubuwono I, dan Raden Mas Said atau Mangkunegara I mendapat jatah masing-masing. Namun, VOC-lah yang justru tersenyum paling lebar. Hasil dari perjanjian ini membagi Kesultanan Mataram Islam menjadi tiga yakni, Kasunan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualam (17 Maret 1813). 

Sejarah Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757: Tanah Mataram Terbagi Jadi 3  Kekuasaan Halaman all - Kompas.com
Gambar 1.3. Peta pemecahan pasca perjanjian Salatiga (Sumber: Kompas.com)

Perjanjian Salatiga merupakan bukti nyata bahwa perjuangan Raden Mas Said atau Mangkunegara I selama 16 tahun dan bukan merupakan hal yang sia-sia. Hasil perjuangan tersebut adalah berdirinya Kadipaten Mangkunegaran. Mangkunegaran berdiri bukan didasarkan pada belas kasihan atau berupa hadiah, melainkan atas dasar perjuangan dan kekuatan Mangkunegaran I yang didukung oleh keluarga, kerabat dan rakyat yang setia menemani nya. Dalam perjuangan yang sangat panjang tersebut tidak terlintas sedikitpun rasa untuk menyerah, Raden Mas Said tetap kuat dan bertahan menghadapi gempuran musuh.

Pura Mangkunegaran Solo Siapkan Roadshow Budaya ke Tiga Negara - Suara  Merdeka Solo
Gambar 1.4. Pura Mangkunegaran (Sumber: Solo.suaramerdeka.com)

Berjuang melawan Belanda dengan pasukan kecil tetapi memiliki daya juang kuat dan bergerak cepat. Selain itu, pasukan ini sangat menguasai medan pertempuran, sehingga membuat musuh kewalahan, sehingga banyak yang gugur. Taktik yang digunakan adalah : Mundur; menyerang dari kiri dan kanan, depan dan belakang musuh. Taktik berputar-putar inilah yang membuat musuh kewalahan karena diserang dari segala arah (Eko Punto, 2017:47). 

Keberanian Pangeran Sambernyowo dalam berjuang, cukup membuat kewalahan pasukan lawan. Menurut Louw, Berulang kali pasukan Sambernyowo berhasil dipukul mundur dan dicerai-beraikan, berulangkali pula kembali bangkit dan lebih kuat. Hal ini disebabkan rakyat sangat mendukung perjuangannya, sehingga seperti kata pepatah, patah tumbuh hilang berganti. Julukan Pangeran Sambernyowo bagi R.M. Said bukanlah sebutan tanpa arti. Beliau adalah seorang pejuang yang gigih mempertahankan prinsip kebebasan dan kemerdekaan.

Akhir dari perjuangan Mangkunegaran I beserta para kerabat dan rakyatnya dituangkan dalam falsafah “Tri Dharma”, yaitu Mulat Sarira Angrasa Wani (kenalilah dirimu sendiri, dan jadilah kuat serta pandai), Rumangsa Melu Handarbeni (anggaplah milik praja juga milikmu), Wajib Melu Hangrungkepi (kewajiban untuk siap sedia membela kepentingan praja).

Baca Juga :   Wabah PES Yang Mematikan di Malang Tahun 1910-1916

Daftar Pustaka

Ilustrasi Raden Mas Said. Tirto.id diakses pada tanggal 31 Agustus 2022.

Kondisi Keraton Surakarta. Solopos.com diakses pada tanggal 31 Agustus 2022.

N Raditya, Iswara., 2018. “Perjanjian Salatiga dan Musnahnya Cita-cita Menyatukan Jawa”, dalam artikel https://tirto.id/perjanjian-salatiga-dan-musnahnya-cita-cita-menyatukan-jawa-ckVe diakses pada tanggal 31 Agustus 2022.

Peta Pemecahan pasca Perjanjian Salatiga. Kompas.com diakses pada tanggal 31 Agustus 2022.

Punto Hendro, E., 2017. “Strategi Kebudayaan Perjuangan Pahlawan Nasional Pangeran Sambernyowo”, Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi. 

Pura Mangkunegaran. Solo suaramerdeka.com diakses pada tanggal 31 Agustus 2022.

Ricklefs. 1974. “Yogyakarta Under Mangkubumi”, dalam A. History Division JLaxa., London : University Press

Zainuddin Fananie. 2005. Restrukturisasi Budaya Jawa, Perspektif KGPAA MN I, Muhammadiyah University Press.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts