Nasionalisme Abdul Rahman Baswedan

New Doc 2017-12-16 (2).jpg 
Sumber: Suratmin dan Didi Kwartanada, Biografi A.R. Baswedan Membangun Bangsa Merajut Keindonesiaan (Jakarta: Kompas, 2014).

Abdul Rahman Baswedan merupakan salah satu pionir gerakan emansipasi dan integrasi golongan minoritas keturunan Arab (Hadrami) di Indonesia. Dia hidup terbiasa dengan konflik-konflik yang terjadi di dalam masyarakat Arab-Indonesia, konflik ini berhubungan dengan pilihan apakah harus memilih mematuhi nilai-nilai, norma-norma, kebiasaan, keyakinan, dan cita-cita lama yang sudah ada di Hadramaut (Yaman Selatan).

Oleh: Rani Bataviani

Ia dibesarkan pada dilingkungan keluarga yang taat beragama. Di lingkungan keluarganya, ia lebih cenderung dekat dengan ibunya daripada dengan ayahnya. Sehingga adat istiadat dari ibunya lebih berpengaruh terhadap Abdul Rahman Baswedan yang berupa bahasa, tata krama, kehidupan sehari-hari.

Pada usia yang muda, Abdul Rahman Baswedan melihat konflik antara orang Arab asli dan peranakan, sehingga secara terang-terangan menentang dominasi terhadap Indo-Hadramaut (muwallad, peranakan) oleh pendatang baru atau totok Hadramis (wulaiti), dan ia juga berinisiatif awal menuju pendirian sebuah gerakan Indo-Hadrami yang radikal, menjadikan Indonesia sebagai tanah air, bukan lagi Hadramaut.

Pada tahun 1925, Abdul Rahman Baswedan aktif dalam organisasi Jong Islamieten Bond (J.I.B.) dan menjadi anggotanya. Kebanyakan anggota J.I.B. terdiri dari macam-macam suku bangsa Indonesia. Dengan pergaulan J.I.B. yang merupakan bawahan dari Partai Sarikat Islam Indonesia, dan sering mengikuti uraian-uraian politik dari pemimpin-pemimpin utamanya, yaitu H.O.S. Cokroaminoto, Haji Agus Salim, Sangaji, dan lainnya. Dan berindekos dalam keluarga besar J.I.B. di rumah Soeroeyono yang jauh dari kampung Arab, sehingga muncullah rasa nasionalisme Abdul Rahman Baswedan yang didasari oleh kesadaran politik.

Perselisihan antara masyarakat Arab Indonesia yang tidak ada habisnya, membuat Abdul Rahman Baswedan sadar dan matanya terbuka, ia semakin tahu bagaimana seluk-beluk di kalangan orang Arab dari Hadramaut. Hal ini membuat Abdul Rahman Baswedan menarik kesimpulan bahwa kekacauan, pikiran, pertentangan, dan segala macam kericuhan sejak 20 tahun sebelum kejadian disebabkan bukan hanya pertentangan agama saja, tetapi menyangkut masalah sosial dan adat istiadat yang terdapat di Hadramaut.

Golongan Arab Indonesia pada abad ke-20,mereka kemudian berubah statusnya menjadi orang-orang Indonesia, hal ini dicerminkan oleh pendirian Partai Arab Indonesia pada tahun 1934 yang diprakarsai oleh Abdul Rahman Baswedan.

Abdul Rahman Baswedan mengusulkan organisasi baru yang anggotanya dibatasi pada orang-orang Arab. Organisasi ini  berazaskan pada pengakuan Indonesia adalah tanah kelahiran mereka, tempat mencurahkan kesetiaan dan cintanya. Organisasi ini memberikan kebebasan pada orang-orang peranakan Arab untuk berdampingan dengan orang Indonesia dan Baba Cina.

Selain itu Abdurrahman Baswedan dipengaruhi oleh kaum nasionalis Tionghoa di Surabaya ketika ia membuka usaha rokok di Surabaya, perkenalan dengan Liem Koen Hian (pendiri Partai Tionghoa Indonesia) dan mendapatkan pengaruh dari dia, membuat Baswedan mantap untuk mendukung Indonesia sebagai tanah air mereka.

Ketika Abdul Rahman Baswedan merintis berdirinya P.A.I (Persatuan Arab Indonesia, kemudian Partai Arab Indonesia) antara Al-Irsyad dan Ar-Rabitah sepakat menghapus kata “Sayyid” dan mengganti kan dengan kata “saudara”, tetapi kebanyakan mereka memanggil sesama dengan kata “tuan”.

New Doc 2017-04-19_1.jpg
Sumber: Suratmin dan Didi Kwartanada, Biografi A.R Baswedan: Membangun Bangsa, Merajut Keindonesiaan, Jakarta: Kompas, 2014.

Konferensi diselenggarakan di Semarang pada bulan Oktober 1934. Konferensi ini dihadiri 40 orang, terdiri dari pendukung aktif kedua organisasi, Al-Irsyad dan Ar-Rabitah. Meskipun adanya perbedaan diantara mereka, para partisipan setuju usul Abdul Rahman Baswedan untuk mendirikan organisasi baru, Persatuan Arab Indonesia. Keanggotaan ini dibatasi untuk orang-orang Arab yang lahir di Indonesia, orang Arab yang lahir selain di Indonesia akan dimasukkan kedalam anggota luar biasa.

Baca Juga :   Ekonomi Dalam Perspektif Mahatma Gandhi Bagian II

Anggota P.A.I. mengucapkan “Sumpah Pemuda Keturunan Arab” di Semarang, yang merupakan kelanjutan dari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Pernyataan ini memiliki tiga butir, yaitu adalah:

  1. Tanah air Peranakan Arab adalah Indonesia
  2. Peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan menyendiri
  3. Peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap tanah-air dan bangsa Indonesia

P.A.I. didirikan berhaluan kooperatif. Sejak tahun 1937 P.A.I. terjun dalam politik. Penerimaan dan dukungan Kongres P.A.I. pada tahun 1937 di Surabaya berdasarkan atas inisiatif A.S. Alatas, merupakan anggota Volksraad dan Penasihat Pengurus Besar P.A.I., yang merupakan salah satu penandatangan Petisi Soetardjo. Suatu pengakuan resmi bahwa peranakan Arab dianggap serta diterima sebagai putra-putra dan sesama bangsa Indonesia, P.A.I. merupakan partai pertama yang mendukung ‘Petisi Soetardjo’.

Petisi Soetardjo ditolak dan akhirnya diberdirikannya GAPI pada 21 Mei 1939 untuk mendukung “Indonesia Berparlemen”. Perjuangan politik ini ditetapkan dalam rapat anggota pada tanggal 4 Juli 1939, setelah satu setengah bulan berdirinya GAPI. Pada tahun 1940 P.A.I. mengubah namanya yang sebelumnya “persatuan” menjadi “partai” dalam kongres lustrum pada tanggal 18 sampai 25 April 1940 di Jakarta.

Abdul Rahman Baswedan dan anggota P.A.I lainnya mendukung hak perempuan, yang sebelumnya dimana perempuan mendapatkan posisi dikesampingkan oleh pihak lelaki, terutama perempuan harus berdiam diri di rumah. Abdul Rahman Baswedan juga menulis tentang hak perempuan dalam majalah Aliran Baroe yang dikaitkan dengan sejarah dan situasi serta kondisi perempuan di Mesir.

Setelah pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942, semua partai politik dibekukan termasuk P.A.I. sehingga fokus Abdul Rahman Baswedan adalah duduk sebagai anggota BPUPKI dan dewan penasihat Chuo Sangi In pada tahun 1944 untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Di Dalam sidang BPUPKI, Abdul Rahman Baswedan memberikan pidatonya. Dia berbicara tentang kedudukan golongan Arab di Indonesia, bahwa Arab totok juga tidak selalu menggunakan bahasa Arab dalam pergaulannya.

Setelah kemerdekaan Indonesia, P.A.I dibubarkan karena mendukung sebagai rakyat Indonesia dan kemudian ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 23 Agustus 1945.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Algadri, Hamid, C. Snouck Hurgronje: Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab .Jakarta: Sinar Agape Press, 1984

Assagaf, M. Hasyim, Derita Putri-Putri Nabi Studi Historis Kafa’ah Syarifah. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.

Badjerei, Hussein, Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa. Jakarta: Presto Prima Utama, 1996.

Berg, L.W.C van den, Orang Arab di Nusantara. Depok: Komunitas Bambu, 2010.

Haikal, Husain, Indonesia-Arab Dalam Pergerakan Indonesia. Semarang: AINI, 2002.

Hayaze, Nabiel A. Karim, Revolusi Batin Sang Perintis: Kumpulan Tulisan dan Pemikiran A.R. Baswedan. Jakarta: Mizan Pustaka, 2015.

______, , Kumpulan Tulisan dan Pemikiran Hoesin Bafagieh Tokoh P.A.I. dan Nasionalis Keturunan Arab. Jakarta: Halaman Moeka Publishing, 2017.

Kartodirdjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional .Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014.

Kesheh, Natalie Mobini, Hadrami Awakening: Kebangkitan Hadrami di Indonesia. Jakarta: Penerbit Akbar, 2007.

Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1995.

Santoso, Budi, Peranan Keturunan Arab Dalam Pergerakan Nasional Indonesia .Jakarta: Progres, 2003.

Shahab, Alwi, Saudagar Baghdad dari Betawi. Jakarta: Penerbit Republika, 2004

Suratmin dan Didi Kwartanda, Biografi A.R Baswedan: Membangun Bangsa, Merajut Keindonesiaan. Jakarta: Kompas, 2014.

Suratmin, Abdul Rahman Baswedan: Karya dan Pengabdiannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1989.

Baca Juga :   Peran Pemuda Jong Java dalam Mewujudkan Perubahan Indonesia

Suryadinata, Leo, Politik Tionghoa Peranakan di Jawa 1917-1942. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.

Koran atau majalah: Aliran Baroe

Arsip dan Dokumen

Sekretariat Negara RI Rumah Tangga Kepresidenan, “Penganugrahan Bintang Republik Indonesia dan Bintang Mahaputera”, 12 Agustus 1992.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Related Posts