Menulis Sejarah Seperti Ibnu Athir al-Jaziri

Ibn al-Athir sejak kecil sudah menyukai dunia sejarah. Ia menuliskan cerita kesejarahan dalam kitabnya Al-Kamil dengan begitu sangat runtut dengan kejadian yang dilihatnya.

Oleh Ahmad Zainuri

Dalam kata pengantar Al-Kamil  mengandung empat bagian, misalnya yang pertama, pujian atau memuji, kedua, pendahuluan, ketiga, metode penulisan; cakupan sejarah dan sumber referensi dan keempat, manfaat dari menuliskan sejarah. Pujian dalam artian ialah memuji kepada Allah, Nabi Muhammad Saw, dan para sahabat nabi (semoga Allah mengampuni mereka) ini text untuk awal dari kata pengantar dalam Al-Kamil. Bagian pertama dalam sebuah pujian kepada Allah dan Nabi-Nya seperti mengucapkan Bismillahi al-Rahman al-Rahim dan diakhiri dengan surat dari Maryam. Dalam Azmul Fahmi menjelaskan:

Such as the pronouncement Bism Allah al-Rahman al-Rahim and later ended with verses from Surah Maryam, “And how many a generation before them have we destroyed! Canst thou (Muhammad) see a single man of them, or hear from them the slightest sound?” and Surah al-A‘raf “… His verily is all creation and commandment. Blessed be Allah, the Lord of the Worlds!”.

Both verses from Surah Maryam and al-‘Araf allude to an early understanding on the importance of learning from past stories. According to the interpretation of al-Tabari, verse 98 of Surah Maryam means, did you see and hear the voice of previous people destroyed by God because they followed a false path and do evil to Him. The slightest sound is the soft voice of those who perished due to ungratefulness to His blessings. This verse reminds the ummah of Prophet Muhammad (p.b.u.h.) to immediately repent from sin if they do not want to perish like previous generations. The interpretation of verse 54 Surah al-A‘raf meanwhile is to create and rule cannot be done by anything other than Allah, including worshiped gods and idols because both of them can bring about neither harm nor benefit and cannot create anything or rule anything.

Penjelasan diatas ini merupakan sebuah pengantar dari karya Ibn Al-Athir dalam kitabnya Al-kamil dengan beberapa penjelasan bagian-bagian dari isi kitab dan penggalan surat yang digunakan di dalam kitab tersebut. Tak lain Al-Athir juga menuliskan beberapa bagian yang bermanfaat untuk pentingnya penulisan sejarah dan metodenya, termasuk terciptanya kitab Al-Kamil beliau tersebut. Dan juga dijelaskan bahwa begitu pentingnya mempelajari sebuah cerita masa lampau sebagai kesejarahan hidup agar lebih baik dan bersyukur atas apa yang Allah berikan dan tidak mengkufuri nikmat-Nya dan segeralah bertobat dan jangan mengulangi lagi seperti umat sebelumnya.

Secara umum dalam kitab Al-Kamil dalam jilid pertama menceritakan sejarah pra-Islam bermula dengan penciptaan alam semesta diikuti oleh sejarah Bible, termasuk cerita-cerita penukaran pada agama Kristen Konstantinopel dan sejarah awal Arab-Islam. Dan di jilid pertama ini juga menceritakan kisah Nabi Adam hingga nabi Ibrahim. Kemudian dalam jilid ini juga membahas tentang pembinaan Ka’bah di Kota Makkah. Menguraikan bangsa-bangsa terdahulu, seperti Persia, Bani Israel dan Iskandar Zulkarnain. Ia juga dalam jilid ini menjelaskan Raja Roma sehingga pada Raja Heraclius. Kemudian Ibn al-Athir juga membicarakan tentang Arab jahiliyah dan hubungan mereka dengan Persia, Roma dan Habsyah. Jilid pertama ini diakhiri dengan uraian tentang peperangan yang berlaku di antara orang Arab pada zaman Jahiliyah.

Baca Juga :   Kesultanan Islam Jawa: Sebuah Upaya Mencari Legitimasi

Jilid kedua menjelaskan kehidupan Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya, Abu Bakar as-Siddiq dan Umar bin Khattab. Di bab kedua ini diakhiri dengan pembukaan negeri Mesir oleh Amru bin ‘As. Jilid ketiga menjelaskan khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Kisah pada jilid ini Utsman dan gerakan pembukuan yang berlaku dalam masa pemerintahannya di Khurasan, Karman, Sijistan, Afrika dan Spanyol. Jilid keempat membahas sejarah Umayyah, yang pada pertama menceritakan wafatnya Muawiyyah bin Abu Sufyan dan menjelaskan khalifah dinasti Umayyah. Dan selanjutnya ia membahas mengenai pembukaan Islam, terutama di Roma dan pulau-pulau sekitar Laut Mediterania.

Pada jilid kelima, Ibn al-Athir menjelaskan berakhirnya Dinasti Umayyah dan berdirinya Dinasti Abbasiyah. Jilid keenam membahas zaman keemasan Dinasti Abbasiyah masa Khalifah Al-Mansur, Al-Mahdi, Al-Hadi, Harun al-Rasyid, Al-Amin, Al-Makmun, Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq. Jilid ketujuh membincangkan khalifah Al-Watsiq dengan sambungan dari jilid keenam tadi dengan menambahkan cerita khalifah Al-Mutawakkil, Al-Muntashir, Al-Mustasin, Al-Mutaz, Al-Muhtadi, Al-Mu’tamad dan Al-Muktafi. Jilid kedelapan membahas permulaan Byzantine ke arah Timur di Syria. Menjelaskan dinasti Fatimiyah di Mesir. 

Pada jilid kesembilan, al-Athir menjelaskan Dinasti Saljuk dan kawalan atas Abbasiyah. Dan membahas kemerosotan Dinasti Abbasiyah. Jilid kesepuluh menjelaskan peristiwa sejarah pada peristiwa tahun 451 H hingga 527 H, yaitu peningkatan kekuasaan golongan Saljuk. Dan keadaan Syam sebelum datangnya Perang Salib, masyarakat Islam di Maghrib, Spanyol dan sisilia. Jilid kesebelas memaparkan peristiwa yang terjadi pada tahun akhir 527 H hingga 583 H, peristiwa pengaruh keluarga Zanki dan kejayaan Sultan Nurudin Mahmud dan kejayaan Salah Ad-Din. Dan jilid kedua belas, menjelaskan peristiwa yang terjadi pada 584 H hingga 628 H, yang memaparkan Salah ad-Din dan kemenangan terhadap Perang Salib, terutama angkatan yang ketiga. 

Historiografi dalam Muqaddimah Al-Kamil fi al-Tarikh

Dalam pandangan penulis dari beberapa pembacaan dari jurnal, kitab dan buku-buku tentang Ibn al-Athir bahwa Ibn al-Athir sejak kecil sudah menyukai dunia sejarah dengan sudah lama belajar kepada ayahnya sendiri. Berbagai varian penarasian dan sebuah dimensi sejarah yang mana menjadi pelajaran yang menciptakan dan dipelihara sebuah arti kecintaannya terhadap ilmu pengetahuannya itu (sejarah). Minatnya dalam menarasikan dengan beragam cakupan membuat sebuah minat tersendiri bagi Ibn al-Athir untuk mengikuti perjalanan setiap sejarah dengan metode naratif-deskriptif.

Ibn al-Athir dalam menjelaskan cerita kesejarahan dalam kitabnya Al-Kamil begitu sangat runtut dengan kejadian yang dilihatnya. Sudah diterangkan di atas bahwa cerita yang ia tulis sesuai perjalanan dan menuliskannya dengan naratif, mengalir dengan keadaan yang ada. Dalam kitab Al-Kalam fi Al-Tarikh, ia menjelaskan dalam sebuah kritikan terhadap sebuah gaya historiografi sejarah dengan analitik, yang kemudian tidak bisa menyampaikan sebuah pesan, sehingga ada sebuah perbedaan tujuan yang menyebabkan intisari isinya tidak diketahui. Menurutnya bahwa menuliskan sejarah itu dengan menarasikan hal-hal yang ada dan dituliskan dengan apa adanya, karena setiap catatan sejarah panjang diceritakan sementara sisa sejarah dirangkum, sehingga menyebabkan peristiwa besar dan terkenal dihilangkan. Menurut Ibn al-Athir menjelaskan dalam Muqaddimah:

falamma ta’ammiltuha ra’aytuha mutabayinah fi tahsil al-ghard, yakadu jawhar al-ma‘rifah biha yastahil ila al-‘ard,

(Ketika saya menganalisis buku-buku sejarah, saya melihat di dalamnya perbedaan tujuan yang menyebabkan intisari isinya tidak diketahui).

dan dilanjutkan dengan;

famin bayna mutawwilin qad istaqsa al-turuq wa al-riwayat wa mukhtasirin qad akhalla bi kathirin mimma huwa at. Wa ma‘a zalik faqad taraka kulluhum al-‘azim min al-hadithat wa al-mashhur min al-ka’inat.

(Setiap catatan sejarah panjang diceritakan sementara sisa sejarah dirangkum sehingga menyebabkan peristiwa besar dan terkenal dihilangkan).

Baca Juga :   Mengupas Jejak dan Kontribusi Tokoh Perdamaian Perempuan, Ni Wajan Gedong Bagoes Oka

Dalam penjelasan lain bahwa, Ibn al-Athir ingin mencoba merekonstruksi sejarah masa lampau dengan daya nalar yang berurutan dan tersistematis, kronologis, kenapa? Agar tampak bahwa sejarah itu memiliki sebuah periodisasi yang jelas dan tidak mengaburkan sebuah kisah yang pernah terlewati dari sebuah masa dengan eksistensi kesejarahan dan kisah masa itu. Karena Ibn al-Athir tidak mau menuliskan sejarah yang terlompat-lompat, sifatnya yang naratif, agar bisa terus terbaca dengan perkembangan zaman dan periodisasi yang runtut tanpa tertutupi dengan kesejarahan yang lain. Karena Ibn al-Athir ingin menuliskan sebuah karya yang menjadi titik yang jelas, jangan tidak mengaburkan setiap kisah sejarah, dan seorang sejarawan harus bisa menuliskan sejarah periode dan diakhiri dengan tulisan tersebut dengan menambahkan sejarah berikutnya. Menurut Ibn al-Athir:

wa  sawwada kathir minhum al-awraq bi saghair al-umur allati al-i‘rad ‘anha awla wa tark tastiruha ahra, 

(Mereka menghitamkan lembaran kertas karena kesalahan kecil dan meninggalkannya).

dilanjutkan dengan;

wa  qad  arrakha  kullu  minhum  ila  zamanih  waja’  ba‘dah man zayyala ‘alayh. Wa adaf al-mutajaddidat ba‘da tarikhi ilayh. Wa sharqiy minhum qad akhal bi zikr akhbar al-gharb wa al-garbi qad ahmala ahwal al-sharq.

(Semua sejarawan mengumpulkan sejarah di setiap periode dan mengakhiri tulisan mereka dengan menambahkan sejarah berikutnya. Untuk sejarawan di timur, mereka tidak menyebutkan peristiwa di barat dan begitu pula sejarawan di barat, mengabaikan situasi di timur).

Implikasi dari perbedaan tersebut menyebabkan isi sebuah karya sejarah menjadi tidak teratur dan tidak jelas, bahkan hingga peristiwa-peristiwa sejarah yang penting diabaikan dibandingkan dengan yang lain. Sehingga menuliskan sejarah harus berurutan yang terkronologis, agar nampak sejarah itu terus berurutan dan berjalan dengan sesuai masa zamannya, dan tidak menutupi atau menghitamkan lembaran kertas yang terjadi dalam sebuah kesalahan kecil dan ditinggalkan oleh mereka. Sikap tersebut menunjukkan bahwa tidak ada upaya untuk memperbaiki atau mengoreksi fakta sejarah yang salah. Keadaan ini membuat isi sejarah tidak lengkap dan penjelasannya kabur.

Referensi:

______. (2020). Ibn al-Athīr: Sejarawan Arab. 

Adiwidjajanto, K. (2017). Historicum Calamitatum (Masa-masa Kekalutan) Dunia Islam dalam Historiografi Ibn Athir di Dalam Al-Kamil. (Jurnal Qurthuba¸Vol.1,No.1). 

Effendi. (2013). Menguak Historiografi Islam Dari Tradisional Konvensional Hingga Kritis-Multidimensi. (Jurnal TAPIs, Vol. 9, No. 1). DOI: 10.24042/tps.v9i1.1579.

Gumilar, S. (2017). Historiografi Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern. Bandung: Pustaka Setia.

Ibn, Al-Athir, Al-Imam Ibn Hasan Ali bin Abi Karim Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Abdul Wahid Saybani Ma’ruf. (1984). Al-Kamil Fi Al-Tarikh: Tarikh maa Qobla al-Hijroti al-Nabawiyah Syarifiyah. Beirut: Darul Kitab Al-‘Ilmiyah.

Kamaruzaman, dkk. (2015). Ibn al-Athir ’s Philosophy of History in Al-Kamil Fi Al-Tarikh. (Jurnal Asian Social Science, Vol. 11, No. 23). DOI: 10.5539/ass.v11n23p28.

Munjin, Sidqy, S. (2018). Analisis Penulisan Al-Kamil Fi Al-Tarikh Karya Ibn Al-Athir. (Jurnal Rihlah, Vol. 6, No. 1). DOI: https://doi.org/10.24252/rihlah.v6i2.6910.

Rosenthal, F. (1968).  A History Of Muslim Historiography. Leiden: E.J. Brill.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts