Meninjau Nilai Historis Toponimi Kawasan Glodok

Toponimi merupakan salah satu cabang dari onomastika yang mengkaji dan menelusuri asal-usul nama dari suatu tempat. Istilah toponimi berasal dari kata toponim yang diserap dari kata dalam bahasa Inggris “toponym” berupa gabungan kata “topos” dan “onym”. Topos dalam bahasa Yunani berarti “tempat” dan onym berarti “nama” sehingga jika digabung maka toponym bermakna nama tempat di permukaan Bumi (Hisyam & Sabila, 2020).

Oleh Imam Hibatullah

Kawasan permukiman masyarakat Tionghoa yang terletak di Glodok merupakan kawasan pecinan pertama sekaligus terbesar di Indonesia. Sejarah pendirian kawasan pecinan tersebut tidak terlepas dari peristiwa berdarah dan memilukan yang pernah dialami masyarakat Tionghoa di Batavia pada tahun 1740. Pada tanggal 9 Oktober 1740 terjadi sebuah peristiwa pembantaian terhadap penduduk Tionghoa yang tinggal di dalam kota Batavia. Peristiwa memilukan ini menyebabkan terjadinya penjarahan dan pembakaran terhadap rumah-rumah Tionghoa di dalam kota dengan korban jiwa sebanyak 5.000 orang Tionghoa. Peristiwa tersebut tersebut disebabkan karena penguasa VOC di Batavia yang berusaha menekan jumlah populasi Tionghoa yang semakin bertambah banyak dan dianggap sebagai ancaman bagi kepentingan ekonomi VOC di Batavia (Heuken, 2016: 88-94).

Sejak peristiwa tersebut, orang-orang Tionghoa direlokasi ke daerah khusus di luar tembok kota sebelah barat daya. Daerah tersebut terletak di sepanjang aliran sungai dekat kawasan Pintu Kecil. Seiring berjalannya waktu, daerah permukiman Tionghoa tersebut dikenal dengan sebutan Glodok (Van der Linde, 2020: 88). Masyarakat Tionghoa masih tetap tinggal di kawasan Glodok hingga pasca kemerdekaan Indonesia.

Terkait toponimi mengenai nama Glodok, terdapat beberapa asal-usul yang ada di kalangan masyarakat setempat. Pertama, dikemukakan bahwa nama Glodok berasal dari kata “grojok” yakni tiruan bunyi cucuran air yang keluar dari pancuran (Ruchiat, 2018: 44). Toponimi tersebut terkait dengan kehadiran semacam penampungan air pada tahun 1670 yang mengambil sumber air dari Ciliwung melalui pancuran yang terbuat dari kayu. Kemudian terdapat keterangan lain yang menyebut bahwa nama Glodok berasal dari nama jembatan yang menyeberangi Kali Besar di kawasan tersebut yakni Jembatan Glodok. Penyebutan Jembatan Glodok karena di ujung jembatan dekat pecinan tersebut terdapat tangga-tangga di tepi sungai yang dibuat pada tahun 1643. Tangga-tangga tersebut berasal dari bahasa Sunda “Golodok” yang berarti tangga yang biasa digunakan untuk mandi dan mencuci (Tifada, 2020).

Map

Description automatically generated
Peta kawasan Glodok pada tahun 1897 di Batavia Lama.
Sumber: www.colonialarchitecture.eu

Arsitektur Khas Tionghoa di Glodok

Sejak abad ke-19, kawasan Glodok berkembang menjadi tempat tinggal sekaligus tempat melakukan kegiatan perekonomian bagi orang Tionghoa di Batavia. Pada peta di atas, terlihat pada bagian tengah terdapat tempat yang diberi nama Chin Kerk atau klenteng Tionghoa. Klenteng menjadi tempat ibadah utama bagi masyarakat Tionghoa di Batavia. Di kawasan Glodok, klenteng terbesar adalah Klenteng Jin-de Yuan yang pada masa sekarang dikenal dengan nama Vihara Dharma Bakti. Klenteng tersebut didirikan sekitar tahun 1650 oleh seorang Letnan Tionghoa bernama Guo Xun-guan sebagai penghormatan terhadap dewi Guan-yin (Heuken, 2016: 254). Klenteng tersebut berciri khas arsitektur Tionghoa dengan atap ujung kiri-kanan yang melengkung ke atas membentuk tanduk. Ciri atap yang melengkung tersebut merupakan inspirasi dari atap tenda dari para suku nomaden di daratan Tiongkok (Raap, 2017: 107).

Aspek arsitektur dalam klenteng Tionghoa juga dipengaruhi oleh konsep pedoman Feng Shui yang sangat berpengaruh di daratan utama Tiongkok. Salah satu contoh penerapannya ada dalam hal halaman klenteng yang luas sebagai tempat berkumpul untuk prosesi upacara tertentu (Tjiook, 2017).

Baca Juga :   Bagaimana Sistem Matrilineal di Minangkabau Tetap Bertahan?

Konsep Rumah-Toko Tionghoa

Salah satu hal yang khas dari masyarakat Tionghoa di Jakarta dan pecinan lain di Indonesia adalah penggabungan antara konsep rumah dengan toko. Konsep ini dikenal dengan sebutan “ruko” atau “rumah toko” yang masih dikenal hingga saat ini. Pembangunan ruko di kawasan Glodok juga dilakukan di kawasan pecinan lain di Indonesia seperti di Surabaya, Semarang dan Buitenzorg (Bogor). Biasanya bangunan ruko terdiri dari dua lantai yakni lantai satu/dasar digunakan sebagai tempat usaha/kerja dan lantai dua digunakan untuk tempat tinggal (Fatimah, 2014).

A picture containing text, outdoor, old, black

Description automatically generated
Kawasan Pintu Kecil pada tahun 1910.
Sumber: www.digitalcollections.universiteitleiden.nl

Pada gambar di atas memperlihatkan pemandangan deretan ruko di sepanjang jalan menuju Pintu Kecil. Ciri khas dari ruko orang-orang Tionghoa adalah tata letaknya yang saling berhimpitan secara horizontal di sepanjang jalan kawasan pecinan. Di Glodok terutama kawasan Pintu Kecil yang terletak di ujung utara pecinan tersebut, deretan ruko memanjang mengikuti arah jalan dan menghadap sungai kecil dari kawasan Pancoran di sebelah selatan sampai batas kota lama dekat sebuah pintu air kecil. Jika ada ruko yang berhimpitan dengan tinggi yang sama, maka terdapat tembok pembatas dari batu bata yang dibuat lebih tinggi dari atap. Fungsi utama dibuatnya tembok pembatas yang lebih tinggi dari atap adalah sebagai dinding api yang mencegah kobaran api menyebar ke ruko di sebelahnya jika terjadi kebakaran (Raap, 2017: 98).

A picture containing outdoor, road, building, house

Description automatically generated
Kawasan Pancoran-Glodok antara tahun 1937-1941.
Sumber: www.colonialarchitecture.eu

Tidak ada kebun yang luas dalam ruko di kawasan Glodok maupun pecinan lainnya di Indonesia. Sebagai contoh, dalam gambar di atas adalah pemandangan kawasan Pancoran di pusat kawasan Glodok dengan deretan ruko yang ramai. Pemandangan pada gambar itu menunjukan bahwa tidak tersedia tempat untuk memiliki kebun di dalam maupun di sekitar bangunan ruko. Orang-orang Tionghoa mencari cara lain yakni dengan menempatkan tanaman-tanaman dalam pot dan dipajang di halaman depan ruko (Utama, 2012). Tidak tersedianya ruang terbuka hijau dalam konsep ruko karena ruko dibuat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang tinggal dalam ruang hunian yang semakin berkurang seperti di pusat kota.

Kawasan Glodok juga memiliki pasar yang pada awalnya dikhususkan bagi masyarakat Tionghoa. Pasar Glodok dibangun bersamaan dengan kawasan Glodok secara keseluruhan sejak tahun 1740, ketika semua masyarakat Tionghoa di Batavia dipindahkan ke daerah tersebut. Perayaan Imlek hingga Cap Go Meh selalu diadakan setiap tahun di sekitar Pasar Glodok dalam bentuk pasar malam. Pasar malam tersebut menjual kuliner khas Tionghoa seperti aneka jenis kue yang menjadi primadona bagi para pengunjung (Ariwibowo, 2019).

Daftar Rujukan

Ali, M. (1941). De Buiten Nieuwpoortstraat, gezien vanaf Glodok Plein, Batavia. (online), (https://colonialarchitecture.eu/obj?sq=id%3Auuid%3A40b7f99e-1b82-4f8b-b12e-b17396124b5f), diakses pada 26 Maret 2022.

Ariwibowo, G.A. (2019). Perkembangan Budaya Kosmopolitan di Batavia 1905-1942. Handep, 3(1), 55-74. Dari http://handep.kemdikbud.go.id/index.php/handep/article/view/66.

Fatimah, T. (2014). Sejarah Kawasan Pecinan Pancoran-Glodok dalam Konteks Lokalitas Kampung Kota Jakarta. Makalah disajikan dalam Proceeding Seminar Nasional Membangun Karakter Kota Berbasis Lokalitas, Jurusan Arsitektur FT UNS, Surakarta, 15-16 Februari. Dari http://repository.untar.ac.id/403/1/2847-6112-1-SM.pdf.

F.B. Smits. (1910). Pintoe Ketjil, Kalikant – Batavia. (online), (http://hdl.handle.net/1887.1/item:866194), diakses pada 26 Maret 2022.

Heuken, A. (2016). Tempat-tempat bersejarah di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.

Hisyam, F. & Sabila,W.I. (2020). Kajian Toponimi Kampung di Sepanjang Sungai Brantas, Kota Malang: Suatu Upaya Mitigasi Bencana Hidrologi. Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana, 11(2), 155-166. Dari https://jdpb.bnpb.go.id/index.php/jurnal/article/view/171.

Baca Juga :   Kitab Sutasoma Sebagai Inspirasi Bhineka Tunggal Ika

Raap, O.J. (2017). Kota di Djawa Tempo Doeloe. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Ruchiat, R. (2018). Asal-usul Nama Tempat di Jakarta. Depok: Masup Jakarta.

Tifada, D.A. (2020). Kala Glodok jadi Saksi Sejarah Pembantaian Tionghoa di Batavia. (online), (https://voi.id/memori/17653/kala-glodok-jadi-saksi-sejarah-pembantaian-tionghoa-di-batavia), diakses pada 25 Maret 2022.

Tjiook, W. (2017). Pecinan as an Inspiration: The Contribution of Chinese Indonesian Architecture to an Urban Environment. Wacana, 18(2), 556-580. Dari http://www.wacana.ui.ac.id/index.php/wjhi/article/view/596.

Topografisch Bureau. (1897). Kaart van Batavia en Omstreken. (online), (https://colonialarchitecture.eu/obj?sq=id%3Auuid%3A7d0a18fa-12b4-48c0-b9f4-35833600e5b1), diakses pada 26 Maret 2022.

Utama, W.S. (2012). Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat Tionghoa di Batavia 1900an-1930an. Lembaran Sejarah, 9(1), 19-38. Dari https://doi.org/10.22146/lembaran-sejarah.23765.

Van der Linde, H. 2020. Jakarta: History of a Misunderstood City. Singapore: Marshall Cavendish.

Share:

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on pinterest
Pinterest
Share on linkedin
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Related Posts