Ngesti Pandowo; Grup Wayang Orang Mengguncang Nganjuk Tahun 1937-1943

Ngesti Pandowo merupakan perkumpulan wayang orang legendaris yang saat ini berlokasi di Kota Semarang dan banyak dikenal di Jawa Timur, Jawa Tengah, bahkan Ibukota Jakarta karena beberapa kali telah tampil di Jakarta. Menurut Soedarsono (2002:108), kejayaan Ngesti Pandowo berlangsung pada periode 1950-1970. Masa kejayaan itu diraih Ngesti Pandowo saat mereka sudah menetap di Semarang, tepatnya di Gedung GRIS yang bertempat di Jalan Pemuda. Kejayaan itu didukung oleh orang-orang yang mumpuni di dalamnya, seperti Sastrosabdo sebagai pemimpin dan sutradara yang dibantu Koesni dan Nartosabdo yang bertindak sebagai pemimpin karawitan yang sangat adaptif dalam menata gendhing-gendhing andal. Selain memiliki pemimpin produksi, sutradara, dan penata gendhing andal, Ngesti Pandowo juga didukung pemain-pemain andal dalam berolah sastra (antawacana), tembang, maupun tari.  Ngesti Pandowo juga adaptif dalam menyesuaikan selera masyarakat dengan membuat kemasan yang inovatif, glamor, dan penuh trik panggung yang mengagumkan. Ngesti Pandowo bahkan mendapatkan penghargaan dari pemerintah lewat Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1960, Presiden memberikan Piagam Penghargaan Wijaya Kusuma kepada Ngesti Pandowo (Puguh dkk, 2017: 21).

Oleh Wahyu Mada Kuncoro Sakti

Jauh sebelum Ngesti Pandowo memasuki masa kejayaannya, grup ini merupakan kelompok wayang orang keliling yang tampil di berbagai kota Jawa Timur sejak didirikannya pada tahun 1937 di pasar malam Alun-alun Maospati, Madiun, Jawa Timur. Pada saat itu paguyuban ini dibentuk oleh Sastrosabdo yang biasa memerankan Petruk, mantan anggota Sedyo Wandowo yang merupakan paguyuban wayang orang dari Surakarta yang telah bangkrut (Puguh dkk, 2017: 4). Sedangkan menurut Sujarno dkk (2016: 36) pembentukan grup wayang orang tersebut terinspirasi oleh perkumpulan wayang orang yang sudah ada di kota Surabaya yaitu Sedya Wandawa. Sastrosabdo mengatakan nama Ngesti Pandowo mempunyai makna yang mendalam, ngesti artinya permohonan yang tulus ikhlas disertai tindakan yang nyata, sedangkan pandowo berarti menyatunya kekuatan lahir dan batin. Dalam wayang kulit purwa, menyatunya kekuatan lahir dan batin diperlihatkan oleh lima ksatria Pandawa, yaitu: Puntadewa, Werkudara, Janaka, Nakula, dan Sadewa yang memiliki watak jujur, selalu bertindak tepat, dan dapat dipercaya. Ngesti Pandowo didirikan dalam situasi ketika wayang orang panggung sedang menjamur pada dasawarsa 1920 hingga 1930 (Puguh dkk, 2017: 5). 

Ngesti Pandowo 

Sumber: Instagram ngestipandowo.official

Awalnya Merupakan Grup Wayang Orang Keliling di Jatim

Sejak awal pendiriannya pada 1 Juli 1937 di Madiun, Jawa Timur, grup ini melakukan pementasan wayang orang keliling di berbagai kota di Jawa Timur. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Puguh dkk (2017: 6) seperti kebanyakan kelompok wayang orang yang didirikan dalam dasawarsa itu, Ngesti Pandowo mengadakan pentas keliling (mbarang) di berbagai kota di Jawa Timur seperti Ngawi, Nganjuk, Magetan, Kediri, Tulungagung, dan Blitar. Hal ini juga didukung oleh pendapat Sujarno dkk (2016: 40) bahwa mulanya hanya di wilayah sekitar Jawa Timur seperti Madiun, Surabaya, Kediri, dan lainnya. 

Wayang orang Ngesti Pandowo pada awalnya tidak menyewa panggung ataupun gedung dalam pementasannya. Menurut Haryono Rinardi, dosen Sejarah Universitas Diponegoro dalam penelitiannya Perkumpulan Wayang Orang Ngesti Pandawa (1937-2001): Studi tentang Manajemen Seni Pertunjukan, mengatakan bahwa pertunjukan tersebut tidak dilakukan di dalam gedung atau bangunan yang permanen, tetapi menggunakan sebuah panggung dari bambu atau yang sering disebut tobong. Studi kasus tentang pertunjukan keliling Ngesti Pandowo di Nganjuk justru unik karena telah memakai gedung atau panggung untuk pertunjukannya yang akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya.

Mencari Peruntungan di Nganjuk

Salah satu tempat yang menarik perhatian Ngesti Pandowo sebagai wilayah operasional adalah Nganjuk. Daerah yang dekat dan berada di timur Madiun ini memang lekat dengan kultur Mataramannya sehingga pertunjukan wayang orang mendapatkan porsi tersendiri di hati para penikmatnya. Masyarakat Nganjuk sangat mengapresiasi kesenian tradisional yang disajikan secara luar biasa dan dapat memenuhi selera, terbukti selain menggandrungi wayang orang juga sangat menggandrungi ketoprak. Pementasan Ngesti Pandowo di Nganjuk berdasarkan sedikit sumber yang berhasil dikumpulkan berlangsung sejak tahun 1937 (paska pendirian) hingga 1943 (masa Jepang). 

Sependek sumber yang telah dikumpulkan, Ngesti Pandowo pertama kali tampil di Nganjuk pada 20 Agustus 1937 atau satu bulan pasca perkumpulan ini didirikan. Hal itu diberitakan oleh De Locomotief dengan judul berita Ngandjoek Ngesti Pandowo. Dikatakan dalam berita itu bahwa sedang ada pertunjukan wayang orang yang bagus dan berasal dari Solo di Gedung Trisno, Nganjuk. Hal itu tidak mengherankan masyarakat Nganjuk menyebut grup wayang orang dari Solo karena pendirinya yaitu Sastrosabdo merupakan mantan pemain Sedyo Wandono, grup wayang orang terkenal dari Solo yang saat berada di Ngesti Pandowo sering memerankan Petruk yang mengundang gelak tawa dari penonton. 

Baca Juga :   Kehidupan Etnis Tionghoa Surakarta Pasca Mei 1998

Dipilihnya Gedung Trisno sebagai arena pertunjukan karena gedung ini adalah gedung hiburan kota yang dahulunya merupakan societeit (tempat hiburan bagi orang Eropa). Gedung Trisno ini dahulunya merupakan Societeit Ardjowinangoen. Societeit ini bubar pada tahun 1935 karena penutupan P.G. Guyangan dan P.G. Djatie yang membuat populasi orang Eropa di Nganjuk menurun, sesuai yang diberitakan oleh De Indische Courant, 23 Oktober 1935 dengan judul berita Ngandjoek: Opdoeking societeit. Setelah societeit ini bubar pengelolaannya diserahkan kepada pejabat lokal dan gedungnya bernama Gedung Trisno (De Indische Courant, Ngandjoek: P.P.P. organiseert feestelijkheden, 15 Oktober 1937).

Satu tahun berselang, tepatnya pada tahun 1938 tercatat bahwa Grup Ngesti Pandowo tampil lagi di wilayah Nganjuk. Pada 25 Maret 1938, Grup Ngesti Pandowo akan tampil kembali di Nganjuk setelah mereka memberikan performanya selama 3 minggu di Kediri, Jawa Timur. Grup Ngesti Pandowo saat di Kediri membawa sekitar 70 orang personal grup. Selama Ngesti Pandowo tampil di Kediri ternyata berhasil mengundang keceriaan di kalangan penggemar dan penontonnya, terutama melalui sosok figur Petruk. Hal ini diberitakan oleh De Indische Courant dengan judul berita Kediri: Ngesti Pandowo yang terbit pada 25 Maret 1938.

Penampilan Grup Wayang Orang Ngesti Pandowo terealisasi di Nganjuk setelah melakukan pertunjukan di Kediri terjadi pada 1 April 1938. Hal itu sesuai dengan yang diberitakan oleh De Indische Courant dengan judul berita Ngandjoek (van onzen correspondent) yang terbit pada 1 April 1938. Sosok tokoh Petruk sudah tidak asing bagi penggemar Ngesti Pandowo di Nganjuk. Ngesti Pandowo saat itu sudah tidak tampil di Gedung Trisno lagi, tetapi tampil di sebuah gedung yang tidak disebutkan namanya yang terletak di Mangundikaran dekat dengan Kantor ANIEM (Algemeen Nederlands Indische Electriciteit Maatschappij). Ngesti Pandowo kemungkinan besar saat itu tampil di Goedang Padi atau yang sekarang kita kenal sebagai Gedung Balai Budaya Mpu Sindok.  Goedang Padi selain dekat dengan Kantor ANIEM (perempatan antara Jalan Kartini dan Jalan Diponegoro) sesuai dengan yang diberitakan oleh  De Indische Courant dengan judul berita Ngandjoek (van onzen correspondent) yang terbit pada 1 April 1938, juga sering diadakan acara pertunjukan seni maupun acara besar lainnya, seperti: pertunjukan kethoprak (De Locomotief: Kethoprak Vorstelling, 19 Mei 1938), Jangger Bali, Golek, dan Bondan (De Locomotief, Ngandjoek: Voor Armenzorg, 16 Agustus 1939). Berdasarkan hal itu sangat mungkin Ngesti Pandowo memberikan penampilannya di Gudang Padi atau Balai Budaya Mpu Sindok sekarang ini. Grup Ngesti Pandowo membawa jumlah personel tetap, yaitu sekitar 70 orang personel, persis seperti saat mereka tampil sebelumnya di Kediri. 

Grup Ngesti Pandowo ternyata kembali tampil lagi di Nganjuk pada Agustus 1938. Pementasan itu diberitakan oleh De Locomotief dengan judul berita Ngesti Pandowo yang terbit pada 27 Agustus 1938. Grup Ngesti Pandowo tinggal sementara di wilayah Nganjuk dan akan melakukan pertunjukan selama kurang lebih 2 minggu dan dilangsungkan setiap sore hari. 

Satu hal menarik yang diberitakan oleh De Locomotief 25 Agustus 1938 adalah selain wayang orang ternyata masyarakat Nganjuk pada tahun 1938 juga sangat menggandrungi kesenian ketoprak. Ketoprak merupakan seni teater tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian dan dipentaskan di sebuah panggung dengan mengambil cerita dari sejarah, cerita panji, dongeng, dan lainnya diselingi dengan lawakan (Nazal dan Puguh, 2022: 1). Ketoprak merupakan kesenian yang berasal dari Surakarta, tetapi kemudian telah merembet ke Yogyakarta dan menjadi pusat kesenian ketoprak karena banyaknya grup ketoprak yang memikat penonton pada tahun 1928. Kesenian ketoprak tidak hanya berkembang di sekitaran Surakarta dan Yogyakarta saja, tetapi juga merembet ke Tulungagung, Jawa Timur yang dipelopori oleh seniman ketoprak dari Yogyakarta. Pamor nama grup ketoprak yang berasal dari Surakarta, Yogyakarta, hingga Tulungagung yang paling dekat dengan Nganjuk inilah yang menyentuh hati masyarakat Nganjuk saat itu, sehingga selain menyukai wayang orang juga menyukai kesenian ketoprak.

Ngesti Pandowo kembali lagi menyajikan pertunjukan yang istimewa di Nganjuk pada tahun 1939. Hal tersebut kembali lagi diberitakan oleh Het Algemeen Handelsblad dengan judul berita Ngesti Pandowo yang terbit pada 29 Juli 1939. Disebutkan bahwa sebelumnya Grup Ngesti Pandowo ini tampil di Surabaya dan pertunjukannya dikatakan sukses besar. Pada saat grup Ngesti Pandowo tampil di Surabaya ternyata didukung dengan aktor dan aktris yang mumpuni sehingga dapat menampilkan satu pertunjukan yang luar biasa. Setelah sukses besar di Surabaya, grup wayang orang ini segera pindah ke Nganjuk untuk menampilkan pertunjukannya hingga sang penulis berita sangat yakin akan menjadi satu atraksi yang memikat daya tarik di Nganjuk setelah berkaca dari pertunjukannya di Surabaya. Harga tiket masuk untuk menonton pertunjukan Ngesti Pandowo saat itu juga dijaga sangat rendah.

Baca Juga :   MALAKA DAN PORTUGIS: Dari Tempat yang Membanggakan Hati Menjadi Sesuatu yang Tak Begitu Berarti

Berita Ngesti Pandowo kembali tampil di Nganjuk terjadi pada 16 Agustus 1939. Pada saat itu Grup Ngesti Pandowo diberikan panggung penampilan di Goedang Padi (Balai Budaya Mpu Sindok sekarang). Nampaknya penampilan Ngesti Pandowo tersebut berkaitan dengan kegiatan amal untuk masyarakat kurang mampu di Nganjuk. Beberapa hasil tiket Ngesti Pandowo juga disumbangkan untuk kebaikan amal. Kegiatan Ngesti Pandowo ini bersifat terbuka untuk umum dan tiket tersedia di loket tiket.

Pada tahun berikutnya, Ngesti Pandowo tampil kembali di Nganjuk tahun 1943. Hal tersebut diberitakan oleh Asia Raya 15 Juli 1943 dengan judul berita Ngesti Pandowo. Ngesti Pandowo sebagai sebuah perkumpulan kesenian wayang orang hendak tampil di Nganjuk pada masa pendudukan Jepang. Biasanya di masa Kedudukan Jepang organisasi seni yang masih tetap diizinkan berdiri diberikan pengawasan yang ketat, termasuk Ngesti Pandowo. Pemberlakuan jam malam membuat Ngesti Pandowo tidak dapat mengadakan pementasan pada malam hari, melainkan hanya pada sore hingga petang antara pukul 16.00-18.00 WIB (Puguh dkk, 2017: 7).  Parahnya lagi bahkan pemerintah menyensor lakon yang dipentaskan. Sebelum melakukan perjalanan ke Nganjuk, Ngesti Pandowo melakukan pagelaran dengan lakon Wahyu Cakraningrat, yaitu secara garis besar menceritakan kriteria pemimpin yang arif dan bijaksana. Setidaknya terdapat tiga orang yang bisa menerima wahyu sakti itu, antara lain mereka yang berasal dari keturunan raja yang berakhlak luhur.

Setelah cukup sukses di Jawa Timur, Ngesti Pandowo pada tahun 1942 mulai menginjakkan kakinya di Jawa Tengah. Kabupaten yang pertama kali disinggahi adalah Klaten. Dipilihnya Klaten sebagai persinggahan pertama dengan pertimbangan bahwa kota tersebut dekat dengan Kota Solo (Surakarta) sebagai salah satu pusat budaya Jawa dan tempat lahirnya wayang orang hingga akhirnya nanti mantap menetap di Kota Semarang pada tahun 1954. Ngesti Pandowo mulai menggelar pertunjukan wayang orang di GRIS pada 1954. Pertunjukannya yang selalu ramai penonton, terutama pada malam libur, mendorong pemerintah setempat untuk memperbaiki GRIS secara bertahap. Gedung yang semula menyerupai bangunan darurat itu akhirnya menjadi representatif untuk mementaskan wayang orang (“1 Djuli 1937-1 Djuli 1962: 25 Tahun Ngesti Pandowo” 1962 dalam Puguh dkk, 2017: 8).

Referensi

De Indische Courant. 1 April 1938. Ngandjoek (Van Onzen Correspondent): Ngesti Pandowo. 

De Indische Courant. 25 Maret 1938. Kediri (Van Onzen Correspondent): Ngesti Pandowo.

De Locomotief. 20 Agustus 1937. Ngandjoek: Ngesti Pandowo.

De Indische Courant, 23 Oktober 1935.Ngandjoek: Opdoeking societeit.

De Indische Courant. 15 Oktober 1937. Ngandjoek: P.P.P. organiseert feestelijkheden.

De Locomotief. 27 Agustus 1938. Ngesti Pandowo.

De Locomotief. 16 Agustus 1939. Ngandjoek: Voor Armenzorg.

De Locomotief. 19 Mei 1938. Kethoprak Vorstelling.

Het Algemeen Handelsblad. 12 April 1938. Ngandjoek: Ngesti Pandowo.

Het Algemeen Handelsblad. 29 Juli 1939. Ngesti Pandowo.

Nazal, Azmi Globalian dan Dhanang Respati Puguh. (2022). “Dinamika Kehidupan Kethoprak di Kabupaten Pati 1950-2007”. Jurnal Sejarah Citra Lekha, 7(2), 124-136.

Puguh, Dhanang Respati. (2023). “Wayang Orang Panggung sebagai Hiburan Massa: Tinjauan dari Perspektif Sejarah”. LWSA Conference Series 6.

Puguh, Dhanang Respati, Rabith Jihan Amaruli dan Mahendra Pudji Utama. (2017). “Teater Kitsch Ngesti Pandowo di Kota Semarang Tahun 1950-an-1970-an”. Mozaik Humaniora, 17(1), 1-25.

Rinardi, Haryono. 2002. “Perkumpulan Wayang Orang Ngesti Pandowo (1937-2001): Studi tentang Manajemen Seni Pertunjukan” (Laporan Penelitian Fakultas Sastra Universitas Diponegoro).

Soedarsono. 2002. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Sujarno, dkk. 2016. Wayang Orang Ngesti Pandowo (2001-2015): Kajian tentang Manajemen Seni Pertunjukan. Yogyakarta: Balai Pelestari Nilai Budaya D.I. Yogyakarta.

Utama, Mahendra Pudji, Dhanang Respati Puguh dan Rabith Jihan Amaruli. (2021). “Pertunjukan Kethoprak Ngesti Pandowo, 1950-1996”. Jurnal Sejarah Citra Lekha, 6(2), 102-109.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts